Menuju Merdeka: Sebaran dan Gerakan Pemuda Radikal di Menteng

15 Agustus 2017 10:57 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera Merah Putih di Pantai Pandawa, Bali. (Foto: Antara/Nyoman Budhiana)
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Merah Putih di Pantai Pandawa, Bali. (Foto: Antara/Nyoman Budhiana)
ADVERTISEMENT
15 Agustus 2017. Apa yang sedang kamu lakukan saat ini, wahai milenial Indonesia? Memperhatikan ucapan dosen di ruang kuliah sembari sesekali mencuri pandang ke arah gebetan? Kongko di warteg sembari ngebon karena uang bulanan menipis?
ADVERTISEMENT
Bekerja robotik di kantor demi sesuap nasi dan selembar tiket berlibur? Duduk-duduk syantik di kafe dan bergaul eksis bersama teman-teman kekinian kamu? Sibuk menyusun rancangan lomba 17 agustusan karena ditunjuk Pak RT menjadi panitia? Atau sedang tekun merenung memikirkan masa depan bangsa?
Apapun itu, situasi kita saat ini hitungannya sudah enak sekali, sepahit apapun hidup atau nasib yang kita jalani--mungkin. Kini, mari kita menengok ke belakang, 72 tahun lalu, saat Indonesia belum lagi ada dan nusantara masih “remah roti” yang menjadi rebutan bangsa lain.
Tentara Heiho. (Foto: Dok. Kemdikbud)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara Heiho. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Malam 15 Agustus 1945, suasana tegang terasa di penjuru Jakarta. Usai berbuka puasa--saat itu Ramadan, sebuah rapat gelap digelar para pemuda radikal di belakang Laboratorium Bakteriologi Gedung Eijkman Institute, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 17, Menteng, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
“Radikal” pada masa itu memiliki konotasi berbeda dengan saat ini. Sejumlah buku yang ditulis oleh para pelaku dan saksi mata peristiwa sejarah, setidaknya memiliki tiga sebutan untuk generasi muda waktu itu, yakni “pemuda radikal”, “pemuda revolusioner”, dan “pemuda militan”.
Pertemuan rahasia kelompok pemuda di belakang Eijkman Institute itu dipimpin oleh Chaerul Saleh, Wakil Ketua Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31 yang juga pendiri dan Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia--ormas paling radikal saat itu.
Gedung Eijkman Institute. (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Eijkman Institute. (Foto: kitlv.nl)
Empat pemuda radikal di Menteng (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Empat pemuda radikal di Menteng (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Rapat gelap dihadiri para pentolan tokoh muda Indonesia yang berasal dari sejumlah asrama “mahasiswa” ternama. Mereka antara lain Darwis dan Djohar Nur dari Asrama Baperpi di Cikini 71; DN Aidit dan AM Hanafi dari Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31; Wikana dan Yusuf Kunto--mata-mata pengintai Jepang--dari Asrama Indonesia Merdeka di Kebon Sirih 80; Eri Sudewo, Subadio Sastrosatomo, dan Subianto Djojohadikusumo dari kelompok Sjahrir di Asrama Prapatan 10.
ADVERTISEMENT
Mereka yang terlihat di Pegangsaan Timur 17, 15 Agustus 1945 itu, merupakan “biang” dari gerakan pemuda Indonesia. Dan asrama-asrama yang menjadi tempat tinggal atau sentral aktivitas mereka bukan sekadar asrama, tapi juga pusat kegiatan operasional dan koordinasi politik antarkelompok, antara pusat dan daerah.
Infografis Sebaran Markas Pemuda Jelang Proklamasi (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Sebaran Markas Pemuda Jelang Proklamasi (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
“Asrama-asrama itu menjadi tempat kaderisasi pemuda. Tiap asrama punya pemimpin sendiri. Tapi semua terhubung pada jaringan bawah tanah Sutan Sjahrir dan Tan Malaka,” kata Jaka Perbawa, kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi, saat berbincang dengan kumparan, Senin (7/8).
Terdapat empat asrama pemuda yang cukup menonjol di Jakarta kala itu. Pertama, Asrama Pemuda Baperpi (Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia) di Cikini 71, Menteng, di bawah pimpinan Djohar Nur, beranggotakan para mahasiswa nasionalis moderat. Asrama ini dibangun pemerintah pendudukan Jepang.
ADVERTISEMENT
Kedua, Asrama Mahasiswa Kedokteran di Prapatan 10, Kwitang, di bawah pimpinan Eri Sudewo, beranggotakan pecahan Asrama Baperpi. Mereka mahasiswa-mahasiswa yang aktif bergerak di bawah tanah, fasih berbahasa Belanda, dan mayoritas dari kalangan elite yang berkiblat ke Barat.
