Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pengawasan terhadap Laut Natuna Utara longgar. China masuk dengan mudah. Pemerintah Indonesia lantas menyiapkan strategi: mobilisasi nelayan Pantura ke Natuna.
Belum lewat setengah jam Dedi memerintahkan anak buah kapalnya menurunkan tali-tali pancing. Sore itu perairan di Laut Natuna Utara yang tenang tiba-tiba bergelombang.
Dari timur, sebuah kapal berukuran besar berbendera China bergerak cepat ke arah kapal Dedi. Itu kapal coast guard Negeri Tirai Bambu. Badan kapalnya yang bongsor membuat riak air meninggi.
Kapal kayu Dedi yang hanya berbobot 7 gross tonnage (kalah besar dengan kapal “raksasa” China!) pasrah terombang-ambing gelombang. Coast guard China makin dekat. Dedi buru-buru memerintahkan anak buahnya kembali menarik tali pancing. Padahal kotak tempat menyimpan ikan hasil tangkapannya baru terisi 14 kilogram.
“Takutlah kami. Dia coast guard, kami nelayan kecil. Lihat moncong meriam di depan saja kami sudah ngeri," kata Dedi menceritakan peristiwa akhir Oktober 2019 itu kepada kumparan di Natuna, Kamis (9/1).
Tak heran ketika itu ia memacu kapalnya menjauhi coast guard China menuju tepi Kepulauan Natuna. Dedi masih ingat jelas, insiden itu terjadi di koordinat 5 Lintang Utara dan 19 Bujur Timur. Jaraknya sekitar 115 mil di utara lepas pantai Kepulauan Natuna.
Dedi dan seorang anak buah kapalnya mendokumentasikan intimidasi dari coast guard China. Video itu baru viral sekitar dua bulan kemudian, tepatnya pada Desember 2019, membuat heboh sampai Jakarta.
Aparat China di kapal coast guard-nya memang kerap mondar-mandir di Natuna yang masuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. China memang mengklaim perairan Natuna Utara sebagai wilayahnya.
China berpijak pada argumen garis putus-putus nine-dash line yang mereka tetapkan sepihak di Laut China Selatan. Garis imajiner itu, menurut China, berdasarkan klaim historis jangkauan melaut nelayan China di masa lalu.
Itu sebabnya, kapal ikan dan coast guard China merasa berhak masuk ke Laut Natuna. Malahan, bukan hanya kapal berbendera China yang kerap ditemui Dedi.
Tiap kali melaut, ia sering berpapasan dengan kapal nelayan berbendera asing. Desember 2019, misalnya, kapal Dedi bertemu dengan kapal nelayan Vietnam yang sedang menangkap ikan di perairan Natuna.
Jadi bagi Dedi, yang bikin repot tak cuma coast guard China, tapi juga kapal nelayan asing lainnya. Pasalnya, mereka menangkap ikan di Laut Natuna menggunakan pukat harimau.
Metode penangkapan ikan tak ramah lingkungan itu membuat semua ikan terjaring dalam jumlah besar. Alhasil, nelayan yang menggunakan tali pancing seperti Dedi kesulitan mendapat ikan.
Bila dulu ia bisa membawa pulang 500 kilogram ikan sekali melaut selama 4-5 hari, sekarang tidak lagi. Sejak keberadaan kapal ikan asing marak beberapa bulan belakangan, Dedi harus melaut lebih lama untuk memperoleh jumlah yang sama.
Kehadiran kapal asing yang kian marak di Laut Natuna tak diimbangi aparat Indonesia. Oleh karena itu Dedi justru jarang bertemu kapal penjaga laut Indonesia.
“Ada sih (kapal patroli), api laut kita kan luas, armada kita terbatas. Jadi kapal aparat kita cuma ada berapa saja di Natuna ini,” kata Dedi.
Nelayan lokal Natuna lain, sebut saja Budi, mengamininya. Jarang sekali ia merasakan kehadiran pengamanan laut dari Indonesia di Laut Natuna Utara.
“Kadang-kadang ada tampak, kadang-kadang tidak. Entah ada atau tidak, kami kurang tahu. Yang jelas jarang ketemu sama patroli (Indonesia). Baru-baru ini (saja) heboh,” ujarnya.
Ketua Kelompok Nelayan Lubuk Lumbang, Herman, juga mengeluhkan kurangnya pengawasan otoritas terkait di perairan Natuna. Keluhan serupa muncul dari nelayan-nelayan yang menjadi anggotanya.
“Karena pengawasan itu tidak secara kontinu, nelayan asing pasti bisa masuk di wilayah itu," kata Herman kepada kumparan di Pelabuhan Pering, Ranai, Natuna.
Longgarnya pengamanan Laut Natuna diakui Staf Khusus Kemenko Maritim dan Investasi, Atmadji Sumarkidjo. Menurutnya, patroli laut seharusnya dilakukan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Yang jadi masalah, institusi itu, masih menurut Atmadji, sedang kekurangan armada. Terlebih, fokus pengamanan laut di Indonesia sepanjang akhir 2019 sedang terfokus di wilayah perairan timur.
