Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Hiruk pikuk truk-truk oranye bertuliskan “Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta” di Jalan Raya Narogong menemani perjalanan kami menuju Kampung Ciketing Sumurbatu, Kelurahan Sumurbatu, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Ketika masuk ke Jalan Pangkalan V, kami yakin sedang memasuki zona tempat pembuangan sampah terbesar di Jabodetabek: Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang.
Sumurbatu merupakan satu dari empat kelurahan di Kecamatan Bantargebang yang menjadi tempat pembuangan sampah. Dari luas geografis kelurahan sekitar 568.955 hektare, sebanyak 37,2 hektare digunakan sebagai TPST Bantargebang, dan 20 hektare di antaranya merupakan tempat pembuangan sampah untuk ibu kota.
Kami tiba di Kampung Ciketing Sumurbatu sekitar pukul 11.00 WIB, dijemput Usman (53). Ia, bersarung, datang dengan sepeda motornya.
Berjarak kurang 20 meter dari titik kami masuk kampung, terdapat salah satu gunungan sampah TPST Bantargebang. Kampung ini memang dikepung sampah menggunung.
Sejak memasuki Jalan Pangkalan V hingga depan kampung itu, truk-truk oranye milik Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta semakin banyak jumlahnya.
ADVERTISEMENT
Bau sampah, walau tak menusuk, jelas tercium setiap waktu. Dan pada kali yang melintang di depan kampung itu, dari Usman kami mengetahui, warna hitam air kali tidak lain merupakan potret pencemaran lingkungan akibat sampah.
Diajak Usman berkeliling sejenak menyusuri kampung itu, kami memperhatikan para penduduk tengah beraktivitas dengan sampah. Yang paling banyak terlihat ialah penduduk yang sedang membersihkan bekas kemasan air mineral dan menimbang sampah-sampah yang telah dibungkus dengan karung putih besar.
Di kampung itu, menurut Usman, hampir semua penduduknya menggantungkan kehidupan dari sampah. Di halaman setiap rumah penduduk selalu terdapat tumpukan ragam jenis sampah, baik yang sedang mengantre untuk dibersihkan maupun yang sudah dibersihkan dan mengantre untuk ditimbang atau diambil oleh agen yang akan membelinya.
ADVERTISEMENT
Pada bagian barat kampung tersebut, dari kejauhan terlihat pemandangan deretan bedeng yang berdiri meramaikan tepi gunung sampah. Betapa pemandangan yang kontras, antara gunung sampah yang berdiri menjulang dengan bangunan mungil ringkih tempat tinggal para pemulung.
Usman memberitahu kami soal tempat tinggal para pemulung di Bantargebang. Dia mengatakan, ada pemulung yang mengontrak rumah di dalam kampung dan ada yang tinggal di bedeng tepat di tepi gunung sampah.
“Kalau di bedeng itu ikut bos. Ada juragannya, dia buat bedeng untuk menampung pemulung. Jadi nanti barangnya lari ke situ (juragan). Nah kalau yang mengontrak, dia bebas,” ujar Usman kepada kami.
“Yang di bawah (di bedeng) itu, dia berpikir enggak panjang. Dia yang penting enggak mikirin (biaya kontrak) per bulan, enggak pernah mikirin bayar listrik. Padahal kalau kehidupan sehat ya mendingan di ataslah (kontrak rumah di dalam kampung), lebih sehat kan. Walaupun kontrak dekat sampah, tapi rumah layak seperti di daerahnya. Tapi kalau di bedeng, bawahnya sampah,” kata Usman mendeskripsikan kehidupan para pemulung di daerah itu.
Berbeda dengan pemulung di bedeng, pemulung yang mengontrak harus mengeluarkan biaya kontrak rumah rata-rata Rp 300 ribu per bulan. Baik pemulung yang mengontrak maupun yang tinggal di bedeng merupakan pendatang dari berbagai daerah. Keduanya, kata Usman, sudah bermukim bertahun-tahun di sana sebagai pemulung.
ADVERTISEMENT
Sebelum sampai ke rumah Usman, kami diantarkan ke salah satu rumah kontrakan pemulung tempat kami akan bermalam. Penghuni rumah tersebut adalah Wawan. Ia tinggal bersama seorang istri, dua anak, dan seorang mertuanya.
Kontrakan itu tampak sederhana, dengan lantai tanpa keramik dan perabot rumah sekena-seadanya. Berkarung-karung sampah yang sudah dikumpulkan tampak teronggok di samping dan belakang rumah Wawan yang berdekatan dengan rumah kontrakan lainnya.
Anak-anak bermain di sekitar rumah. Wawan dan keluarga menyambut hangat kami. Di samping kemurahan hati mereka mengizinkan kami menginap, Wawan dengan tangan terbuka juga membolehkan kami untuk mengikutinya memulung pada malam hari.
“Malah mau ikut mulung. Biarin deh, mau ngerasain rasanya mulung, nyium bau sampah langsung,” ujar Usman kepada Wawan, menyulut tawa kami.
