Meski IPK Indonesia Naik, ICW Nilai Pemberantasan Korupsi Cenderung Regresif

12 Februari 2025 16:33 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi korupsi Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2024 naik tiga poin menjadi 37. Meski ada kenaikan, ICW menilai arah pemberantasan korupsi cenderung regresif atau berjalan mundur.
ADVERTISEMENT
"Kenaikan skor IPK 2024 masih menyisakan banyak catatan dan tak cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa kondisi antikorupsi Indonesia membaik. Terlebih untuk menghadapi tahun pasca politik dan beragam kebijakan baru pemerintah yang mempunyai kerentanan korupsi cukup tinggi," kata ICW dalam keterangan tertulisnya dikutip pada Rabu (12/2).
IPK ini dihitung oleh Transparency International dengan skala 0-100, yaitu 0 artinya paling korup, sedangkan 100 berarti paling bersih.
IPK Indonesia ini dihitung dari 9 sumber data yang menjadi indikator, yakni:
ADVERTISEMENT
ICW menyebut kenaikan skor IPK Indonesia pada 2024 disebabkan adanya penambahan indikator World Economic Forum (WEF) yang terakhir kali masuk indikator IPK pada 2021. WEF, seperti yang dijelaskan Transparency International Indonesia (TII), adalah indikator yang mengukur tentang seberapa wajar perusahaan melakukan pembayaran tambahan atau suap yang tidak tercatat.
"Meski skor WEF 2024 naik signifikan dibandingkan skor pada 2012-2021, adanya indikator ini perlu dicatat sebagai indikator baru yang hadir karena Indonesia memberi tanggapan untuk survei, yang kualitas datanya juga masih perlu dikhawatirkan setelah vakum 2 tahun," kata ICW.
Indikator lain yang disoroti ICW adalah Global Insight Country Risk Ratings yang pada tahun 2024 malah turun 15 poin dibanding tahun 2023. Indikator ini mengenai risiko penyuapan dalam impor/ekspor, memperoleh kontrak publik, dan melakukan kegiatan bisnis lainnya.
ADVERTISEMENT
"Penjelasan indikator ini mirip dengan WEF sehingga dapat dikatakan bahwa skor indikator WEF bertolak belakang dengan skor Global Insight Country Risk Ratings," ujar ICW.
Selain itu, indikator lain yang berkaitan dengan tema IPK 2024 Korupsi, Demokrasi, dan Krisis Lingkungan adalah Varieties of Democracy Project. Indikator korupsi politik yang melibatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tercermin dalam korupsi sumber daya alam di Indonesia.
"Kajian ICW mengenai bisnis ekstraktif dan energi terbarukan di balik Prabowo-Gibran menunjukkan bahwa perusahaan yang bergerak di bidang ekstraktif berelasi kuat dengan para penguasa atau pejabat terpilih untuk mengamankan usahanya. Pemerintah daerah dan eksekutif memberikan izin ekstraktif, pemilik perusahaan diberikan karpet merah oleh legislatif, dan keberpihakan yudikatif kepada perusahaan jika masyarakat berteriak di pengadilan akan dampak lingkungan yang dialami," papar ICW.
ADVERTISEMENT
Meski IPK 2024 naik, ICW menilai bahwa realitas pemberantasan korupsi berjalan sebaliknya. Menurut ICW, ada tiga alasan pemberantasan korupsi cenderung berjalan regresif dan diproyeksikan akan berlanjut di tahun 2025.
Pertama, tidak ada inisiatif program ataupun kebijakan antikorupsi yang secara sistematis diimplementasikan oleh pemerintah sepanjang 2024 dan direncanakan pada 2025.
"Upaya pemberantasan korupsi seolah tebang pilih atau cherry picking untuk menangani para pihak yang berada pada pusaran kasus korupsi dan merupakan pejabat penting. Beberapa di antaranya yakni kasus dugaan korupsi CSR Bank Indonesia yang patut diduga berkelindan dengan Gubernur BI dan sejumlah anggota DPR, kasus dugaan korupsi pembangunan jalur kereta di Kementerian Perhubungan yang patut diduga aliran dananya masuk untuk membiayai Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2019, dan kasus dugaan korupsi pengadaan barang pada rumah jabatan anggota DPR yang patut diduga melibatkan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar," papar ICW.
ADVERTISEMENT
Kedua, lahirnya upaya pengerdilan terhadap definisi korupsi sehingga menormalisasi konflik kepentingan, anti meritokrasi, dan nepotisme yang berimplikasi terhadap rusaknya sistem demokrasi dan hukum antikorupsi Indonesia.
"Maraknya bagi-bagi kursi, kembalinya TNI dan Kepolisian di jabatan publik, banyaknya pasangan calon pada Pilkada lalu yang terafiliasi dengan dinasti politik, hingga praktik mengacak-acak aturan agar anak Presiden Jokowi dapat berlaga di kontestasi politik merupakan titik terendah sejarah demokrasi di Indonesia yang sangat besar melahirkan pemerintahan yang semakin berpotensi korup. Korupsi secara ideal tidak terbatas hanya pada hilangnya uang negara atau perekonomian negara, namun saat adanya sistem yang rusak karena mendahului kepentingan pribadi atau kelompok, dapat diartikan sebagai bentuk yang koruptif. Pengerdilan definisi tersebut mengisyaratkan bahwa tumpulnya logika pemerintah dalam menyusun agenda pemberantasan korupsi," papar ICW.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tidak adanya keinginan dari pemerintah untuk mengakselerasi pemberantasan korupsi melalui penguatan regulasi. Termasuk di antaranya RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal.
"Meskipun skor IPK naik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada tahun lalu, baik pemerintah ataupun DPR tidak memiliki keinginan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi melalui regulasi. ICW memandang bahwa alasan utama dibalik keengganan penguatan hukum antikorupsi, baik RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal, yaitu karena regulasi ini akan mengancam stabilitas pejabat publik yang korup karena upaya mereka untuk melakukan korupsi dan memperkaya diri sendiri akan mendapat jerat hukum lebih besar dan terekspos ke publik," papar ICW.
ICW mengatakan bahwa Presiden Prabowo pernah menyampaikan adagium "ikan busuk dari kepala". Maka upaya pemberantasan korupsi ke depan harus diinisiasi dan dikawal penuh oleh Prabowo selaku Kepala Pemerintahan.
ADVERTISEMENT
"Meski demikian, setelah 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, publik tidak melihat upaya progresif untuk memberantas korupsi, malah terlihat regresif. Artinya, Presiden Prabowo sedang mengkritik dirinya sendiri yang berpotensi atau sedang mengarah menjadi 'kepala yang akan membusuk'," pungkas ICW.