Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menjadi penengah di antara kawanan gajah liar dengan masyarakat di sepanjang perbatasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dan desa-desa penyangganya bukan perkara mudah. Kalau tidak percaya tanya saja ke para mahout alias pawang gajah di Elephant Response Unit (ERU) di TNWK.
Bisa jadi haram hukumnya mematikan ponsel di sore hari. Sebab, di saat itulah biasanya para gajah masuk ke perladangan warga. Contohnya seperti yang terjadi di Tegal Yoso, Lampung Timur, pada Minggu (19/5) lalu.
Belum selesai para mahout menyantap menu buka puasa, telepon pintar mereka sudah berdering tiada henti, warga meminta bantuan para mahout untuk mengusir kawanan gajah yang saat itu merusak lahan garapannya. Jika sudah seperti itu, tak cukup 2-3 jam para mahout bekerja, mereka bisa semalaman berada di ladang untuk mengusir gajah kembali ke hutan dan memastikan hewan besar nan pandai itu tak kembali.
Celakanya, hal seperti itu hampir setiap hari terjadi. Sepanjang 2014-2017, menurut catatan ERU, setidaknya ada 408 konflik antara gajah dan manusia di sekitar kawasan TNWK.
Semalaman berada di ladang belum cukup membuat para mahout tenang di keesokan harinya.
Mereka akan patroli di sepanjang perbatasan kawasan taman nasional untuk memastikan kawanan gajah menjauh dari pinggir kawasan. Tujuannya untuk meminimalisir kawanan gajah itu kembali masuk di malam harinya.
Para mahout di ERU selalu menunggangi gajah kesayangannya masing-masing. Gajah-gajah jinak itu dipercaya mampu berdiplomasi dengan kawanan gajah liar.