Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Musik Selalu Menemukan Jalan untuk Bersiasat, Tenang Saja
11 Februari 2019 10:23 WIB
Diperbarui 22 Maret 2019 6:20 WIB
Dikekang di berbagai zaman, musik terus melenggang dan berkembang. Terus kawal, tapi jangan tegang.
ADVERTISEMENT
Heru Wahyono, sembari menyesap anggur hitam yang entah gelas keberapa, bimbang selama beberapa saat.
ADVERTISEMENT
“Meremas atau memeras?” tanya Heru.
Hari menjelang magrib. Di DoggyHouse Records, kawasan Patehan, Kraton, Kota Yogyakarta, vokalis band Yogya Shaggydog itu tengah mencari lirik yang pas buat lagu barunya. Ia dan King Masmus—musisi reggae indie yang cukup tenar di Yogya—tengah menyusun beberapa lagu kolaborasi bertema buah-buahan bersama musisi lain di kota itu.
Jumat (8/2) itu, salah satu lagu bertema kelapa membuat Heru dan King Masmus bertanya-tanya: meremas atau memeras?
“Sik, nek meremas ki ngene (sebentar, kalau meremas tuh begini),” ucap Heru melontarkan pertimbangan. Kedua tangannya diangkat setinggi dada, jari-jarinya meregang dalam posisi seperti hendak mencengkeram—atau meremas?
“Wah, kalau pakai meremas, nanti aku kena RUU Permusikan!” ujar King tanpa dosa. Tawa pecah, keduanya tergelak terbahak-bahak.
ADVERTISEMENT
Yang King maksud tentu saja Pasal 5 RUU Permusikan . Menurut ayat b pasal itu, musisi tak boleh menciptakan karya yang “...memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak.”
Ngeri-ngeri sedap sembari mencemooh beberapa pasal dalam RUU Permusikan, King dan Heru memilih meninggalkan kata meremas. Padahal, salah satu artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah “mengepal-ngepal dan memerah-merah (kelapa, adonan).”
“Aku cuma takut lirik tadi—diperas atau diremas keluar susunya?” Memeras, setelah 30 menit yang panas dan penuh perdebatan, akhirnya masuk lirik akhir lagu.
RUU Permusikan membuat Heru resah. Menurutnya, memperbaiki kondisi industri musik memang mutlak diperlukan untuk menyejahterakan musisi. Namun, ia tak setuju kalau undang-undang justru mengekang wilayah ia dan kolega senimannya berkreasi.
ADVERTISEMENT
“Aku pikir seni atau musik adalah buah dari pikiran. Gimana kalau pikiran dibatasi? Kan lucu,” kata Heru.
Ia melirik King di sebelahnya. Kumis jenggot tebal, rambut panjang dan gimbal. Sebelas-dua belas dengan Bob Marley.
“Piye nek kowe (bagaimana kalau kamu) diatur undang-undang? Rambutmu nggak enak buat publik. Distorsi visual. Musisi itu harusnya rapi, jadi orang tua-orang muda lihatnya enak, nggak bikin resah,” celetuk Heru.
King cuma tertawa. Tawanya tak jelas buat siapa; entah buat ejekan Heru, atau buat RUU Permusikan.
Komunitas musik Indonesia cepat merespons beredarnya draf RUU Permusikan. Mereka menolak pasal-pasal karet dan aturan yang mempersulit perkembangan musisi independen, salah satunya lewat Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNTL RUUP).
ADVERTISEMENT
Cholil Mahmud, vokalis band Efek Rumah Kaca yang juga jadi salah satu inisiator KNTL RUUP, menilai aturan dalam RUU tersebut membatasi kreativitas musisi.
“Pemusik akan takut bikin lagu. Enggak bebas lagi. Ada pagar-pagar yang sebenarnya enggak usah dibatasi UU. Sudah hadir norma-norma (itu) dalam kepala pemusik,” ujarnya kepada kumparan, Kamis (7/2), lewat sambungan Skype.
Raka Ibrahim, pengamat musik sekaligus editor musik Jurnal Ruang , juga sama tak setuju dengan kehadiran RUU Permusikan ini. Menurutnya, bahkan di luar pasal-pasal karet yang jelas berbahaya, konten peraturan lain yang ada dalam RUU itu tak terlalu berguna.
“Oke, kita ngomongin sertifikasi musik. Tapi seberapa jauh scope-nya? Sertifikasi untuk music director, atau untuk produser, misalnya, itu masuk akal. Tapi buat musisi, itu kan gimana? Ini kejauhan,” kritik Raka.
