Menyelami Isi Pikiran dan Hati Seorang Begal

3 Agustus 2020 10:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pencurian motor. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pencurian motor. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Berkendara atau memarkir motor di Jakarta dan sekitarnya belum sepenuhnya aman. Ada mata asing yang selalu mengawasi, siap merebut motor kita, dengan cara keji. Mereka, para begal yang mencuri bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga aktualisasi diri.
ADVERTISEMENT
Selama 14 hari, terakhir Polda Metro Jaya sudah menangkap sedikitnya 1.237 orang preman dan begal dalam sebuah operasi besar-besaran. Dari jumlah itu 11 begal ditembak mati dan 247 orang jadi tersangka.
Apakah dengan penangkapan ini para kejahatan pencurian bermotor di jalanan akan berkurang? Bisa iya bisa juga tidak. Sebab, ada persoalan mendasar untuk mengatasi isu ini selain soal hukuman dan sanksi, yaitu faktor ekonomi, pendidikan dan gaya hidup.
kumparan berusaha menyelami isi pikiran seorang begal agar tahu soal pemicu aksi, bagaimana mereka beroperasi, sampai mimpi dalam hidup yang belum terealisasi. Seorang begal berinisial A yang kini meringkuk di tahanan, kami wawancarai. Dia bercerita panjang lebar soal motor yang dicurinya pertama kali, kuliah yang gagal dan penjara yang membuatnya makin jahat, bukan bertaubat. Ini ceritanya.
ADVERTISEMENT

Sebelum Jadi Begal

A lahir di Lampung. Usianya sekarang 22 tahun. Ia terlahir dari keluarga yang cukup mapan. Buktinya, setelah lulus dari sekolah menengah pertama di salah satu sekolah negeri di Lampung, keluarganya lebih memilih memasukkan AL ke salah satu SMA di Kota Bandung.
Lahir dari keluarga yang mapan tak berarti membuat dia kuat dari godaan lingkungan sekitarnya. Gaya hidup yang mahal dan gengsi yang terus dipelihara membuat ia dan teman-temannya memutar otak untuk mencari penghasilan yang besar dengan cara yang mudah.
“Nah itu, gaya anak-anak Lampung kan apa namanya, seakan ‘hobi gue mahal bro, gaya hidup gue mewah bro’. Kan gitu kesannya, gengsinya penyebab utama. Mau kerja yang mudah, tapi hasil gede (besar),” kata A.
ADVERTISEMENT
Semua iming-iming kesenangan soal duit melimpah tanpa harus susah payah terus masuk ke dalam otak A. Pengaruh itu semakin mempengaruhinya tatkala sejak sekolah di Bandung. Ia jauh dari pengawasan orang tua.
Sejak masuk SMA, A mulai dicekoki oleh teman-temannya soal hal-hal indah jika ia mau ikut berkecimpung di dunia gelap itu. Ajakan itu datang bukan dari teman yang baru dikenalnya. Semua ajakan itu datang dari teman-temannya yang sudah dikenalnya sejak di Lampung.

Awal Mula Beraksi Sebagai Begal

Beberapa hari setelah Mei 2013 berakhir, A baru saja lulus SMA. Saat itu, untuk pertama kallinya, A turun ke lapangan untuk menjadi seorang eksekutor. Petualangannya sebagai begal baru dimulai.
ADVERTISEMENT
Siang itu, kira-kira pukul 13.00 WIB, cuaca Jakarta Timur lebih terik dari hari sebelumnya. Seperti biasa, jalanan macet dan debu beterbangan di mana-mana. Klakson-klakson dari pengemudi yang tak memiliki kesabaran saling beradu di setiap lampu merah. Tak ada yang spesial di hari itu.
Di suatu kawasan di Jakarta Timur, A mencoba peruntungannya. Setelah diturunkan oleh temannya, A berjalan santai layaknya pejalan kaki kebanyakan. Siapa yang sangka kalau saat itu jantungnya berdetak di atas normal.
Ilustrasi Begal dan Rampok Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan
Beberapa saat setelah kakinya melangkah, matanya langsung tertuju pada salah satu motor jenis matik. A mendekat dan mulai mengutak-atik kunci pengaman motor, entah motor milik siapa yang ada di hadapan A saat itu.
ADVERTISEMENT
Berbekal kunci leter T berukuran sejengkal, aksi pertamanya berjalan lancar. Motor pertama di hari pertamanya menjadi seorang eksekutor berhasil digondol. Merasa belum cukup mendapat satu motor, ia beraksi sekali lagi. Dan berhasil.
Satu fakta soal aksi pertama A, dia beraksi bukan di lokasi yang sepi. Lokasi sepi menjadi tempat yang diharamkan oleh kelompok mereka.
Sederhananya, kelompok A lebih suka beraksi di tengah keramaian. Paling tidak, ada aktivitas lain di sekitar target operasi. Lokasi yang cenderung ramai, mengurangi risiko kewaspadaan pemilik kendaraan.
“Iya sebagian besar kami mencari di tempat keramaian, yang orang nggak bakalan curiga bisa hilang. Kayak di parkiran pasar, di depan minimarket, di pecel lele atau di tempat ramai lain,” ujarnya.
ADVERTISEMENT

