Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Meredam Skenario Perang Dunia III di Suriah
7 April 2017 17:12 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Akhirnya AS memakai tangannya sendiri dalam kecamuk perang sipil di Suriah. Jumat dini hari (7/4), 59 rudal yang ditembakkan dari dua kapal perang AS menghujam pangkalan udara Suriah di Homs.
ADVERTISEMENT
Atas perintah Donald Trump, AS merespons penggunaan senjata kimia yang ditembakkan pasukan Suriah ke permukiman penduduk di wilayah yang diduduki oposisi. Rudal-rudal AS ditembakkan dari dua kapal perusak AS di Laut Mediterania ke pangkalan udara Shayrat di provinsi Homs. Pangkalan udara tersebut diduga menjadi tempat serangan senjata kimia Suriah bermula.
Perang Dingin II
Pada 4 Agustus 2014, majalah Time menerbitkan edisi khusus berjudul ‘Perang Dingin II’. Edisi tersebut menyebutkan bahwa aksi agresif Rusia di Georgia dan Ukraina menyinggung aliansi AS. Aneksasi Krimea memperkuat dikotomi negara-negara di Eropa antara kawan AS atau kawan Rusia. Hubungan Washington dan Moskow ikut menegang.
Laporan lembaga think-tank European Leadership Network pada tahun 2015 menyebutkan temuan yang mencengangkan. AS dan Rusia sedang melatih tentaranya untuk mempersiapkan kemungkinan perang.
ADVERTISEMENT
Tahun 2014, AS memobilisasi sejumlah pasukan yang disebut terbanyak setelah perang dingin usai tahun 1989. Pasukan AS tersebut ditempatkan di Polandia. Bersamaan dengan itu, Rusia melatih 80 ribu tentara mereka di batas timur negara mereka yang berada di Rumania. Kedua negara juga menempatkan rudal mereka saling berhadapan di Eropa Timur.
Kondisi ini mengulang kembali apa yang terjadi antara AS dan Rusia masa Soviet pasca Perang Dunia II berakhir. Kedua negara menjalani hubungan permusuhan tanpa kontak senjata.
Meski tidak ada perang antara kekuatan besar yang terjadi setelah Perang Dunia II, namun tangan AS dan Soviet ikut bermain di beberapa perang yang terjadi. Perang Korea dan Perang Vietnam berada dalam pengaruh Perang Dingin.
ADVERTISEMENT
Suriah Sebagai Pemicu Perang
Suriah adalah tempat dua kekuatan militer terbesar di dunia, AS dan Rusia, saling berhadapan secara langsung. Dari perang sipil, kedua negara adidaya ini terlibat dengan menjadi penyokong dua kekuatan yang berseberangan. Rusia membantu Bashar al-Assad, dan AS membantu oposisi dan kelompok perlawanan moderat.
Konflik yang telah berlangsung selama 6 tahun ini diperkeruh oleh kehadiran banyak pihak. Meski secara kasat mata hanya pasukan pemerintah dan pasukan oposisi yang bertempur di medan perang, kekuatan besar yang membantu dari belakang membuat perang tak kunjung usai.
Posisi Suriah tidak jauh dari jangkauan pasukan-pasukan AS yang dipersiapkan untuk menjalani skenario perang dengan Rusia. Sebagai contoh, kapal perang AS yang meluncurkan misil yaitu USS Porter dan USS Ross dibuat dengan persenjataan yang dapat menangkal kemungkinan serangan Rusia. Kedua kapal perusak ini ditempatkan di pangkalan laut yang berlokasi di Spanyol.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, skenario Perang Dunia III yang bermula dari Suriah terkubur oleh analisis-analisis yang menempatkan Laut China Selatan sebagai titik api yang mengobarkan Perang Dunia III.
Robert Kaplan, pakar politik internasional dari AS, menyebutkan bahwa Laut China Selatan lebih menarik perhatian AS, terutama masa Presiden Barack Obama. Perkembangan teknologi kemiliteran negara-negara adidaya juga mengarah ke teknologi laut dan udara, yang diduga merupakan penyesuaian terhadap kemungkinan peperangan laut.
Namun rezim pemerintahan AS telah berubah 180 derajat dan sulit diprediksi. AS kini dipimpin oleh Trump, pemimpin yang pada tahun 2013 menghina rencana Obama untuk menyerang Suriah, namun justru menjadi presiden AS yang menembakkan peluru ke Suriah.
Sejauh ini, AS dan Rusia masih membuka dialog. Reuters memberitakan bahwa pertemuan Menteri Luar Negeri AS, Lex Tillerson di Moskow pada pekan depan tidak akan terganggu dengan insiden penyerangan ini.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak menganggap bahwa insiden ini mempengaruhi kunjungan Tillerson, kita perlu membuka kembali dialog. Kami harus menyambut Tillerson, bertukar pikiran dan mencoba berbicara terkait pandangan dari Washington,” ujar Leonid Slutsky. Ia kemudian melanjutkan, “Lebih baik berbicara daripada sembunyi di balik tembok.”