Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mercellus Williams sebelum Dieksekusi Mati: Jadi Mualaf, Tulis Puisi Palestina
26 September 2024 14:32 WIB
ยท
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Missouri mengeksekusi mati Marcellus "Khaliifah" Williams, seorang pria kulit hitam berusia 55 tahun, pada Selasa (24/9).
ADVERTISEMENT
Menurut otoritas penjara di Missouri, Williams dinyatakan meninggal pada pukul 18:06 malam waktu setempat.
Dia dieksekusi dengan cara disuntik mati, meskipun bukti yang digunakan dalam kasusnya masih dipertanyakan.
Di penjara, Williams memeluk Islam dan mengubah namanya menjadi Khaliifah ibn Rayford Daniels.
Dia juga dikenal sebagai imam di penjara dan dijuluki "Khaliifah," yang berarti "pemimpin" dalam bahasa Arab.
Salah satu karya yang dia ditinggalkannya dalam penjara adalah sebuah puisi tentang anak-anak Palestina.
Puisi tentang Palestina "The Perplexing Smiles of the Children of Palestine"
Dalam puisi tersebut, Williams menggambarkan penderitaan anak-anak Palestina di tengah kekerasan, penghancuran, dan penindasan.
Ia menyebutkan drone, pesawat, bom, dan tank yang menghancurkan rumah, lingkungan, serta rumah sakit yang menjadi sasaran.
Katanya, meski hidup di bawah teror dan penindasan setiap hari, anak-anak Palestina tetap menunjukkan senyuman yang tangguh.
ADVERTISEMENT
Dengan kata-katanya, Williams mengakui keberanian dan ketangguhan anak-anak tersebut di tengah tragedi yang terus melanda mereka.
Ini puisi selengkapnya.
The Perplexing Smiles of the Children of Palestine
despite the actions of the few,
and excessive retaliation,
drones, planes, bombs, tanks, rubble, buildings demolished,
vanished houses and neighborhoods, hospitals targeted,
U.N. shelters disrespected, murder, death,
deliberate killing of noncombatants,
babies buried alive, amputations,
hunger and political starvation,
lack of or no water, strategic sanitation,
daily terror, and terrorized daily,
military maneuvering, moving here and there,
to return back again to nowhere,
trauma with all its manifestations,
international parleys and hesitation,
defiance to the realization of two nations,
global aid thwarted, global amnesia,
ADVERTISEMENT
siblings and relatives gone forever,
parental worries -
in the face of apex arrogance
and ethnic cleansing by any definition...
still your laughter can be heard
and somehow you are able to smile
O resilient Children of Palestine!
Kasus Penuh Kontroversi
Williams telah dipenjara selama 23 tahun, hampir setengah dari hidupnya.
Ia dihukum atas tuduhan pembunuhan Felicia Gayle, seorang jurnalis kulit putih berusia 42 tahun dari pinggiran kota St. Louis pada 1998. Namun itu merupakan kejahatan yang dia klaim tidak pernah dilakukannya.
Kasus ini menarik perhatian dunia karena adanya seruan dari berbagai pihak, termasuk keluarga korban dan kantor jaksa, yang menentang eksekusi tersebut.
Menurut pengacara Williams, DNA dari tempat kejadian tidak sesuai dengan Khaliifah dan bukti lainnya dihancurkan atau terkontaminasi oleh negara bagian Missouri.
ADVERTISEMENT
Selain itu, juri dalam persidangan Williams didominasi oleh orang kulit putih, dengan 11 dari 12 juri berkulit putih, sementara hanya ada satu juri kulit hitam.
Jaksa menyingkirkan enam dari tujuh calon juri kulit hitam, dengan alasan salah satu dari mereka "terlihat seperti saudara" Williams.
Kelompok hak-hak sipil mengkritik bias rasial yang terlibat dalam kasus Williams serta eksekusi lainnya di seluruh Amerika Serikat.
Menurut data investigasi Al Jazeera, orang kulit hitam di AS tujuh kali lebih mungkin dihukum secara salah atas tuduhan pembunuhan dibandingkan orang kulit putih, sering kali akibat kesalahan polisi dan pejabat.
Di negara yang hanya 13 persen penduduknya berkulit hitam, 37 persen dari mereka yang dipenjara atau dipenjara adalah orang kulit hitam. Dari jumlah total terdakwa yang dieksekusi di AS, 34 persen di antaranya adalah orang kulit hitam.
ADVERTISEMENT
Peringatan dari Sang Anak
Putra Williams, Marcellus Williams Jr., mengatakan bahwa ayahnya tidak ingin eksekusi ini memicu kekerasan, melainkan dijadikan pelajaran bahwa kejadian serupa dapat menimpa pria kulit hitam tak bersalah lainnya di AS.
Dia berharap ayahnya dikenang karena semangatnya, puisinya, dan senyum yang selalu menghiasi wajahnya.