Begal untuk Gaya Hidup

Walau jadi begal, A tetap kuliah. Dia disekolahkan oleh orang tuanya di universitas swasta di Bandung. Jurusan Teknik Informatika.
Hidup di kota Paris Van Java, membuat A semakin mengenal cara berpakaian yang lebih baik--membuat A semakin paham dengan berbagai merek terkenal dan tergiur untuk mengenakannya. Gengsi yang sudah ia pupuk sejak kecil, tumbuh subur saat ia hidup di Bandung.
“Kalau zaman kuliah itu kan Sabtu sama Minggu libur. Awalnya saya cuma Sabtu dan Minggu aja ke Jakartanya, tapi lama-lama malah kebalikannya. Sabtu dan Minggu saya di Bandung, soalnya Senin sampai Jumat saya main (begal) di Jakarta,” ujar A.
Kehidupan dunia kampus A benar-benar di luar pengawasan orang tuanya. Dunia kuliah yang seharusnya menjadi lahan baik untuk menempa dirinya, menjadi dunianya yang kedua.
ADVERTISEMENT
“Asyik main (begal) di Jakarta bikin kuliah kacau. Empat semester kuliah saya rusak, IPK 0,00. Gimana mau bagus IPK-nya, nggak punya duit, main ke Jakarta, punya duit balik ke Bandung, tapi cuma buat senang-senang sama kawan kuliah, nongkrong-nongkrong. Akhirnya saya di-DO,” ujar A.
Ilustrasi Pencurian motor. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Hanyut dengan status mahasiswa dan memiliki banyak duit membuat A semakin lupa daratan. Motor demi motor disikatnya, tak pandang milik siapa. Jika ditotal, dalam satu hari ia bisa menggondol hingga 15 motor, atau tergantung kesepakatannya dengan para penadah.
“Kalau sehari ada 28 motor yang hilang di daerah Jaksel, 15 motornya saya yang ngambilin,” ucapnya sambil tertawa.
Tak tanggung-tanggung, dalam satu minggu Rp20 juta hingga Rp25 juta bisa ia kantongi.
ADVERTISEMENT
Dalam sehari ia bisa mengantongi uang Rp5 juta. Jumlah tersebut ia dapatkan hanya dalam waktu 1,5 jam saja.

Timah Panas dan Dinginnya Bui

Ilustrasi Penjara. Foto: Shutter Stock
Dua tahun beraksi di Jakarta, A memutuskan untuk pulang ke Lampung. Tepatnya pulang untuk berlibur dan merayakan Lebaran.
Juni 2016, sebulan menjelang lebaran A sudah berada di Lampung. Saat itu ia pulang dengan keadaan tanpa uang. Sebab, ia baru saja gagal beraksi di Tangerang. Seharusnya, hasil dari aksinya itu nantinya adalah modal untuk pamer di Lampung.
“Waktu itu ada kejadian, sekitar bulan Juni 2016, kebetulan ada kejadian di Tangerang, hampir kena hajar massa di sana, nah otomatis pulang nggak bawa duit. Mau Lebaran pusing nggak punya duit, terus diajak kawan, akhirnya main di Lampung,” ujar A.
ADVERTISEMENT
Aksi pertamanya di Lampung inilah, yang membuatnya dipenjara. Ia tertangkap dengan dua lubang peluru di kakinya. Polisi melumpuhkannya dengan cara ditembak. A kemudian ditahan selama 6 bulan penjara.