ADVERTISEMENT
Usman lalu berpesan kepada Wawan, “Tapi nanti kalau mereka udah enggak kuat, kamu anterin turun dulu. Paling-paling juga satu-dua jam kuatnya.”
Wawan memang lebih memilih untuk memulung pada malam hari. Menurutnya, “Kalau malam kan udaranya lebih enak, adem, enggak panas. Kalau siang panas banget.”
Beranjak dari rumah Wawan, kami menuju ke rumah Usman yang berjarak sekitar 800 meter atau 1.100 meter dari titik tempat kami masuk kampung.
Lingkungan dan aktivitas penduduk sepanjang perjalanan itu menguatkan kesan konyol kami, bahwa seolah tidak akan jadi soal jika kami membuang sampah plastik sembarangan, terutama kemasan air mineral. Sebab, akan ada penduduk yang mengambilnya untuk disatukan dengan sampah lain yang mereka kumpulkan.
Terlintas juga pikiran: jangan-jangan botol dan gelas air mineral yang kami minum di kantor saban hari, kini ada di salah satu karung milik mereka.
Istri Usman dan beberapa orang tetangganya sedang sibuk membersihkan sampah bekas air mineral ketika kami tiba di kediaman mereka. Sama seperti rumah lain di kampung itu, karung-karung putih berisi sampah tersebut menjadi bagian dari “dekorasi” lingkungan rumah Usman.
ADVERTISEMENT
Sampah-sampah itu bisa saja tak perlu dibersihkan untuk langsung masuk karung. Namun antara dibersihkan dengan tidak dibersihkan memiliki nilai ekonomis yang berbeda. Misalnya saja, kata Usman, “Gelas mineral yang sobek (sudah dibersihkan bagian atasnya) itu Rp 7.000 per kilogram. Sedangkan yang kotor itu Rp 4.000 per kilogram.”
Beberapa ibu memilah dan membersihkan sampah-sampah itu di bawah pohon rendah yang rindang, sementara anak-anak mereka bermain dengan kaki telanjang.
Ketenangan suasana kampung bercampur pemandangan tersebut membuat kami nyaris lupa bahwa jarak dari tempat itu ke ibu kota--tempat sampah-sampah itu berasal--hanya kurang dari 40 kilometer.
Menurut laporan kependudukan Kelurahan Sumurbatu, ada sekitar 419 orang yang berprofesi sebagai pemulung di wilayah itu--profesi keempat yang terbanyak di kelurahan tersebut di bawah petani, pegawai swasta, dan buruh tidak tetap.
ADVERTISEMENT
Meski terdapat 138 hektare sawah di kelurahan itu, sebagian lahan pertanian tersebut sudah tercemar oleh sampah dari TPST Bantargebang. Jadi tak cukup mengherankan ketika kami berkeliling menemukan ada lahan pertanian yang bersebelahan dengan gunungan sampah, dan sebagiannya botak alias tak ditanami apapun.
Selepas senja, Usman dan keluarganya mengajak kami makan bersama di teras rumah panggung miliknya. Hidangannya langsung memompa nafsu makan kami: nasi, telur dadar, tumis genjer, ikan asin, dan sambal terasi.
Usman seolah paham betul cara meningkatkan semangat kami sebelum mendaki gunung sampah mengikuti Wawan bekerja.
Sekitar pukul 20.30 WIB, kami dan Wawan sudah siap dengan sepatu bot dan senter kepala. Wawan mengatakan, ia biasanya memulung dari sekitar pukul 19.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB dini hari.
ADVERTISEMENT
“Kami mulung sampai pagi, kadang istirahat sebentar nyari lagi. Kadang-kadang kalau tenaga masih kuat, kami (kerja) sampai siang, sampai jam 08.00 atau 09.00 WIB baru pulang, kalau lagi fit badannya,” ujar Wawan.
Kepada Wawan dan kami, Usman kembali mengulang pesan yang ia sampaikan sebelumnya, agar kami tak memaksakan diri meneruskan ikut memulung jika kelelahan.
Kami mengikuti Wawan ke gunung sampah di zona tiga. Zona itu merupakan yang paling besar dan tinggi dari lima zona di TPST Bantargebang. Di zona itulah Wawan biasa mencari peruntungannya pada sekitar 6.000 ton sampah yang berasal dari Jakarta setiap harinya.
Saat berjalan menuju titik mendaki gunung sampah, Wawan beberapa kali menunjuk-nunjuk butir-butir cahaya yang bergerak jauh di ketinggian. Butir-butir cahaya itu merupakan tanda bahwa Wawan tidak akan sendirian. Butir-butir cahaya itu berasal dari headlamp para pemulung yang tengah bekerja.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, kami tidak pernah menyangka bahwa banyak pemulung di TPST Bantargebang memilih bekerja di malam hari. Salah satu alasannya ialah karena truk-truk sampah dari Jakarta yang beroperasi selama 24 jam mengirimkan sisa-sisa konsumsi sekitar 10 juta penduduk ibu kota.