Para pegiat asrama ini, karena dekat dengan Sutan Sjahrir dan dipengaruhi pemikirannya, kerap disebut Grup Pemuda Sjahrir.
Jalan Prapatan yang terbentang di antara persimpangan Tugu Tani sisi utara sampai persimpangan Senen, Jakarta Pusat, kini berganti nama menjadi Jalan Prajurit Usman-Harun.
Asrama Menteng 31. (Foto: Dok. jakarta.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Asrama Menteng 31. (Foto: Dok. jakarta.go.id)
Ketiga, Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31 di bawah pimpinan Sukarni Kartodiwirjo dan Chaerul Saleh, beranggotakan para pemuda radikal sempalan Asrama Prapatan 10. Sukarni dan Chaerul Saleh saat itu bukan nama baru dalam peta pergerakan pemuda Indonesia. Keduanya bisa dibilang “dedengkot” para pemuda.
Sukarni. (Foto: Dok. Kemdikbud)
zoom-in-whitePerbesar
Sukarni. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Sukarni merupakan pendiri organisasi Persatuan Pemuda Kita; Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda--organisasi hasil peleburan Jong Java, Pemuda Indonesia, dan Jong Sumatera; anak didik Sukarno semasa berkuliah di Bandung; dan disebut memiliki akses ke Tan Malaka.
ADVERTISEMENT
Sejak remaja, Sukarni hobi berkelahi dengan orang Belanda. Ia dan puluhan teman-temannya pernah terlibat tawuran dengan anak-anak Belanda. Mereka menang dan menceburkan ke kolam bocah-bocah Belanda yang kalah tarung.
Chaerul Saleh. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Chaerul Saleh. (Foto: Wikimedia Commons)
Sementara Chaerul Saleh ialah salah satu pendiri dan Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia--ormas paling radikal saat itu. Ia juga bekerja di Departemen Propaganda Jepang (Sendenbu), dan pernah memimpin Baperpi.
Sebagai pemuda dan pemimpin mahasiswa yang militan, Chaerul Saleh mulai menonjol di gerakan mahasiswa menjelang Perang Dunia II, tahun 1940-an.
Gedung Joang 45. (Foto: Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Joang 45. (Foto: Wikipedia)
Berdiri di bangunan bekas hotel mewah, Asrama Angkatan Baru Indonesia di Jalan Menteng Raya 31--yang kini dikenal dengan sebutan “Gedung Joang”--adalah markas operasioal para pemuda radikal. Asrama ini didirikan di bawah restu Sendenbu pimpinan Hitoshi Shimizu pada Juli 1942.
ADVERTISEMENT
Anggota asrama dibagi dua: 50 orang tinggal di asrama dengan makan ditanggung pengelola asrama, dan 70 orang tidak tinggal di asrama namun sama-sama mengikuti kursus politik di asrama tersebut.
Terdapat sejumlah syarat bagi pemuda yang hendak mengikuti pendidikan di Asrama Menteng 31, yakni berpendidikan MULO (sekolah menengah pertama pada zaman kolonial Belanda) dan perguruan tinggi, serta memimpin pergerakan pemuda di daerahnya masing-masing.
Mereka yang menghuni asrama ini, selain Sukarni dan Chaerul Saleh, ialah Adam Malik dan Dipa Nusantara Aidit. Sementara tenaga pengajarnya ialah Sukarno, Hatta, Amir Syarifuddin, Ki Hajar Dewantara, dan lain-lain.
Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31 diberi kuliah umum filsafat, sejarah, tata negara, juga dididik untuk melakukan kontrapropaganda terhadap berita-berita Jepang, serta membangun jaringan informasi serta kekuatan di daerah-daerah.
ADVERTISEMENT
Menteng 31, yang kental nuansa politik dan militer, adalah asrama yang paling terorganisasi dengan baik, dan karenanya menjadi motor penggerak pemuda revolusioner di Jakarta. Sejumlah alumninya cukup menonjol. Mereka terkenal berani, tahan mental, dan lihai dalam perang gerilya.
“Sebenarnya Jepang bermaksud menjadikan pemuda-pemuda ‘Angkatan Baru’ sebagai aparat yang setia guna melancarkan propaganda ‘Asia Timur Raya’, tetapi gagal. Pengaruh gerakan kemerdekaan justru lebih mampu melahirkan angkatan baru yang tergembleng, tangguh, dan tak bisa dijadikan kuda tunggangan Jepang meski disuap sekalipun,” kata Sidik Kertapati, aktivis Gerindo, dalam bukunya, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945.
Wikana. (Foto: Dok. Kemdikbud)
zoom-in-whitePerbesar
Wikana. (Foto: Dok. Kemdikbud)
Keempat, Asrama Indonesia Merdeka di Jalan Kebon Sirih 80, Menteng, di bawah pimpinan Wikana--aktivis kiri, pemimpin bawah tanah Partai Komunis Indonesia Jawa Barat pada era penjajahan Belanda, Ketua Barisan Pemuda Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), dan anak didik Sukarno semasa di Bandung seperti Sukarni.
