Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Tak hanya soal penanganan, banjir Kalsel menjadi polemik karena dikaitkan dengan deforestasi hutan di Kalimantan. Sejumlah gambar peta hutan Kalimantan yang semakin terkikis dari 1990 hingga 2020 pun tersebar di media sosial. Bergulir isu berkurangnya hutan menjadi penyebab musibah itu.
ADVERTISEMENT
Salah satu peta itu diunggah oleh akun Facebook pada 16 Januari 2021. Dalam peta itu, terlihat area warna hijau di Pulau Kalimantan masih banyak di tahun 1990. Lalu, area berwarna hijau itu semakin sedikit hingga 2020. Tak disebutkan makna dan sumber dari gambar peta tersebut.
kumparan kemudian mencoba mengunggah gambar peta foto itu melalui Google Reverse Image Search. Foto yang mirip pernah diunggah dalam laman exterity.com . Berikut adalah penjelasan peta tersebut:
Deforestasi di Kalimantan telah meluas secara masif dari tahun 1950-2020, dengan hilangnya kanopi hutan hingga sekitar 60 persen. Penipisan tutupan arboreal ini mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam penyerapan karbon dioksida oleh tumbuhan hutan.
Data tersebut digunakan dalam tulisan Forest Regeneration and Vanilla Cultivation in Indonesia oleh Nicholas Scott dan Made Setiawan. Dalam catatan kaki itu tertulis, peta itu berasal dari laman GRID-Arendal, pusat komunikasi lingkungan nirlaba yang berbasis di Norwegia.
ADVERTISEMENT
Lalu, pada 20 Januari 2021, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK mengunggah peta perubahan penutupan lahan pulau Kalimantan di Instagram. Dalam peta itu terlihat perbedaan warna hijau dari 1990 hingga 2019.
Dalam unggahan itu tertulis, data tersebut diambil dengan menggunakan SIMONTANA (Sistem Monitoring Hutan Nasional/NFMS) yang melibatkan sejumlah instansi seperti LAPAN. Akun itu juga menyebut, untuk data 2020 masih dalam proses finalisasi.
“Sistem ini dibangun dengan metodologi yang memadai dan berdasarkan background scientific, serta mengintegrasikan teknologi yang terus disempurnakan dari waktu ke waktu,” tulis dalam unggahan itu.
Sementara itu, LAPAN juga memiliki citra satelit pulau Kalimantan dalam rentang waktu 2000-2012. Warna hijau tua dalam peta itu menunjukkan area hutan yang masih utuh. Sementara itu, yang warna lebih muda merupakan area yang hilang. LAPAN memang belum melakukan analisis deforestasi di Pulau Kalimantan.
Dalam siaran pers 19 Januari 2021, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah menegaskan, banjir Kalsel terjadi karena cuaca. Ia membantah bencana tersebut karena luas hutan di DAS Barito Kalsel.
ADVERTISEMENT
''Penyebab utamanya terjadi anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi. Selama lima hari dari tanggal 9-13 Januari 2021, terjadi peningkatan 8-9 kali lipat curah hujan dari biasanya. Air yang masuk ke sungai Barito sebanyak 2,08 miliar m3, sementara kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta m3,'' ungkap Karliansyah saat media briefing virtual, Selasa (19/1).
Sementara itu, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, Belinda Arunarwati Margono, penurunan luas hutan alam DAS Barito di Kalsel selama periode 1990-2019 adalah sebesar 62,8 persen. Lalu penurunan hutan terbesar terjadi pada periode 1990-2000 yaitu sebesar 55,5 persen.
“Sebagai pemegang mandat pemantauan sumberdaya hutan, data yang ada ini riil, dan bukan prediksi atau estimasi seperti di medsos yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,'' tegas Belinda.
ADVERTISEMENT