Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
MK Tolak Gugatan Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik dan SARA di UU ITE
20 Juli 2022 18:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terhadap gugatan nomor 36/PUU-XX/2022 pada Rabu (20/7). Gugatan itu terkait dengan ketentuan pencemaran nama baik hingga SARA dalam UU ITE.
ADVERTISEMENT
Gugatan itu dilayangkan oleh 29 konten kreator. Mereka adalah Eriko Fahri Ginting, Leon Maulana Mirza Pasha, dkk. Dalam permohonannya, mereka memberikan kuasa kepada Kantor Hukum Leo dan Partners pada 15 Februari 2022
Para pemohon ini meminta MK untuk membatalkan Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Berikut bunyi dari Pasal 27 ayat 3:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
Berikut bunyi dari Pasal 28 ayat 2:
ADVERTISEMENT
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Para pemohon meminta MK menggugurkan dua Pasal itu dalam UU ITE karena menimbulkan ketidakpastian, kekaburan, dan ketidakjelasan hukum baik secara normatif maupun implementatif. Sehingga dinilai melanggar atau mengancam hak konstitusional para pemohon sebagai konten kreator.
Terutama ketika mereka membuat dan membagikan ide, gagasan, pendapat, pemikiran, kritik, dan/atau saran mengenai isu-isu atau fenomena-fenomena hukum tertentu melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi melalui media atau platform digital.
Alasan Para Pemohon
Para pemohon menjabarkan kerugian konstitusional yang berpotensi terjadi akibat Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 2 ayat 2. Dua pasal itu dianggap sangat sumir dan tidak jelas batasannya terkait kategori 'penghinaan atau pencemaran nama baik' dan frasa 'menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu…' yang bersifat sangat subjektif terhadap individu yang dituju.
ADVERTISEMENT
Padahal, masyarakat Indonesia heterogen dengan kemajemukan suku, bangsa, agama, budaya, adat, golongan, ras, dan sebagainya.
Hal ini dibuktikan dengan berbagai pelaporan dan korban lintas kalangan seperti kasus yang menimpa Ahmad Dhani, Kasus I Gede Ari Astina alias Jerinx hingga Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Saiful Mahdi. Mereka dibui karena pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE.
Oleh sebab itu, pemohon menilai mereka berpotensi menjadi korban akibat Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.
Sebab pekerjaan mereka sebagai konten kreator aktif membuat dan menyebarkan kajian-kajian yang bersifat akademik, ilmiah, rasional, fakta, dan informatif terkait isu-isu hukum yang tidak jarang sarat kepentingan atau intrik dan berpotensi menyinggung pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Namun, gugatan itu ditolak MK.
"Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," tulis salinan MK dikutip Rabu (20/7).
Pertimbangan MK
Dalam pertimbangannya, MK mencermati sejumlah hal. Termasuk putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 terkait hal yang sama.
MK menegaskan kembali bahwa ketentuan Pasal 27 ayat 3 UU ITE merupakan penegasan atas norma hukum pidana penghinaan yang terdapat dalam KUHP ke dalam norma hukum baru sesuai dengan perkembangan di dunia siber.
Karena KUHP tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran yang dilakukan secara online, dikarenakan adanya unsur 'di muka umum'. Oleh karena itu, penerapan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dilepaskan dari norma penghinaan dalam KUHP yaitu Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai norma pokoknya (genus delict).
ADVERTISEMENT
Berikut paparan MK:
Bahwa menurut Mahkamah, penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur “di muka umum”.
Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”. Rumusan Pasal a quo telah cukup jelas memberikan pengertian “mendistribusikan” sebagai “penyalinan” sebagaimana keterangan Ahli Pemohon Andika Triwidada.
ADVERTISEMENT
Pengertian mentransmisikan adalah interaksi sekejap antara pihak pengirim dan penerima dan interaksi tersebut merupakan bagian dari distribusi. Begitu juga dengan batasan “membuat dapat diakses” dapat berupa memberikan akses terhadap muatan secara langsung dan memberikan akses berupa alamat tautan, sebagaimana pendapat Ahli dari Pemohon.
Dengan demikian, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal a quo memperlihatkan adanya ketidakjelasan ukuran dan makna, tumpang tindih yang berarti mengandung ketidakpastian hukum, adalah tidak tepat menurut hukum.
Terlepas dari kekhawatiran para pemohon atas penerapan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE, MK menyebut pemerintah telah menindaklanjuti putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 dengan menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, dan Nomor KB/2/VI/2021.
ADVERTISEMENT
Putusan bersama itu tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Sedangkan terkait norma Pasal 28 ayat 2 UU ITE, hal ini juga pernah diputus dalam putusan MK Nomor 52/PUUXI/2013. Dalam putusan itu, MK menyatakan dalam amar putusannya bahwa norma Pasal 28 ayat 2 UU ITE tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Kekhawatiran dan para pemohon ini juga sudah terjawab dengan ditindaklanjutinya putusan MK Nomor 76/PUU-XV/2017 dalam Keputusan Bersama agar implementasi Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak menimbulkan multitafsir atau kontroversi di masyarakat.
Berikut penjabaran MK:
ADVERTISEMENT
a. Delik utama Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
b. Bentuk informasi yang disebarkan dapat berupa gambar, video, suara, atau tulisan yang bermakna mengajak, atau mensyiarkan pada orang lain agar ikut memiliki rasa kebencian dan/atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar isu sentimen atas SARA.
c. Kriteria “menyebarkan” dapat dipersamakan dengan agar “diketahui umum” bisa berupa unggahan pada akun media sosial dengan pengaturan bisa diakses publik, atau mensyiarkan sesuatu pada aplikasi grup percakapan dengan sifat terbuka dimana siapapun bisa bergabung dalam grup percakapan, lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa upload dan berbagi (share) keluar, atau dengan kata lain tanpa adanya moderasi tertentu (open group).
ADVERTISEMENT
d. Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini motifnya membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA. Aparat Penegak Hukum harus membuktikan motif membangkitkan yang ditandai dengan adanya konten mengajak, memengaruhi, menggerakkan masyarakat. Menghasut/mengadu domba dengan tujuan menimbulkan kebencian, dan/atau permusuhan.
e. Frasa “antargolongan” adalah entitas golongan rakyat di luar suku, agama, dan ras sebagaimana pengertian antar golongan mengacu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017.
f. Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan ada upaya melakukan ajakan, memengaruhi dan/atau menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasar isu sentimen perbedaan SARA.
Dari penjabaran di atas, MK menilai ketentuan norma Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah memberikan perlindungan hukum kepada setiap orang sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, permohonan para pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.