Menjadikan Terumbu Karang Raja Ampat Kian Memikat lewat COREMAP

1 Desember 2019 6:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Waiwo, Raja Ampat. Foto: Marcia Audita/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Waiwo, Raja Ampat. Foto: Marcia Audita/kumparan
ADVERTISEMENT
Membicarakan Raja Ampat memang tak ada habisnya. Harta Papua yang dijuluki "The Last Paradise on Earth" itu memikat dunia akan darat dan lautnya yang paragon; sempurna.
ADVERTISEMENT
Dengan status merajai segitiga terumbu karang dunia, Raja Ampat memiliki magnet bagi para peneliti berlomba-lomba membedah biota laut di dalamnya. Peneliti asal Australia, Gerry Allen, bahkan sempat dibuat takjub lantaran menemukan 283 spesies ikan hanya dengan satu kali menyelam di Pulau Kri, Raja Ampat. Ia juga menemukan 1.318 jenis ikan karang di wilayah barat Papua itu.
Senja di Dermaga Waiwo, Raja Ampat. Foto: Marcia Audita/kumparan
Ahli karang dunia, Turak dan Lyndon Devantier, dalam artikel "Terumbu karang, habitat terumbu karang dan komunitas karang Raja Ampat, Bentang Laut Kepala Burung, Papua, Indonesia", mencatat jumlah terumbu karang di Raja Ampat mencapai 533 spesies. Jumlah ini juga diprediksi akan terus meningkat.
Namun hingga kini, restorasi terumbu karang di wilayah gugus Kepulauan Raja Ampat masih terus digencarkan. Sebab, sejak bertahun-tahun, kerusakan terumbu karang di Raja Ampat kerap terjadi. Misal, kerusakan 1,8 hektare lahan terumbu karang imbas kandasnya Kapal Pesiar M.V Caledonian Sky pada 4 Maret 2017. Atau insiden kerusakan karang akibat ditabrak kapal wisatawan asing jenis yacht pada 9 Maret 2019.
Ikan dan terumbu karang warna-warni menghias alam bawah laut Raja Ampat Foto: Shutter Stock
Mencegah kejadian berulang, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia Climate Change Trust Found (ICTF), bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) meluncurkan proyek COREMAP tahap tiga. Tak hanya misi menyelamatkan terumbu karang, COREMAP --Coral Reef Rehabilitation and Management Program-- dilakukan untuk memantau dan meneliti ekosistem pesisir konservasi Raja Ampat. Termasuk mengedukasi masyarakat pesisir agar memahami pengelolaan laut yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
"Ini salah satu upaya pemerintah, dalam hal ini Bappenas sebagai enabler, untuk menyiapkan kondisi yang dibutuhkan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam mengembangkan kawasan konservasi perairan secara terpadu," ujar Kasubdit Tata Kelola Laut dan Pesisir Bappenas, Setyawati, di Kantor Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Waigeo, Raja Ampat.
Peluncuran COREMAP oleh Bappenas dan LIPI di Desa Saporkren, Raja Ampat. Foto: Marcia Audita/kumparan
Team Leader Pokja Bappenas bidang kelautan dan perikanan, Tonny Wagey, menjelaskan, COREMAP yang mendapat dana hibah 6,2 juta dolar AS dari World Bank itu diaplikasikan dengan pendekatan strategis dan teknis. Yakni, efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan dan konservasi jenis terancam, perencanaan wilayah pesisir terpadu, dan pengelolaan sumber daya pesisir oleh masyarakat.
"Bappenas berharap COREMAP dapat memberi pemanfaatan kawasan konservasi perairan secara berkelanjutan, implementasi rencana aksi nasional akan jenis hewan terancam punah, dukungan implementasi terhadap pengelolaan wilayah pesisir, dukungan untuk kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas), dan akses wilayah pengelolaan sumber daya perikanan untuk masyarakat setempat," tuturnya.
Penyelam di tengah ragam terumbu karang dan ikan-ikan yang asyik berenang di laut Raja Ampat (portrait) Foto: Shutter Stock
Sebagai gambaran, COREMAP merupakan tahap jangka panjang yang terdiri dari tiga fase. Fase pertama (Inisiasi, 1998-2001), untuk menetapkan landasan kerangka kerja sistem nasional terumbu karang; fase II (Akselerasi, 2001-2007), untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal di daerah-daerah prioritas, dan fase III (Pelembagaan, 2007-sekarang): menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal dan operasional, terdesentralisasi, dan telah melembaga.
