Mengungkap Kekerasan Dalam Skema Inggris Deportasi Migran ke Rwanda

8 September 2022 13:19 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
salah satu pelampung yang dimiliki migran saat mereka meninggalkan pantai utara Prancis untuk menyeberangi Selat Inggris, dekat Wimereux, Prancis. Foto: Gonzalo Fuentes/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
salah satu pelampung yang dimiliki migran saat mereka meninggalkan pantai utara Prancis untuk menyeberangi Selat Inggris, dekat Wimereux, Prancis. Foto: Gonzalo Fuentes/REUTERS
ADVERTISEMENT
Inggris menyebut kebijakan deportasi migran menuju Rwanda sebagai 'pencegah' migrasi berbahaya melintasi Selat Inggris. Menyinggung efektivitas dan legalitas yang meragukan, berbagai aktivis meyakini bahwa skema tersebut sebenarnya hanyalah bentuk kekejaman.
ADVERTISEMENT
Kementerian Dalam Negeri Inggris mengumumkan rencana tersebut pada 14 April. Pemerintah berniat mengalihkan migran yang memasuki Inggris untuk mencari suaka di negara Afrika Timur.
Tanpa merinci batasan jumlah, pihaknya akan menerbangkan siapa pun yang memasuki negara secara ilegal setelah 1 Januari 2022. Rwanda dapat memproses seribu pencari suaka selama masa percobaan, tetapi menawarkan kapasitas lebih di masa mendatang.
Sebagai imbalan, Inggris akan menyalurkan jutaan pound bantuan pembangunan bagi Rwanda. Pemerintah mengatakan, skema itu dapat melindungi migran dan memberantas penyelundupan orang.
Seorang migran terlihat di dalam ambulans, untuk diangkut ke fasilitas Pasukan Perbatasan Inggris, di Dover, Inggris, Kamis (14/4/2022). Foto: Peter Nicholls/REUTERS
Deportasi pertama awalnya akan memindahkan tujuh orang pada 14 Juni. Namun, penerbangan tersebut kemudian dibatalkan beberapa menit sebelum lepas landas.
Pasalnya, Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa (ECtHR) turun tangan secara langsung. Intervensi yang langka terjadi itu mengindikasikan betapa berbahayanya pengadaan skema deportasi menuju Rwanda.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, kebijakan itu belum dicabut. Walaupun menemui hambatan, Kemdagri Inggris bersikeras akan melanjutkannya.
Rencana tersebut lantas ditangguhkan sambil menunggu tinjauan dari Pengadilan Tinggi. Perdana Menteri Inggris, Liz Truss, kemudian menegaskan komitmen terhadap pelaksanaan kebijakan itu usai menggantikan pendahulunya, Boris Johnson.
Pembaca melihat surat kabar 12 Juni 2002 di Nairobi yang menunjukkan foto Felicien Kabuga yang buron. Foto: REUTERS / George Mulala
Oposisi meyakini, kebijakan tersebut melanggar hukum internasional. Alih-alih mencegah kematian, skema deportasi justru mendesak para migran mempertaruhkan nyawa mereka.
Para aktivis turut menggarisbawahi, Inggris memiliki asumsi yang keliru perihal Rwanda. Sebab, para pejabatnya pun pernah menyuarakan keprihatinan seputar situasi HAM di Rwanda.
"Banyak dari mereka yang mencari perlindungan di Inggris telah mengalami kengerian yang tak terbayangkan; tidak dapat dimengerti bahwa pemerintah kita sekarang mencoba untuk mengusir mereka ke negara yang memiliki catatan represi yang terdokumentasi dengan baik," ungkap Direktur Human Rights Watch Inggris, Yasmine Ahmed, dikutip dari The Washington Post, Kamis (8/9).
ADVERTISEMENT
Setelah kelompok hak imigran dan serikat pekerja mengajukan deretan tuntutan, sidang digelar sejak Senin (5/9). Hiruk pikuk pertempuran antara para menteri, pengacara para migran, hingga mahkamah internasional itu baru saja dimulai.

