Menjadi Modern di Jakarta: Arus Urbanisasi Pasca-Kemerdekaan

27 April 2025 15:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto udara Bunderan Hotel Indonesia saat diberlakukan PSBB di Jakarta, Sabtu (2/5/2020). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara Bunderan Hotel Indonesia saat diberlakukan PSBB di Jakarta, Sabtu (2/5/2020). Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
ADVERTISEMENT
Sejak Indonesia merdeka, Jakarta bukan hanya menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga pusat harapan. Kota ini menjelma sebagai tujuan perantau yang percaya bahwa hidup dapat diubah dan masa depan bisa dibangun dari nol. Di setiap lorong sempit dan gedung pencakar langitnya, tersimpan mimpi-mimpi yang dibawa dari kampung halaman.
ADVERTISEMENT
Dalam Jurnal Pemikiran Sosiologi (2017), Rahadian Ranakamuksa Candiwidoro menulis tentang sejarah pendatang di Jakarta pasca-kemerdekaan. Tulisannya yang berjudul Menuju Masyarakat Urban: Sejarah Pendatang di Kota Jakarta Pasca Kemerdekaan (1949–1970), mengungkapkan bahwa pertambahan penduduk di Jakarta mengalami kenaikan pesat seiring kembalinya ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta pada 1949.
Menurut artikel tersebut, pada 1948 jumlah penduduk Jakarta mencapai 823.356. Sementara pada 1949, angkanya melesat menjadi 1.340.625. Pesatnya laju pertumbuhan penduduk ini sebagai akibat dari masuknya arus migrasi pertama yang terbesar dalam periode setelah kemerdekaan.
Pada 1953, tulis artikel itu, sebuah survei di distrik-distrik tertentu di kota bagian dalam menunjukkan bahwa 75 persen penduduk di sana merupakan warga kelahiran luar Jakarta. Dari jumlah ini, setengahnya bermigrasi ke Jakarta sejak 1949.
ADVERTISEMENT
"Jakarta seperti menjanjikan bahwa kemerdekaan akan membawa kemakmuran, Jakarta nampaknya juga menawarkan harapan bagi para penduduk pedesaan. Banyak dari mereka yang datang dari wilayah-wilayah sangat padat di Jawa maupun luar Jawa," tulis Rahadian.
Ilustrasi Kota Jakarta zaman dahulu. Foto: Kemal Jufri/AFP

Citra Modern Sebagai Daya Pikat

Pada era 1950-an, ideologi nasionalisme berada di puncak kejayaan. Masyarakat pun bebondong-bondong mengadopsi ideologi tersebut. Salah satu proyek budaya dengan pesan utama nasionalisme adalah “Menjadi Indonesia berarti menjadi modern.” Di masa itu, modernitas bersinonim dengan nasionalisme.
Menurut dosen Sejarah UI, Teuku Reza Fadeli, Sukarno memang mencitrakan Jakarta seperti itu. Proyek mercusuar Sukarno hingga gaya hidup modern di Jakarta ditampilkan di berita, film, surat kabar, hingga majalah.
"Majalah-majalah menampilkan gaya hidup modern di Jakarta, department store, kafe, melengkapi narasi resmi tentang pembangunan bangsa dengan imaji konsumsi modern," ungkap Reza saat diwawancarai oleh kumparan pada Rabu (23/04).
Dosen sejarah UI, Teuku Reza Fadeli. Foto: Dok. Istimewa
Pemberitaan yang masif soal kehidupan modern Jakarta, kata dia, menjadikan kota ini sebagai tolak ukur masyarakat Indonesia. Terlebih Jakarta adalah pusat perekonomian, pusat pemerintahan, dan markas media nasional.
ADVERTISEMENT
"Pusat keuangan, media nasional, dan lalu lintas pejabat asing terkonsentrasi di kota ini, menjadikannya tolok ukur utama gaya hidup “Indonesia modern," tambahnya.

Tingginya Peluang Kerja

Menurut Reza, Jakarta terus menjadi pusat perekonomian dengan warisan komersial Batavia. Warisan Batavia seperti perusahaan-perusahaan negara, serta aset-aset Belanda yang dinasionalisasi pun praktis memerlukan tenaga kerja.
"Setelah kedaulatan diakui pada akhir 1949, Jakarta menjadi pusat birokrasi, perusahaan-perusahaan negara, serta aset-aset Belanda yang dinasionalisasi. Hal ini menciptakan kebutuhan akan tenaga kerja seperti pegawai administrasi, guru, sopir, buruh bangunan, hingga pedagang kecil," tambah Reza.
Ilustrasi Kota Jakarta zaman dahulu. Foto: Kemal Jufri/AFP
Kebutuhan tenaga kerja diiringi juga dengan tingginya para pencari kerja di luar Jakarta. Pada akhir 1950-an, wilayah pedesaan di Jawa dan Sumatra terdampak anjloknya harga komoditas. Praktis, Jakarta sebagai sentral ekonomi memiliki daya tarik yang kuat.
ADVERTISEMENT
Melansir pada studi Dilema Urbanisasi dalam Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta (1983), para petani kekurangan lapangan pekerjaan di desa-desa sebab terbatasnya lahan pertanian. Mereka akhirnya mencari pekerjaan di kota.
Meledaknya laju migrasi ke Jakarta pada akhir dekade 1960-an sempat membuat pemerintah Jakarta menutup diri. Menurut Reza, pemerintah Jakarta di bawah kepemimpinan Ali Sadikin sempat menerapkan kebijakan pembatasan migrasi.
"Di bawah Gubernur Ali Sadikin, Pemda menerapkan kebijakan pembatasan migrasi dengan menjadikan Jakarta sebagai “kota tertutup”. Pendatang diminta mengurus surat keterangan domisili dan dilakukan operasi penertiban terhadap mereka yang dianggap penduduk liar," jelasnya.
Kebijakan ini tertuang di Surat Keputusan Gubernur No lb. 3/1/27/1970. Disebutkan Jakarta sebagai kota tertutup bagi pendatang dari daerah lain.
ADVERTISEMENT
Dalam buku berjudul "Jakarta: Sejarah 400 Tahun" pemerintah daerah Jakarta juga sering mengadakan razia pemeriksaan KTP. Operasi razia dibarengi dengan pembersihan jalan yang menyasar para pedagang kecil hingga tukang becak.
Kini, Jakarta masih menjadi kota yang penuh harap. Namun, data-data terkini BPS menunjukkan adanya pergeseran. Banyak orang tetap mencari nafkah di Jakarta, tapi memilih tinggal di luar batas administratifnya—di kawasan Bodetabek yang lebih terjangkau. Jakarta tetap menjadi pusat peluang, tetapi bukan lagi satu-satunya tempat untuk membangun masa depan.