ADVERTISEMENT
Asrama Indonesia Merdeka, seperti dikutip dari portal resmi Provinsi DKI Jakarta, jakarta.go.id, didirikan Oktober 1944 oleh pemerintahan pendudukan Jepang di bawah pengawasan Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang), tepatnya Kepala Perwakilan Kaigun Jepang di Jakarta, yakni Laksamana Muda Tadashi Maeda.
Asrama itu bertujuan untuk memberikan pendidikan politik bagi para pemuda Indonesia dari berbagai daerah. Penghuni asrama--anggota Gerindo maupun para pemuda dari timur Indonesia--mendapat pelajaran tentang paham kebangsaan dari tokoh-tokoh nasional seperti Sukarno, Hatta, Iwa Kusumasumatri, Sutan Sjahrir, dan lain-lain. Mirip dengan pola pendidikan di Asrama Menteng 31.
Enam bulan setelah Asrama Indonesia Merdeka berdiri, April 1945, 30 orang angkatan pertama lulus dari kursus kebangsaan di asrama tersebut. Sebulan kemudian, Mei 1945, saat 80 orang angkatan kedua siap memulai kursus, Jepang “keburu” menyerah kepada Sekutu, mengakhiri pendudukan Jepang di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jalan Cikini, Jakarta, 1945. (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Jalan Cikini, Jakarta, 1945. (Foto: kitlv.nl)
Dari empat asrama pemuda tersebut, tiga di antaranya tersebar di Menteng--Asrama Baperpi di Cikini 71, Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31, dan Asrama Indonesia Merdeka di Kebon Sirih 80.
Menteng sejak lama memang menjadi pusat pergerakan politik negeri ini. Dan bukan cuma asrama pemuda yang berserak di Menteng, Jakarta Pusat, melainkan juga kediaman para tokoh nasional Indonesia yang sengaja dipusatkan Jepang di satu lokasi dan saling berdekatan untuk mempermudah pengawasan.
“Dihimpun oleh Jepang agar Jepang mudah ‘memegang’ mereka. Rumah-rumah golongan tua seperti Sukarno dan Hatta di kawasan inti Menteng, dan golongan muda di pinggiran Menteng. Batas Menteng itu rel kereta,” ujar Jaka Perbawa di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng.
ADVERTISEMENT
Sejarah itulah yang antara lain berperan pada terbentuknya Menteng sebagai kawasan elite di Jakarta hingga kini.
Di sisi lain, kedekatan lokasi membuat para tokoh nasional Indonesia pada masa itu dapat berkomunikasi dengan mudah. Dari rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56 ke rumah Hatta di Jalan Diponegoro 57 misalnya, hanya butuh 10 menit berjalan kaki.
“Para tokoh berpengaruh diberi fasilitas rumah oleh Jepang di kawasan Menteng. Rumah-rumah itu bekas ditinggali orang-orang Eropa yang pergi ketika Jepang datang. Jepang, saat tiba ke Indonesia, langsung menyensus siapa-siapa saja orang berpengaruh di sini. Sukarno setelah bebas dari Bengkulu, disediakan rumah di Pegangsaan Timur, diajak bergabung dalam rencana persemakmuran Jepang. Juga Bung Hatta dan Sjahrir. Tapi Sjahrir tak mau,” kata Jaka.
ADVERTISEMENT
Rosihan Anwar, dalam bukunya, Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan 1909-1966, juga Hendri F. Isnaeni dalam bukunya, Kontroversi Sang Kolaborator, menceritakan tentang kesepakatan antara Sukarno, Hatta, dan Sjahrir soal cara perjuangan mereka demi Indonesia merdeka.
Sukarno-Hatta menempuh jalan kooperasi atau bekerja sama dengan Jepang sembari mempersiapkan pemuda Indonesia, sedangkan Sjahrir memimpin gerakan bawah tanah, dengan tetap berkomunikasi dengan Sukarno-Hatta.
Sjahrir, Sukarno, dan Hatta. (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Sjahrir, Sukarno, dan Hatta. (Foto: kitlv.nl)
Sikap nonkolaborasi Sjahrir itu mengendap sepenuhnya dalam hati para pemuda. Golongan muda itulah yang kemudian mendesak Sukarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
“Janji kemerdekaan di kemudian hari oleh Jepang kami anggap menghina bangsa Indonesia. Kami, pemuda radikal seluruh Indonesia, jijik dan malu mendengarnya. Kami tidak mau ‘kemerdekaan hadiah’. Jangankan di kelak kemudian hari, janji merdeka besok pun kami tidak sudi menerimanya. Pemuda sudah lama menyiapkan organisasi dalam segala bentuk, siap bertempur merebut kemerdekaan tanah air,” kata AM Hanafi, Sekretaris Asrama Angkatan Baru Indonesia, dengan emosional dalam bukunya, Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan.