Pengadilan Tinggi Inggris

Imigran. Foto: REUTERS/Alkis Konstantinidis/File Photo
Pengadilan Tinggi akan melangsungkan proses hukum selama lima hari. Pihaknya mengharapkan putusan menjelang akhir tahun ini.
Selama proses tersebut, pemerintah bersikeras mempertaruhkan legalitas kebijakan mereka. Intervensi kemudian menyusul dari Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Membeberkan temuannya, UNHCR menegaskan, Rwanda bukanlah negara tujuan aman untuk pencari suaka dalam skema Inggris.
Pihaknya menekankan bahwa pemerintah tidak meninjau situasi dengan benar, serta mengungkap risiko kekerasan yang mengancam.
PBB mengatakan, pemerintah Inggris melanggar hukum Inggris dan hukum internasional dan Konvensi Pengungsi. Pihaknya kemudian menyesalkan bahwa peringatan harus diberikan kepada salah satu pendiri perjanjian global tersebut.
ADVERTISEMENT
Membantah tudingan itu, Kemdagri Inggris meyakini adanya miskonsepsi umum tentang Rwanda. Pemerintah tak urung membela komitmen negara itu dalam menjamin HAM.
"Rwanda adalah negara yang aman dan terlindungi dengan rekam jejak yang luar biasa dalam mendukung pencari suaka," ujar mantan Mendagri Inggris, Priti Patel, yang mengundurkan diri sebelum perombakan kabinet pada Senin (5/9).
Mendagri Inggris Priti Patel. Foto: AFP/DANIEL LEAL-OLIVAS
Pengadilan itu menyingkap bahwa para menteri sengaja mengabaikan bukti terkait pelanggaran HAM di Rwanda. Awalnya, negara tersebut bahkan dikesampingkan sebagai tujuan deportasi oleh pemerintah.
Komisaris Tinggi Inggris di Rwanda, Yamina Karitanyi, mengindikasikan bahwa negara itu tidak bisa dipertimbangkan. Dia merujuk pada tuduhan terkait tindakan otoritas merekrut para pengungsi untuk operasi bersenjata di negara-negara tetangga.
PBB menambahkan, pencari suaka tak akan mendapatkan akses terhadap prosedur untuk menentukan status mereka setibanya di Rwanda.
ADVERTISEMENT
Pengadilan mengungkap, Inggris mengetahui maraknya pelanggaran-pelanggaran HAM sebagai metode penegakan kontrol di Rwanda. Pemerintah menyadari kasus-kasus penyiksaan dan pembunuhan lawan politik di negara tersebut.
Namun, Inggris tetap melibatkannya usai menghadapi tekanan dari Johnson. Dia mendesak agar rencana deportasi itu segera rampung.
Pemerintah lantas menggontorkan pembayaran muka untuk penerbangan pertama sebesar GBP 20 juta (Rp 342 miliar) pada 29 April 2022.
Peti jenazah berisi korban genosida 1994 yang baru ditemukan saat akan dimakamkan di Nyanza Genocide Memorial, pinggiran ibukota Kigali, Rwanda. Foto: AFP/YASUYOSHI CHIBA
Mantan Perwakilan Tetap Inggris untuk PBB, Matthew Rycroft, kemudian memperingatkan perihal potensi penipuan dalam kesepakatan Rwanda.
Mengabaikan peringatan itu, pemerintah kembali memberikan pembayaran tambahan dalam dana pembangunan ekonomi senilai GBP 120 juta (Rp 2 triliun) kepada Rwanda.
"Rwanda adalah negara otoriter satu partai yang tidak mentolerir oposisi politik. Ini adalah rezim yang berulang kali memenjarakan, menyiksa, dan membunuh orang-orang yang dianggapnya sebagai lawan politiknya," terang pengacara para pencari suaka di Pengadilan Tinggi, Raza Husain QC, dikutip dari The Guardian.
ADVERTISEMENT
"Mereka yang memprotes atau tidak setuju dengan arahan pemerintah, termasuk pengungsi, menghadapi kekerasan polisi. Semua pengamatan itu diambil dari pejabat pemerintah kita sendiri," lanjut dia.