Di samping, tentu saja seperti alasan Wawan, pada malam hari mereka tak perlu berjibaku dengan sengatan panas matahari.
Untuk mencapai puncak gunung sampah setinggi 36 meter di zona tiga itu, bukan perkara mudah bagi kami yang tak terbiasa. Curamnya bidang gunung sampah membuat napas kami payah. Tenaga untuk bernapas pun dikuras oleh bau sampah yang melesak ke hidung.
Belum pernah sebelumnya kami menginjakkan kaki di sebuah tempat di mana kami tidak bisa melarikan diri dari sesak bau sampah yang mengepung.
ADVERTISEMENT
Tak kurang dari 10 menit mendaki, kami sampai di atas gunung sampah. Kesan kami pun berubah. Jika dari bawah kami melihatnya sebagai gunung sampah, setelah sampai di atasnya dan gunung sampah itu berada di bawah kaki kami, kami justru merasa lebih tepat menyebutnya sebagai lautan sampah.
Wawan pun mulai bekerja. Ia mengambil keranjang yang ada di tepi, lalu bergumul dengan sampah seperti para pemulung lain. Beberapa pemulung tampak beristirahat dengan menggelar karung sebagai alas. Sambil duduk atau tiduran, mereka asyik mengobrol.
Pijakan kaki kami benar-benar hanya sampah. Kadang terasa padat, di lain tempat terasa empuk. Bagaimana soal baunya? Kami berani bertaruh, mungkin itulah bau yang paling busuk dan sesak yang pernah kami cium.
ADVERTISEMENT
Jika seseorang meminta kami menggambarkan seperti apa baunya, mungkin kami tidak bisa lain kecuali berbalik memintanya agar berada langsung di tempat kami saat itu.
Namun, para pemulung sudah terbiasa dengan itu. Tidak satu pun di antara mereka yang terlihat menggunakan masker atau terganggu dengan bau sampah. Sementara kami tak sanggup menahan dorongan untuk sesekali menutup lubang hidung.
Bagi Wawan, memulung jauh lebih mudah dinikmati daripada pekerjaan sebelumnya sebagai sopir truk sampah selama 15 tahun. Meskipun, ia sadar risiko yang mesti ditanggung jauh lebih besar.
“Lebih bebas (jadi pemulung). Kalau kerja jadi sopir kan salah sedikit aja diomelin, telat aja diomelin, ditegur. Kalau pemulung kan bebas mau jam berapa aja berangkat,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, keinginan untuk selalu dekat dengan keluarga menjadi alasan utama Wawan untuk melakoni pekerjaannya saat ini.
“Kalau sopir, kan kadang-kadang jauh sama keluarga. Jadi jarang pulang. Kalau pemulung setiap hari pulang. Enaknya di situ yang saya rasakan,” ujar Wawan.
Pendapatan sekitar Rp 100 ribu per hari bagi Wawan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi Wawan dan para pemulung seperti dirinya, bekerja adalah urusan untuk hidup hari ini.
Dari ribuan ton sampah itu, Wawan tak perlu merasa cemas tidak akan mendapat uang dalam sehari, asalkan ia mau memulung hingga keranjang penuh. Sebab, bagi Wawan dan pemulung lainnya, semua jenis sampah memiliki nilai ekonomis.
“Bisa, (sampah) apa aja bisa (dijual). Dibilang laku semua sih laku kalau kami ambilin semua. Cuma daun doang aja yang enggak laku,” ujar Wawan diwarnai senyum.
Ucapan dengan makna serupa juga telah kami dengar dari Usman sebelumnya. Ia mengatakan, “hanya daun aja yang enggak jadi duit. Semuanya sudah jadi duit.”
ADVERTISEMENT
Ujaran tersebut dengan sendirinya menunda atau mungkin membatalkan pengertian kata “sampah” yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni: barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi dan sebagainya.
Sampah, tampaknya, memang memiliki sejumlah arti definitif dan metaforis yang bisa dimaknai secara berbeda sesuai ragam konteks dalam masyarakat.
Wawan, Usman, dan pemulung lain di TPST Bantargebang memaknai sampah sebagai bagian dari peluang menyambung hidup dari hari ke hari. Ini tentu berbeda dengan kebanyakan orang yang memandang sampah sebagai benda bekas yang hampir tentu tak mungkin lagi memiliki nilai ekonomis, atau bahkan menjijikkan untuk sekadar disentuh.
Begitulah sekeping kesan yang kami dapatkan selama dua hari berada di Kampung Ciketing Sumurbatu bersama para pemulung. Kisah lainnya akan kami ceritakan setelah ini.
ADVERTISEMENT
Ah ya, tentang mengapa kami ke sana, tak lain hanya ingin meihat sisi dunia yang selama ini mungkin tak terbayang oleh kebanyakan orang. Bagian dunia yang sebetulnya tak berjarak jauh dari kaum urban ibu kota.