Godaan Uang dan Kekeluargaan

Enam bulan kemudian A kembali bebas. Walau sudah berusaha untuk hidup lebih baik, godaan dari teman-temannya terlalu indah untuk ditolak. Ia kembali berulah, memilih jalan sebagai seorang eksekutor di Jakarta.
“Terus-terusan ditelepon, ya udah sini aja, gabung. Pertama nggak tergiur, kadua ketiga diajak terus akhirnya tergiur, gabung lagi, main lagi di Jakarta,” ceritanya.
"Saya waktu itu baru keluar, nggak punya apa-apa. Ngeliat kawan di Jakarta, bisa main, ke sana-ke sini, nongkrong di sana, nongkrong di sini," kata A iri.
ADVERTISEMENT
Selain soal nominal, hal yang membuat A rindu adalah rasa kekeluargaan di dalam kelompoknya. A sadar, kelompok bermainnya saat itu bukanlah kelompok baik-baik, namun dia merasa menemukan ‘rumah’ di sana.
"Nggak pake ketua kelompok, yang ada itu kerja sama, kekeluargaan dan saling menjaga, menjaga satu sama lain gitulah intinya," imbuh A.
Setelah bebas dari penjara Lampung, A pada November 2017 kembali beraksi di Jakarta Selatan dan akhirnya ditangkap lagi. Saat penangkapan, kakinya ditembak tiga kali.
Untuk hukuman kedua ini, A sebenarnya diancam dengan pasal yang menjeratnya hingga 7 tahun penjara. Namun dia merasa bisa keluar lebih cepat.
“Lebaran sekali lagi saya di sini, coba tebak sendiri,” ujarnya.
ADVERTISEMENT

Penjara Bukan Solusi

A merasa hukuman penjara tak membuat semua begal jera. Sebagian malah jadi lebih liar setelah ke luar penjara. Jaringan dalam dunia kejahatan pun semakin luas.
Di penjara, seorang begal bisa bertemu dengan jaringan begal yang lain. Bisa bertemu dengan penadah baru. Bahkan bisa sampai pada kelompok baru. Kondisi ini membuat, keinginan untuk berubah jadi semakin berat.
“Ya udah nanti di luar gabunglah, gini gini gini, gitu dapet temen baru relasi baru. Istilahnya kita dapet kawan main baru, ujungnya main bareng,” ucapnya.
A memastikan bila ada satu orang tertangkap, maka jaringannya akan terputus dengan penadah dan komplotan lain. Namun saat di penjara, ada peluang begal ini bertemu dengan jaringan baru. Di sinilah lingkaran setan kejahatan ini terus berputar.
ADVERTISEMENT
Bagi A, akar masalah kasus pencurian motor adalah para penadah dan bandar. Bila bandar dan penadah itu dibasmi, dia yakin angka pencurian akan berkurang drastis.
“Ya ini saya ditangkapnya sama bandar, tapi di atasnya dia masih ada lagi, dia mah cuma kroco-kroconya aja. Dia nggak mau ngomong ke mana semua motor itu,” ungkapnya.

Tobat Demi Diri Sendiri

Ilustrasi Begal dan Rampok Foto: Muhammad Faisal Nu'man
Bila sudah bebas kelak, A mengaku ingin meninggalkan dunia hitam yang selama ini membelenggunya. Dia sudah bertekad untuk mencoba hidup baru. Kembali pada orang tuanya dan memulai lagi dari nol.
Menurutnya, di balik wajah sangar para begal, ada perasaan galau dan sedih tentang perbuatan yang dilakukannya. Tak ada anak yang bercita-cita jadi begal, tapi memang keadaan dan masalah gaya hidup, membuat banyak orang terjerumus ke dalamnya.
ADVERTISEMENT
Ada sejumlah momen yang membuat jiwa A berkecamuk. Pertama, saat mendengar kabar ada begal yang ditembak mati aparat kepolisian. Kedua, saat bertemu dengan orang-orang yang disayanginya.
“Kayak apa ya, ngerasa bersalah, kok saya kayak gini loh. Tega sama orang-orang yang perduli sama saya, orang yang sayang sama saya, kok kayak gini,” ucap A.
“Apalagi pas momen ditangkap itu. Kita ke-gap itu kan nyawa di ujung kepala, mikirnya pasti udahlah ngapain lagi kayak gini, capek, kan gitu,” tambahnya.
A saat ini punya kekasih yang setia menunggunya di luar penjara. Sesekali, sang kekasih datang untuk menemani. Momen inilah yang membuat A semakin bersemangat untuk berhenti sebagai pencuri.
“Kalau sangar mah sangar, kalau hati masih pink love ini, hahaha,” katanya sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
Namun, pada akhirnya keinginan untuk berhenti bukan datang dari kekasih atau keluarga. Keinginan kuat dari diri sendiri mengalahkan segalanya. A sudah lelah dengan semuanya.
“Kasihan sama badan sama diri sendiri, istilahnya kayak nyiksa badan aja,” ucapnya menutup wawancara.