Mungkinkah Aceh Bisa Ajukan Kuota Haji Sendiri ke Pemerintah Arab Saudi?

17 Juni 2020 14:41 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelaksanaan haji 2019 di Masjidil Haram, Makkah. Foto: Denny Armandhanu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pelaksanaan haji 2019 di Masjidil Haram, Makkah. Foto: Denny Armandhanu/kumparan
ADVERTISEMENT
Kementerian Agama (Kemenag) telah mengumumkan pembatalan pemberangkatan jemaah haji tahun 2020 pada Selasa (2/6) lalu. Pembatalan tersebut sehubungan dengan masih merebaknya pandemi virus corona.
ADVERTISEMENT
Pembatalan pemberangkatan jemaah haji oleh Kementerian Agama itu ternyata menimbulkan wacana tersendiri, yaitu mengusulkan agar Pemprov Aceh mengatur soal penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji secara independen, termasuk soal permintaan kuota ke Pemerintah Arab Saudi terlepas dari aturan Kemenag RI.
Ide dan wacana itu dilontarkan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, Fadhil Rahmi. Fadhlil mengatakan Pemerintah Provinsi Aceh bisa mengajukan itu karena ada aturannya, yaitu dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau biasa disebut UUPA.
"Menurut saya, ini bisa menjadi peluang bagi Aceh untuk menyelenggarakan pengelolaan haji secara mandiri. Penyampaian saya hanya sekadar mengingatkan, momentumnya karena kondisi pembatalan ibadah haji akibat pandemi virus corona," ujar Fadhil, saat dihubungi, Rabu (17/6).
ADVERTISEMENT
Menanggapi usulan itu, Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kanwil Kemenag Aceh, Samhudi, menyambut baik. Menurut dia, ide dan wacana tersebut menjadi peluang bagi Aceh mengurus ibadah haji sendiri. Aturan itu menurut Samhudi sudah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUPA.

“Menurut saya itu tidak masalah kalau memang itu ada peluang di UUPA, jika memang bisa diwujudkan tidak boleh dihambat karena itu suatu yang legal,” kata Samhudi pada kumparan.
Cover visual stories haji. Foto: Anisti F/kumparan

Pasal 16 UUPA ayat (1) huruf e itu bunyinya adalah: penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Samhudi, bunyi Pasal 16 UUPA ayat (1) huruf e itu masih bersifat umum, belum mengatur teknis dan detail pelaksanaannya. Terlebih, ada frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan di akhirannya.
ADVERTISEMENT
Sehingga, kata dia, ada undang-undang lain yang mengatur tentang haji. Dalam hal ini yang mengatur secara nasional soal haji adalah UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
“Memungkinkan belum tentu bisa. Mungkin bisa, mungkin juga tidak.  Artinya peluangnya ada karena UUPA mengaturnya, akan tetapi peraturan perundang-undangan itu mengaturnya seperti apa,” ujar Samhudi.

Lebih lanjut Samhudi juga mengatakan persoalan ibadah haji ini, khususnya dalam soal kuota, secara umum sifatnya adalah government to goverment.
“Hubungannya pemerintah antar-negara dan negara, dalam hal ini apakah Arab Saudi mau dengan kita (Aceh). Harus dikaji juga dengan undang-undang lain,  apakah boleh misalnya provinsi melewati negara atau dengan bantuan negara langsung berhubungan dengan pemerintah lain,” kata dia.
ADVERTISEMENT

“Kalau memang punya kemampuan daya juang untuk diwujudkan demi alasan yang benar, saya rasa tidak masalah. Biar kita pelaksana di bawah menjalankan bagaimana bunyinya undang-undang saja,” lanjut Samhudi.

Menurut Samhudi hingga saat ini masalah haji seperti disebutkan dalam UUPA belum pernah dibahas dan kini kembali mencuat. Kendati demikian,  peluang di dalam undang-undang itu harus tetap dijaga. Tetapi, tidak sebatas menjaga namun teknis pelaksanaannya harus segera dikerjakan.

“Untuk mewujudkan seperti apa itu yang menjadi masalah.  Jika beberapa pihak menganggap mungkin, kita punya hak memperjuangkan itu ke Arab Saudi,” ungkapnya.

Samhudi menegaskan untuk saat ini pihaknya masih berpatokan pada aturan negara yang berlaku, yaitu sesuai aturan kementerian Agama RI.
ADVERTISEMENT
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.