Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Tanpa ayah dan ibu di sisinya, Yoga Prasetyo tumbuh menjadi pemuda yang bergelimang prestasi. Mulai dari diterima di Universitas Indonesia hingga menjadi perwakilan ke Amerika Serikat serta diberi kesempatan belajar di National University of Singapore (NUS).
ADVERTISEMENT
Sejak umur 2 tahun, Yoga sudah ditinggal ibunya yang harus banting tulang mencari rezeki ke Singapura. Sedangkan sang ayah pergi meninggalkan Yoga dan ibunya begitu saja.
Menjadi anak seorang TKI , Yoga sadar untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang senasib dengan ibunya. Dia lalu berinisiatif membentuk komunitas yang memperjuangkan hak TKI.
“Dan ketika saya menjalani program pertukaran pelajar di Singapura ini saya juga mendirikan sebuah proyek komunitas yang disebut sebagai Voice of Singapore's Invisible Hands di mana di proyek tersebut saya dan beberapa teman berusaha untuk memberdayakan pekerja migran melalui sastra dan kemampuan bahasa Inggris,” cerita Yoga kepada kumparan, Minggu (1/7).
Melalui Voice of Singapore, Yoga juga mendirikan sebuah perpustakaan kecil di sana. Dia berharap para TKI akan mampu menyerap ilmu dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Dengan begitu harapan Yoga akan terwujud, yaitu agar para TKI dapat menarasikan cerita mereka sendiri dari perspektif mereka sendiri, untuk dibaca masyarakat, baik di Singapura maupun di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut Yoga, selama ini narasi tentang TKI terlalu homogen. Padahal, realitas yang dia temukan tidaklah demikian.
“Karena mereka sering diasosiasikan dengan pelanggaran hak dan banyak cerita negatif lain. Kami ingin memunculkan cerita lain yang memang ada di lapangan. Agar mereka tidak hanya mengetahui sisi negatif saja tapi juga mereka dapat mengetahui bahwa TKI itu juga berprestasi gitu,” papar Yoga.
Tentang pelatihan Bahasa Inggris, Yoga membuka kelas secara daring. Dia dan timnya merekrut relawan dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan juga dari Amerika Serikat untuk mefasilitasi kelas tersebut.
Harapannya, supaya para TKI itu mahir berbahasa Inggris (bahasa nasional Singapura) sehingga mengurangi kesalahpahaman dalam kerja. Menurut Yoga, dari realitas yang dia temukan, banyak pelanggaran kepada para TKI terjadi akibat kesalahpahaman. Misalnya, diminta majikan untuk mematikan setrika, tapi malah justru ditambah suhunya sehingga menyebabkan kerusakan baju.
ADVERTISEMENT
Berjuang Lewat Sastra
Masuk semester 5 saat belajar di Sastra Inggris Universitas Indonesia, Yoga mulai berkenalan dengan teori-teori psikoanalisis, post kolonialisme dan gender. Baginya, teori-teori itu cukup penting karena membuatnya mampu melihat dunia dari sisi lain, termasuk soal TKI.
“Saya juga melihat sastra bukan hanya sebagai novel biasa tapi sebagai sebuah perjuangan untuk merepresentasikan kelompok tertentu dan sebuah lensa untuk memahami suatu masyarakat,” kata Yoga.
Saat ini sekitar 20 TKI di Singapura bergabung dalam kelas penulisan yang diadakan Voice of Singapore. Para TKI yang mayoritas adalah pekerja rumah tangga itu sebelumnya banyak menulis prosa dan puisi. Namun, mereka masih asal menulis, belum mengetahui teknik-tekniknya.
“Jadi banyak karyanya yang kurang menggugah kurang menohok, kurang berisi. Jadi apa yang kami lakukan itu adalah mengenalkan teknik-teknik penulisan sastra agar pesan mereka lebih tersampaikan ke audiens,” sebut Yoga.
Nantinya, karya-karya para TKI itu akan dibagikan di halaman Facebook Voice of Singapore. Selain itu, juga akan diberikan ke kalangan aktivis di Singapura dan juga ditampilkan di beberapa acara seperti Singlish station. Dengan demikian, beberapa karya itu akan diketahui langsung oleh warga Singapura.
ADVERTISEMENT
Rencananya, pada Agustus nanti karya-karya para TKI ini akan dipublikasikan di Univeristas Indonesia.
“Agar orang tahu pekerja migran ini berprestasi , mereka bisa menulis sastra yang selama ini dipandang jauh dari TKI. Karena TKI seringkali diasosiasikan dengan keterbelakangan pendidikan, jauh dari tulis menulis. Sastra punya kemampuan untuk menelusuri sisi kemanusiaan orang, perasaan, dan lain-lain,” pungkas Yoga.