Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Suara tahlil dan doa menggema dari salah satu cabang Gang Haji Abdullah, Cidodol, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Maspupah duduk sambil memandang 20-an tetamu bersila di pinggiran cabang gang depan kontrakannya. Kehadiran mereka tak tertampung di kontrakan tempatnya tinggal di lantai dua.
Rabu malam lalu (6/11) kematian anaknya, Maulana Suryadi , genap empat puluh hari. Gelar tahlilan pun digelar ala kadarnya di emperan gang.
Mata Maspupah masih sembab. Air matanya menetes seiring dengan lafal doa tetamu. Kenangannya pada Yadi, nama panggilannya kepada Maulana Suryadi , masih menggelayut hingga terbawa dalam mimpi.
“Saya suka dimimpiin sama anak saya. Tapi pelakunya enggak jelas wajahnya,” ucap Maspupah di sela tahlilan kepada kumparan.
Maulana adalah korban meninggal dalam huru-hara demonstrasi 24 September 2019 lalu. Ia menerima jenazah anaknya sehari setelah anaknya pamit bergabung dengan demonstrasi. Kala itu Yadi sudah terbujur kaku di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, dengan sisa lebam dan darah di sekujur tubuh.
Polisi menanyakan riwayat penyakit, Maspupah menjawab kemungkinan asma. Jawaban inilah yang lalu ditulis menjadi penyebab kematian. Tak ada penjelasan soal sisa lebam dan sisa darah.
Bayang-bayang kondisi kematian lalu merasuk dalam mimpi Maspupah.
“Yadi bilang sakit dipukuli, merintih kesakitan. Ya Allah tega banget ya yang memukul anak saya kayak binatang,” Maspupah mengingat.
Belum ada kata ikhlas dari Maspupah untuk melepas kematian anaknya. Dia ingin pelaku yang menghabisi nyawa anaknya segera diungkap. Tetapi, perempuan yang sehari-hari bekerja menjadi juru parkir di Pasar Tanah Abang itu kini seolah buntu karena tak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Pun soal prosedurnya, Maspupah tidak tahu sama sekali.
Komnas HAM beberapa kali datang ke rumah Maspupah. Mereka meminta surat kematian Maulana dan bilang tengah melakukan penyelidikan soal kasus ini. Namun, perjalanan kasus ini seperti tak bisa dipastikan.
Mimpi tentang anaknya ini ingin diberikan Maspupah kepada Kapolri baru, Jenderal Idham Azis. Di kepalanya, polisilah yang mengantar Yadi pada ajal.
Jenderal Idham sendiri adalah Kapolri baru yang mulus karier. Ia adalah calon tunggal kapolri yang diajukan presiden kepada DPR. Proses uji kepatutan dan kelayakan berjalan mulus.
Tak ada suara sumbang soal jejak polisi ketika anggota Komisi III DPR melontarkan berbagai tanya soal kinerja kepolisian. Idham yang duduk di depan anggota Komisi III DPR tanpa membawa visi dan misi Polri.
“Berdasarkan arah kebijakan pemerintah yang menjadi acuan bagi arah kebijakan, Polri memperhatikan kebijakan presiden dan wapres saat pelantikan, maka dalam kesempatan ini tidak ada visi dan misi yang saya ajukan,” kata Idham saat fit and proper test, Rabu (30/10).
Pun soal penanganan demonstrasi dan dan huru-hara ia berpegang dengan prinsip penanganan persuasif, tak boleh ada senjata api di tangan polisi yang bertugas.
Soal senjata api, Idham boleh dikatakan konsisten. Enam polisi Polda Sulawesi Tenggara telah dibebastugaskan karena membawa senjata api ketika mengamankan aksi demonstrasi pada 26 September lalu. Aksi itu berbuntut kematian dua mahasiswa karena timah panas.
Tapi kasus kematian Yadi tak perlu senjata api. Ia mati dengan lebam di berbagai bagian tubuh dan darah yang terus mengucur walau sudah terbujur kaku. Tak ada sisa timah panas di tubuh Yadi.
Hanya saja tak ada penjelasan masuk akal dari penjelasan polisi. Surat kematian pun hanya tertera penyebab kematian sesak napas, tak ada kaitannya dengan lebam dan darah.
Kematian menimbulkan spekulasi soal penyiksaan aparat. Apalagi dugaan kasus penyiksaan di ruang-ruang interogasi selama ini senyap. Jangankan soal demonstrasi, salah tangkap yang dialami oleh tujuah pengamen Cipulir pada 2013 juga berujung penyiksaan. Untungnya mereka tak mati, tapi lagi-lagi dugaan penyiksaan seperti ini menguap begitu saja.
Buramnya penjelasan polisi ini membuat Maspupah memelihara dugaan anaknya mati karena siksa aparat. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
Perempuan itu tak mengajukan tuntutan atau gugatan karena dia benar-benar buta soal hukum. Beberapa kali orang-orang Komnas HAM bertandang meminta keterangan dan surat-surat. Ia berikan, tapi tak tahu kemana ujung kesaksian dan berkas itu.
Ia hanya berharap tahlil di gang sempit di kawasan Cidodol itu bisa membawa mimpinya kepada Kapolri Jenderal Idham Azis. Paling tidak pukulan siapa yang mengakhiri hidup Yadi terungkap.
“Saya sih nuntut enggak. Kasihan tanggung jawab buat anaknya, adik-adiknya. Tanggung jawab saja sudah gitu. Saya sudah terima,” ujar Maspupah.