Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
MK Tolak Gugatan Permintaan Adanya Kolom 'Tidak Beragama' di KK dan KTP
3 Januari 2025 12:56 WIB
ยท
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Permohonan itu diajukan oleh Raymond Kamil (Pemohon I) dan Indra Syahputra (Pemohon II). Keduanya menggugat Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan.
Mereka meminta agar MK mengatur adanya kolom 'tidak beragama' dalam pengisian KK dan KTP. Namun, MK menolak permohonan itu.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusannya, di Gedung MK, Jakarta, Jumat (3/1).
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa Indonesia memang mengatur adanya kebebasan beragama. Akan tetapi, kebebasan tersebut bukan berarti untuk memilih tidak beragama.
Menurut MK, hal tersebut bukanlah pembatasan yang melanggar konstitusi dan hak asasi. Melainkan merupakan pembatasan yang proporsional.
"Bilamana tidak adanya kebebasan untuk tidak beragama atau tidak berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dianggap sebagai suatu pembatasan hak asasi, maka pembatasan yang seperti itu sendiri selain diperlukan untuk menjaga dan mempertahankan karakter bangsa, juga bukanlah bentuk pembatasan yang opresif atau sewenang-wenang dan bukanlah pembatasan yang tidak proporsional," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangannya.
ADVERTISEMENT
Dalam gugatannya itu, para Pemohon menyatakan telah mengalami kerugian konstitusional karena harus mengisi kolom agama dengan memilih agama atau kepercayaan. Padahal, mereka ingin diinput tidak beragama.
Diskriminasi dialami oleh para Pemohon lantaran petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menolak agar kolom agama dalam KK maupun KTP dituliskan 'tidak beragama'.
Hakim Arief pun menekankan bahwa konsep kebebasan beragama yang dianut dalam konstitusi Indonesia bukanlah kebebasan yang memberikan ruang bagi warga negara untuk tidak memeluk agama atau tidak menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
"Hal ini membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama atau bangsa yang memilki kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa," tutur Hakim Arief.
"Untuk itu, norma dalam undang-undang yang mengatur mengenai administrasi kependudukan mewajibkan bagi setiap warga negara untuk menyebutkan atau mendaftarkan diri sebagai pemeluk agama atau penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan norma yang berfungsi dan bertujuan untuk memfasilitasi dan mewujudkan karakter bangsa yang demikian," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Dalam permohonan itu, Raymond juga mengaku ingin menikah kembali. Akan tetapi, ia tidak mungkin memenuhi hak konstitusional yang dimaksud, kecuali melakukan kebohongan sebagai penganut agama tertentu yang diakui.
Dalam konteks itu, Raymond juga menggugat Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan dan mendalilkan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena tidak mengakomodir dirinya dalam memilih untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Terkait dalil tersebut, Hakim Arief pun menekankan bahwa amanat konstitusi menyebut perkawinan tidak terlepas dari Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip dasar.
MK juga memaparkan bahwa perkawinan yang sah hanya terjadi jika dilakukan oleh masyarakat yang menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, MK menyebut bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dari syarat sahnya perkawinan.
"Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan perlakuan diskriminatif," jelas Hakim Arief.
"Tanpa adanya agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dianut atau ditentukan oleh warga negara yang akan melangsungkan perkawinan, maka tidak akan timbul sesuatu yang disebut dengan perkawinan yang sah," imbuhnya.
MK pun menegaskan bahwa beragama dan berketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu keniscayaan sebagai perwujudan karakter bangsa dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
"Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah tidak beralasan menurut hukum," pungkas Hakim Arief.