Bakamla ketika itu sibuk mengawal jalur laut di sekitar Sulawesi. Sebab, pemerintah yang baru saja mengeluarkan larangan ekspor bijih nikel, khawatir jalur itu dimanfaatkan untuk ekspor ilegal.
“Banyak kapal patroli diarahkan ke timur Indonesia untuk mengawasi Morowali, di mana ada usaha penyelundupan nikel ke luar negeri,” kata Atmadji.
Pemerintah agaknya sadar armadanya untuk mengamankan laut amat terbatas. Celah itu jelas harus diisi. Dan awal Januari ini, Kemenko Polhukam mulai menghubungi kelompok-kelompok nelayan di daerah, khususnya Pantai Utara Jawa.
Mereka dipanggil ke Jakarta untuk ikut rapat. Pemerintah punya skenario meramaikan Laut Utara Natuna dengan nelayan-nelayan Pantura. Dengan begitu, eksistensi Indonesia di wilayah itu terwakili dengan kehadiran para nelayan.
“Selain Saudara menggunakan hak Saudara sebagai warga negara (untuk menangkap ikan), Saudara juga menggunakan kewajiban Saudara untuk turut membela negara, menunjukkan bahwa (Laut Natuna) ini milik kami,” kata Menko Polhukam Mahfud MD dalam pertemuan dengan asosiasi nelayan Pantura di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (6/1).
Seusai rapat itu, ketua perkumpulan nelayan kembali diundang ke serangkain pertemuan lanjutan. Tawaran menggiurkan yang dikemas dengan embel-embel bela negara itu disambut antusias.
Ketua Umum Asosiasi Nelayan Seluruh Indonesia, Riyono, menyatakan anggotanya siap dimobilisasi untuk mengeksplorasi Laut Utara Natuna. Ia mengklaim siap mengirim 177 kapal berkapasitas di atas 100 GT.
Asosiasinya pun sudah menggelar rapat koordinasi anggota di Semarang awal Januari. Pengiriman nelayan rencananya akan dilakukan dalam dua tahap.
Gelombang pertama akan melibatkan 80 kapal. Semua persiapan dan koordinasi hampir rampung. Yang menjadi kendala tinggal satu: komitmen pemerintah memberi subsidi solar bagi nelayan Pantura.
Bagaimanapun, perjalanan dari Pantura ke Natuna perlu bahan bakar yang besar. Menurut Riyono, para nelayan menunggu kepastian jaminan subsidi dari Ditjen Migas Kementerian ESDM dan Pertamina.
CEO Indonesian Ocean Justice Initiative, Mas Achmad Santosa, setuju dengan langkah yang ditempuh pemerintah. Nelayan, menurut dia, bisa berperan sebagai tenaga tambahan untuk mengawasi laut.
“Kapal nelayan kita jangan hanya diberikan konsesi dan lisensi. Latih mereka untuk bela negara. Dilengkapi alat komunikasi dan pengintai,” katanya .
Namun, rencana itu justru disambut dengan nada sumbang oleh nelayan Natuna. Herman menuturkan, nelayan Natuna punya cara menangkap ikan yang berbeda dengan nelayan dari daerah lain. Perbedaan itu dikhawatirkan membuat nelayan lokal Natuna tersisih.
“Dari segi peralatan, mereka (nelayan Natuna) sudah kalah. Mereka pakai pancing, sana (nelayan Pantura) pakai purse seine dan cantrang. Berarti kan sudah menutupi perut (nelayan Natuna) sini. Saya tanya mereka (nelayan Natuna), menolak semua (kedatangan nelayan Pantura),” kata Herman.
Herman juga menyoroti perbedaan kapasitas kapal yang digunakan nelayan Natuna dengan nelayan Pantura. Herman mengatakan, kapasitas kapal nelayan lokal Natuna rata-rata berbobot 5 GT.
Kapal paling besar yang dimiliki nelayan Natuna 7 GT. Itu pun jumlahnya tak seberapa. Kapasitas itu kalah jauh dengan kapal-kapal asal Pantura yang bobotnya bisa mencapai 50-100 GT.
“Enggak mungkin mereka bersaing, kan,” kata Herman lagi.
Keresahan itu kemudian ditenangkan oleh Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Rasmijan. Ia menjelaskan, nelayan Natuna tak perlu khawatir dengan kehadiran nelayan asal Pantura.
Nantinya, kapal-kapal asal Pantura yang berbobot 60-100 GT akan mencari ikan di laut dalam. Sementara, kapal nelayan Natuna yang lebih kecil bisa melaut di perairan yang lebih dekat ke Pulau Natuna.
“Jaraknya atau jalurnya berbeda. Kalau beliau-beliau kan kapal kecil di pinggiran, sedangkan kita di laut lepas,” kata Rasmijan.
Maka, pasukan nelayan dipersiapkan menjadi benteng Natuna dari kepungan kapal asing.
Pertanyaan berikutnya: bisakah benar-benar terwujud?