Perlakuan Tak Manusiawi

Ilustrasi Perdagangan manusia. Foto: Shutterstock
Kelompok HAM, Medical Justice, menerbitkan laporan dari korban dalam skema itu pada 1 September. Pihaknya mempertanyakan, siapa yang akhirnya harus membayar harga dari kebijakan tersebut?
Medical Justice menjangkau 36 dari 51 tahanan imigrasi terkait skema Rwanda. Organisasi itu menemukan kerentanan yang mereka alami, termasuk pengalaman terkait penyiksaan dan perdagangan manusia.
Namun, pemerintah menolak mengadakan penilaian sebelum memindahkan mereka secara paksa menuju Rwanda. Artinya, pemerintah secara sadar menargetkan kelompok rentan.
"Sebagai seorang dokter, yang paling mengejutkan saya adalah pengabaian total terhadap kebutuhan untuk menilai risiko dalam memaksa orang pada kebijakan ini," kata penasihat klinis, Rachel Bingham, dikutip dari laman resmi Medical Justice.
ADVERTISEMENT
Semua individu dalam penelitian itu mencari keselamatan dan keamanan di Inggris. Sebagian dari mereka memiliki keluarga yang sudah tinggal di negara tersebut.
Mereka berasal dari Iran, Irak, Suriah, Eritrea, Vietnam, Mesir, dan Albania. Meskipun penerbangan pertama dibatalkan, para pencari suaka telah menanggung imbasnya.
Ilustrasi pencari suaka. Foto: DANIEL BECERRIL/REUTERS
Kelompok tersebut meliputi pria, wanita, maupun anak-anak dengan riwayat kondisi kesehatan mental. Hingga 26 pencari suaka dalam penelitian itu memiliki riwayat penyiksaan.
Sementara itu, 17 pencari suaka lainnya mengalami perdagangan manusia. Medical Justice menerangkan, 15 orang menunjukkan gejala gangguan stres pascatrauma dan 11 lainnya memiliki keinginan untuk bunuh diri selama ditahan di pusat imigrasi Inggris.
Pemerintah mengakui bahwa deportasi mungkin tidak aman bagi semua orang. Tetapi, para migran bahkan tidak mendapati proses penyaringan khusus untuk mengidentifikasi korban kekerasan.
ADVERTISEMENT
Alhasil, kondisi kesehatan mereka hanya semakin memburuk. Prospek deportasi meningkatkan risiko melukai diri sendiri dan bunuh diri.
"Analisis menunjukkan bagaimana, bahkan tanpa pemindahan, [skema deportasi] telah memiliki dampak besar pada mereka yang terkena dampaknya, termasuk mereka yang masih ditahan dalam penahanan tak terbatas sambil menunggu pemindahan ke Rwanda," tulis Medical Justice.
Selain kurangnya transparansi, mereka menjalani proses yang dipercepat. Para pencari suaka mendapatkan informasi tentang deportasi antara 2-28 hari setelah tiba di Inggris.
Otoritas tidak memberikan nasihat hukum maupun akses terjemahan dari dokumen Kemdagri Inggris. PBB, komite parlemen, juru kampanye, badan hukum, hingga pakar medis lantas mengkritik keputusan pemerintah Inggris.
Ilustrasi pencari suaka. Foto: DANIEL BECERRIL/REUTERS
"Pemerintah Inggris telah memasuki perjanjian yang kejam dan tidak berbudi, yang akan secara paksa memindahkan orang-orang yang datang ke Inggris untuk mencari keselamatan dan perlindungan ke Rwanda, tanpa [kesempatan untuk] kembali ke Inggris. Pencari suaka yang rentan sudah membayar biaya dari perjanjian tersebut, bahkan sebelum pemindahan terjadi," tegas laporan itu.
ADVERTISEMENT
Selama pengadilan menganalisis situasi, para pencari suaka sedang ditahan tanpa batas waktu. Sementara itu, orang-orang yang diberikan pembebasan harus menuruti jaminan hukum.
Mereka harus tunduk pada pemantauan menggunakan alat pelacak elektronik pada pergelangan kaki. GPS pertama kali digunakan sebagai sarana pemantauan pada 2021.
Pemantauan tersebut mencatat riwayat keberadaan mereka menit demi menit. Data yang terkumpul dapat mengungkap kebiasaan, hubungan pribadi, serta keyakinan agama dan politik.
Bagi pencari suaka yang melarikan diri dari rezim otoriter maupun jeratan perdagangan manusia, GPS adalah alat invasif yang merusak kesehatan mental mereka.
Perangkat itu juga kerap mengalami malfungsi hingga memicu peringatan keliru seputar pelanggaran. Hingga 70 persen laporan pelanggaran bahkan disebabkan oleh masalah baterai.
Akibatnya, para pencari suaka harus kembali menghadapi penangkapan, penahanan, denda, dan tuntutan pidana.
ADVERTISEMENT