ADVERTISEMENT
COREMAP fase III kali ini melibatkan masyarakat untuk mengaplikasikan ide perbaikan terumbu karang. Mereka diminta untuk mengajukan proposal penelitian untuk dikombinasikan dengan rancangan kerja yang telah dibuat tim.
Para 'Mama' Desa Saporkren, Raja Ampat. Foto: Marcia Audita/kumparan
Akses ke Desa Saporkren, Raja Ampat. Foto: Marcia Audita/kumparan
"Call for Proposal dari Desember 2019-Februari 2020. Implementasi proyek kami dalam rentang Februari 2020-Juni 2022," kata Tony.
Adapun Desa Saporkren dijadikan sebagai salah satu sample untuk penerapan COREMAP. Warga Saporkren nantinya akan dibina untuk mendapat hasil tangkap yang banyak tanpa merusak laut.
Apa manfaat yang bisa didapatkan masyarakat pesisir saat COREMAP diterapkan?
Menjaga laut --tak bisa ditawar-tawar lagi-- harus melibatkan partisipasi warga lokal. Namun, perlu diingat, kesejahteraan mereka juga wajib diutamakan. Mutlak. Meminta masyarakat untuk ramah terhadap lautan; taat aturan menangkap ikan, tak menggunakan peledak, memakai alat ramah lingkungan, tentu harus ada keuntungan pula yang mereka dapat.
ADVERTISEMENT
Tonny Wagey menjelaskan paket yang digunakan dalam COREMAP akan berdampak baik untuk warga lokal. Selain pengetahuan soal tangkap ikan yang baik dan benar tanpa menyakiti lautan, mereka juga akan mendapat pengetahuan solar panel. Untuk nelayan, solar panel cukup berguna saat melaut. Biasanya, mereka hanya menyimpan aki untuk menyerap energi panas matahari untuk mendapat cahaya lampu saat melaut malam hari.
"Kegiatan kita juga nanti akan ada itu. Sumber daya matahari, penggunaan solar panel, untuk bisa jangkau rumah tangg, masyarakat. Teknologi makin murah, pilot project saja," tuturnya.
Seorang anak papua bermain di Piaynemo, Raja Ampat. Foto: Marcia Audita/kumparan
Konservasi kekayaan Raja Ampat lewat aturan adat
Secara aturan sosio-budaya, perlindungan penuh terhadap orang-orang asli Papua --seharusnya-- sudah mulai diterapkan sejak lama. Kepala Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Raja Ampat, Syafri, menegaskan, sudah tak ada lagi perizinan armada kapal penangkap ikan masuk di kawasan konservasi Raja Ampat. Dengan begitu, mereka yang menangkap ikan di Raja Ampat haruslah masyarakat lokal, termasuk pengelolaan kekayaan laut.
ADVERTISEMENT
“Sudah ada diskusi dengana WP3K (Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil), rata-rata masyarakat meminta empat mil dari garis depan, dikelola oleh adat,” tutur Syafri.
Raja Ampat dikenal memiliki keanekaragaman hayati dalam lautnya. Foto: Shutter Stock
Sebuah penelitian menyebutkan Raja Ampat mempunyai 450 jenis karang yang teridentifikasi masih dalam kondisi berkembang sangat baik. Foto: Muhammad Sri Dipo
Perlindungan Raja Ampat juga termaktub dalam peraturan Bupati Raja Ampat pada pertengahan 1997 terkait retribusi pariwisata dan pembentukan tim pengelola dana non retribusi. Merujuk aturannya, pembentukan peraturan tersebut didasari semakin banyaknya wisatawan dalam dan luar negeri berkunjung ke Raja Ampat untuk menyelam tanpa memberikan kontribusi.
Dalam peraturan tersebut, disebutkan setiap wisatawan asing yang berkunjung ke Raja Ampat dikenakan tarif retribusi sebesar Rp 600.000 berlaku selama setahun dengan diberikan pin, dan wisatawan dalam negeri sebesar Rp 250.000. Dana retribusi yang diperoleh sebesar 30% dialokasikan sebagai dana retribusi dan 70% sebagai dana non retribusi.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dana non retribusi ini dialokasikan sebesar 40% untuk dana konservasi, 40% untuk program ekonomi kreatif masyarakat dan 20% untuk administrasi pengelolaan.
Ketika kumparan berkunjung ke BLUD Raja Ampat, biaya retribusi untuk wisatawan rupanya berubah. Yakni, Rp 500 ribu untuk wisatawan lokal, dan Rp 1 juta untuk wisatawan mancanegara.