MUI Jelaskan Celana Cingkrang dalam Islam: Tak Identik Radikal

31 Oktober 2019 16:13 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Agama Fachrul Razi di acara Konsolidasi perencanaan pencapaian dan misi Presiden serta sasaran dan target indikator bidang PMK dalam RPJM 2020-2024.  Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Agama Fachrul Razi di acara Konsolidasi perencanaan pencapaian dan misi Presiden serta sasaran dan target indikator bidang PMK dalam RPJM 2020-2024. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Agama Fachrul Razi menjadi sorotan usai memberikan pernyataan tentang penolakannya terhadap celana cingkrang untuk ASN. Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang soal penggunaan celana cingkrang ini?
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi Hukum MUI, HM Baharun, menjelaskan perihal celana cingkrang ini. Ada satu dalam istilah yang melekat terkait hal ini yakni isbal.
Isbal berarti menjulurkan celana di bawah mata kaki. Mereka yang bercelana cingkrang itu menghindari isbal.
Ia menceritakan, awalnya Nabi Muhammad melihat banyaknya kaum Quraish yang menjulurkan jubahnya hingga menyapu tanah. Mereka melakukan hal itu semata-mata karena ingin menunjukkan kesombongannya.
"Itu bangsawan Quraish yang kafir itu kalau mau jor-joran pakai jubah yang mewah itu dijulurkan ke tanah. Itu semata-mata karena sombong. Jadi Nabi tak ingin umat Islam demikian," jelas Baharun ketika dihubungi, Kamis (31/10).
"Tapi ada yang karena kehati-hatian akan najis dan sebagainya. Itu pendapat tapi bukan mayoritas," sambungnya.
Ketua Komisi Hukum MUI, Mohammad Baharun. Foto: Dok. MUI
Ia menjelaskan, pendapat mayoritas ulama mengapa umat Islam pakai celana cingkrang karena cerita Nabi Muhammad tadi. Intinya, kesombongan bukan wajah umat Islam.
ADVERTISEMENT
"Bukan hanya celana atau jubah, walaupun celananya cingkrang kalau sombong, enggak negur dan sapa orang itu sombong. Jadi dosanya sombong bukan pada pakaian," jelas Baharun.
Jadi, kata dia, umat Islam harus kembali ke prinsip, agama tidak mengatur warna dan pakaian manusia.
"Warnanya apa, setelannya apa, tidak peduli. Celana atau jubah anda suci apa enggak, halal apa enggak yang dipakai. Agama mengatur itunya, bukan ukurannya atau menyapu tanah atau tidak," tuturnya.
Yang paling penting, jelasnya, umat Islam harus menghargai pendapat satu sama lain. "Tapi enggak boleh lebay. Orang lain enggak cingkrang jangan dianggap salah. Dan sebaliknya," ujar dia.
Lalu bagaimana apabila Kementerian Agama nantinya membuat aturan PNS tak boleh memakai celana cingkrang?
ADVERTISEMENT
"Adapun masuk ke rencana aturan pemerintahan itu soal lain lagi. Tidak pada masalah hukumnya. Itu masalah internal, mungkin dilihat disiplinnya," katanya.
Ia juga menampik kalau ada anggapan orang Islam yang bercelana cingkrang identik dengan radikalisme. Semua tidak boleh digeneralisasi begitu saja.
"Enggak. Itu ulama terdahulu, jubahnya Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro itu terangkat. Mungkin masuk ke prinsip hati-hati itulah, enggak bisa digeneralisir. Kalau digeneralisir identik dengan radikal, lebay.
"Tapi kalau dikatakan kebetulan kelompok radikal itu isbal itu memang benar. Kalau digeneralisir itu salah. Yang enggak boleh salah menyalahkan. Yang cingkrang merasa benar dan menyalahkan, begitu pula sebaliknya," tutupnya.
Soal polemik celana cingkrang ini, Anda bisa mengikutinya di topik Celana Cingkrang.
ADVERTISEMENT