Pembangunan Ekonomi Rwanda

Wanita suku Rwanda sedang berjualan Foto: Shutter Stock
Johnson mengeklaim, skema migrasi tersebut mencerminkan keterbukaan dan kemurahan hati Inggris. Deportasi dengan alasan semacam itu memang bukanlah hal yang unik di Eropa.
Negara-negara kaya lainnya mengadopsi strategi serupa untuk mengekang kedatangan yang tidak diinginkan dengan menciptakan kondisi yang tidak bersahabat maupun manusiawi.
Pejuang kemerdekaan Ghana, Kwame Nkrumah, meyakini bahwa kendali Eropa atas Afrika tidak berakhir dengan kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Utang, perdagangan, dan bantuan internasional ketergantungan berkelanjutan negara-negara Afrika. Memanfaatkan negara-negara berpenghasilan rendah untuk manajemen migrasi, negara-negara kaya memajukan kepentingan geopolitik mereka sendiri.
Para ahli mengidentifikasi deportasi semacam itu sebagai imperialisme abad ke-21. Migrasi lantas bukan semata-mata akibat dari kemiskinan, ketimpangan, konflik, dan krisis lingkungan.
Seorang relawan mengeringkan sisa-sisa tulang korban genosida Rwanda yang ditemukan dan dikumpulkan dari lubang-lubang tersembunyi sebelum dimakamkan secara massal. Foto: AFP/YASUYOSHI CHIBA
Disadur dari The Conversation, Rwanda berada pada peringkat 160 dari 189 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia pada 2021. Negara itu lantas bergantung pada bantuan luar negeri Inggris.
ADVERTISEMENT
Selain mendapatkan bantuan ekonomi, Rwanda dapat membangun kesan sebagai negara yang berkontribusi pada pengelolaan pengungsi global. Negara tersebut telah menampung nyaris 130.000 pengungsi.
Bagi Inggris, rencana deportasi turut mewakili kepentingan-kepentingan bisnisnya di Afrika. Pada 2020, Johnson telah menekankan komitmen untuk memperkuat kemitraan dengan Afrika.
Johnson membingkai hubungan tersebut sebagai inisiatif pembangunan bagi negara mitra, tetapi justru meraup keuntungan finansial besar-besaran bagi Inggris.
Rwanda tak hanya menawarkan industri pertambangan timah, emas, dan metana. Negara itu juga merupakan rumah bagi danau yang kaya akan sumber pembangkit energi, Danau Kivu.
Kendati demikian, keterlibatan tersebut tidak hanya didasarkan pada dominasi politik dan ekonomi. Campur tangan Eropa berakar dari keinginan untuk mengendalikan migrasi.
Ilustrasi pencari suaka. Foto: Adrees Latif/REUTERS
Uni Eropa beralasan bahwa kebijakan-kebijakannya seputar migrasi berfungsi untuk mencegah kematian para pengungsi. Tetapi, para pencari suaka justru menjadi terpaksa beralih pada rute berbahaya dan bergantung pada perdagangan manusia.
ADVERTISEMENT
Jumlah pengungsi yang melintasi perbatasan pun tidak surut. Sejak pengumuman skema itu, lebih dari 20.000 orang telah menyeberangi Selat Inggris.
Komite Kemdagri Inggris mengatakan, skema deportasi justru memberikan tekanan bagi orang-orang untuk segera menyeberang.
"Sebelum kami datang ke sini, nenek moyang kami bekerja selama lebih dari 500 tahun di Afrika, India, dan di seluruh Global South. Di mana Inggris menjajah, mereka mencuri, mereka merampok, menjarah, mereka membunuh, mereka memperkosa, mereka membantai," seru Sara Callaway dari Women of Colour GWS saat mengikuti protes skema Rwanda dalam rekaman yang diunggah JOE.
"Jadi ketika kami datang ke sini, kami tidak datang sebagai pengemis. Kami datang karena kami memiliki hak untuk berada di sini," lanjut dia.
ADVERTISEMENT