ADVERTISEMENT
AM Hanafi dan kawan-kawannya--Chaerul Saleh, Sudiro, SK Trimurti, Sayuti Melik, dan Asmara Hadi yang tak lain adalah kakak Hanafi--berkumpul di sebuah kebun pisang dekat Lapangan Terbang Kemayoran sehari sebelum rapat gelap para pemuda di belakang Laboratorium Bakteriologi Eijkman Institute.
Saat itu, 14 Agustus 1945, sembari digigiti nyamuk kebun, mereka menunggu pesawat yang ditumpangi Sukarno-Hatta kembali dari Saigon, Vietnam. Sukarno-Hatta ke Vietnam untuk memenuhi undangan Jenderal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara.
Begitu mendarat di Kemayoran, setelah situasi agak sepi dan orang-orang Jepang mulai menjauh, para pemuda mendekati Sukarno-Hatta. Sukarno ketika itu hendak naik ke mobil, sedangkan Hatta sudah masuk lebih dulu ke dalam mobil yang sama.
Sukarno-Hatta. (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Sukarno-Hatta. (Foto: kitlv.nl)
“Selamat datang kembali Bung Karno, Bung Hatta. Kami semua menunggu oleh-oleh dari Saigon,” kata Chaerul Saleh.
ADVERTISEMENT
Sukarno, yang di Vietnam mendengar Jenderal Terauchi berbicara “Pemerintah Agung di Tokyo memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia”, lantas mengatakan, “Pokoknya kemerdekaan sudah dekat. Sekarang Indonesia sudah akan merdeka seperti halnya jagung bukan lagi akan berbunga, tapi segera akan berbuah. Karena itu kita semua harus bersiap.”
Ucapan Sukarno lantas disambut desakan para pemuda. “Tapi kami tidak mau kemerdekaan hadiah. Kami tak mau janji-janji Jepang itu. Proklamirkan kemerdekaan bangsa kita sekarang juga! Jepang sudah kalah, Jepang sudah dibom! Jenderal Terauchi tentu tidak bilang itu kepada Bung Karno.”
Informasi tentang kekalahan Jepang itu memang tak disebut sama sekali oleh Jenderal Terauchi--yang di hadapan Sukarno mengesankan Jepang tetap imperium kuat Asia Raya.
Namun Sukarno menolak untuk membahas hal itu lebih lanjut. “Kita tidak bisa membicarakan soal itu di sini. Lihat itu, Kempetai (polisi militer Jepang) mengawasi kita. Bubarlah! Nanti kita bicara lagi.”
ADVERTISEMENT
Chaerul Saleh dan kawan-kawan diliputi kejengkelan kala mobil Sukarno melintas pergi.
“Pemuda angkatan sekarang tentu tidak bisa membayangkan dan merasakan gejolak di dada kami pada waktu itu. Kami gemas dan penuh gerutu. Seandainya pada waktu itu tangan kami menggenggam bom, maka bom itu ingin kami ledakkan waktu itu juga sehingga bisa mendorong Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera tanpa ragu meyakini kekalahan Jepang dari Sekutu,” ujar AM Hanafi.
Gedung Eijkman Institute. (Foto: kitlv.nl)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Eijkman Institute. (Foto: kitlv.nl)
Setelah insiden itu, masih berselimut rasa kesal, para pemuda menggelar pertemuan di belakang gedung Eijkman Institute, Jalan Pegangsaan Timur 17.
Rapat rahasia itu menghasilkan satu sikap bersama, bahwa “Kemerdekaan Indonesia adalah hak serta persoalan rakyat Indonesia. Sama sekali tidak tergantung kepada siapapun dan negara manapun. Untuk menyatakan bahwa Indonesia telah merdeka, tidak bisa lain harus dengan proklamasi kemerdekaan.”
ADVERTISEMENT
38 jam kemudian, proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang, membuka pintu zaman baru.
Untuk kamu yang punya cerita menarik seputar riwayat Proklamasi Kemerdekan Indonesia, atau #Momentum72 tahun Indonesia merdeka saat ini, atau bahkan soal perlombaan 17 agustusan unik di lingkunganmu, sila berbagi cerita via akun kumparan kamu, ya.
Jika belum punya akun kumparan, yuk buat. Tak susah kok. Klik panduan berikut: Q & A: Cara Membuat Akun & Posting Story di kumparan
Jangan lupa masukkan topik Momentum 72 saat kamu mem-publish story ;)
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.