Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Migrant Care: Pemilu LN 2024 Paling Buruk, 49% Surat Suara di Hong Kong Sia-sia
24 Februari 2024 13:09 WIB
ยท
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Staf Migrant Care, Trisna Dwi Yuni Aresta, memandang pelaksanaan pemilu luar negeri di 2024 menjadi pemilu luar negeri paling buruk.
ADVERTISEMENT
Berbagai kecurangan hingga kini terus ditemukan oleh Migrant Care, khususnya di negara dengan banyak pemilih Indonesia seperti Hong Kong dan Malaysia.
Menurut Trisna, bahkan diperkirakan ada 49 persen surat suara yang sia-sia atau tidak disalurkan serta terpakai dengan baik di Hong Kong.
"Jumlah DPT LN Hong Kong 164.641 dipecah pos dan TPS. Tapi pengguna hak pilih total hanya 67.693 atau hanya 41 persen. Dalam TPS ada 2.390 tapi yang datang ke lokasi hanya 753 artinya 31 persen. Ironisnya, (ada yang) tanpa verifikasi kejelasan surat suara, para pekerja migran yang datang sudah bela-belain izin ke majikan, terpaksa harus pulang. Mereka katakan, 'Apa saya masih Indonesia?" papar Trisna dalam diskusi Jaga Pemilu di Kuningan, Jaksel, Sabtu (24/2).
ADVERTISEMENT
"Bahkan nasionalisme mereka, dalam arti minimal beri hak pilih, tidak bisa negara akomodir. Itu kekecewaan mendalam. Jumlah pengguna pos hanya 66.572 dari 162.301, artinya 41 persen. Ada surat suara return to sender karena salah alamat (12,97 persen). Dan ada surat suara tidak dikembalikan ada 36 persen. Ada sekitar 49,07 persen surat suara sia-sia," imbuh dia.
Trisna menerangkan, banyak pula pemilih dengan metode pos yang mengatakan tak mendapat surat suara, padalah sudah melakukan penyesuaian alamat.
"Surat mereka tidak sampai, padahal sudah coklit, tidak pernah pindah majikan, masih sama alamat 15 -17 tahun, surat suara tidak ada. Lalu ada kotak makanan dibagikan ke yang datang KJRI, lokasi pemungutan suara. Ada kotak makan gratis, bahkan yang tidak dapat surat suara dapat makan gratis," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Ini cukup aneh, di luar negeri mana pun belum pernah saya temui, ada anggaran alokasi konsumsi. Mungkin untuk redam suara migran yang tidak dapat coblos surat suara," imbuhnya.
Trisna menilai seharusnya metode pemilihan pos di luar negeri harus dievaluasi. Apalagi, surat suara ini tak bisa dilacak dengan akurat.
"Selain sia-sia, pos kerap kali jadi alat perdagangan surat suara karena metode pos tidak memadai bisa kita tracking. Padahal KPU katakan, KPU bilang akan pilih tarif paling tinggi agar bisa ditracking, kenyataannya tidak seperti itu," ujar dia.
Trisna lalu kembali menyinggung persoalan membludaknya pemilih hingga menyebabkan keos di Hongkong dan Kuala Lumpur. Selain itu, ia mengatakan pihaknya sempat mengalami introgasi berlebihan saat hendak mengawasi TPS di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Ia mengakui, Presiden Jokowi kerap mengatakan dugaan-dugaan kecurangan dapat dilaporkan ke KPU dan Bawaslu. Tetapi dari 4 kali pengalaman melapor, Trisna mengatakan tak ada yang ditindaklanjuti.
"Laporan kami tidak diregistrasi, tidak penuhi syarat, tanpa sertakan apa hasil kajian kenapa tidak penuhi syarat materil. Itu kami sayangkan. Pertama data ganda New York dan Johor Baru. Dan ada kasus Uya Kuya datang ke TPS dan Tengku Adnan, ada banner di tempat pemungutan suara keliling," kata Trisna.
"Harus disadari pemilih luar negeri mayoritas pekerja migran, harus dijaga hak politiknya. Pelaksanaan tahun ini kami nilai paling buruk. Bukan hanya ditinggalkan, tapi suara kerap dimanipulasi dan digunakan transaksi politik," tegas dia.