ADVERTISEMENT
Raka melihat RUU Permusikan sebetulnya bisa menjadi peluang bagus bagi musisi, asal dikelola dan dikawal oleh mereka yang benar-benar memahami industri musik, baik arus utama (mainstream) maupun arus pinggir (sidestream).
“Maksudku, ketika hukum seperti itu diloloskan oleh organisasi yang dipimpin Hendropriyono, itu kan menjijikkan ya,” kata Raka.
Hendropriyono yang dimaksud Raka ialah Kepala Badan Intelijen Negara 2001-2004. Saat ini, selain menjabat Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, ia juga menjadi Ketua Umum Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) 2017-2022.
“Hendropriyono bikin lagu saja jelek, nggak usah ngomongin musik,” imbuh Raka, pedas.
Selama 74 tahun Indonesia merdeka, musik dan negara tak pernah benar-benar putus hubungan. Musik dijadikan penyulut heroisme pejuang kemerdekaan; disebut menyalahi kodrat; dijadikan alat kampanye pemerintahan otoritarian; dibilang melumpuhkan semangat kaum muda; dan dilihat sebagai penjajahan Barat bentuk baru terhadap Indonesia.
ADVERTISEMENT
Antik Sukarno jadi sebab pertama. Politik dalam negeri yang kacau balau, ekonomi yang memburuk karena beban pascaperang dan utang, juga paranoia akan neokolonialisme yang muncul usai Malaysia merdeka pada 1957 membuat Sukarno menjelajahi area-area kebijakan baru yang sebelumnya tak ia sentuh.
Era Demokrasi Terpimpin. Apa pun yang Bapak kehendaki. Seni, dan musik tentu saja, jadi salah satu yang ia sasar.
ADVERTISEMENT
Potongan pidato Sukarno itu disampaikan pada 17 Agustus 1959, dalam momen yang sama saat Sukarno mencanangkan konsep Manipol-USDEK . Tujuannya, seperti tercatat dalam jurnal A. Tjahjo Sasongko dan Nug Katjasungkana berjudul Pasang Surut Musik Rock Indonesia (Prisma, 1991), adalah untuk “...menyelesaikan revolusi Indonesia untuk mencapai sosialisme Indonesia.”
Artinya: mengembangkan kepribadian dan kebudayaan nasional dan menolak pengaruh budaya asing.
Praktiknya: pemerintah mengeluarkan peringatan keras buat penyanyi dan band yang memainkan jenis musik ‘ngak-ngik-ngok’.
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI), mendukung kebijakan Sukarno itu dan mengecam musisi yang ber-rock n roll-an mania. Pramoedya Ananta Toer, salah satu pegiatnya, menyebut lagu dari musisi-musisi tadi sebagai “...lagu komprador [...] jang menjalahi kodrat, alias kontrarevolusi, antiobjektifitas, antihistori, antirealistis, dan antiperkembangan.”
Pada dekade 1955-1965, sederet musisi menjadi target tekanan kebijakan Sukarno itu. Los Suita Rama, Eka Djaja Combo, The Shadow, dan Koes Bersaudara adalah band yang jadi target. Penyanyi Erni Djohan dan Lilis Suryani juga tak lepas dari kecaman. Band-band itu terpengaruh banyak dari band luar macam Everly Brothers maupun The Beatles, sedangkan Erni dan Lilis juga banyak tampil dengan gaya The Beatles.
ADVERTISEMENT
Dengan terbitnya Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 soal pelarangan musik ngak-ngik-ngok, aksi terhadap musisi-musisi tersebut semakin gencar dilakukan. Penegakan peraturan dilakukan, yang mayoritas oleh Operasi Hapus Angkatan Kepolisian VII/Jaya.
Operasi tersebut menegur Erni dan Lilis agar mengubah gaya panggung dan busana sesuai dengan ‘orang Timur’. Keduanya menurut. Sementara, catat Tjahjo dan Nug, usai berkali-kali diperingatkan polisi, Los Suita Rama sampai mendapat peringatan dari Kejaksaan Tinggi Jakarta yang berbunyi: berhenti menyanyikan lagu Elvis Presley atau dibubarkan.
Puncaknya adalah apa yang terjadi pada Koes Bersaudara. Seperti ditulis Budi Setiyono di Pantau , acara di Djatipetamburan II A 4A, Tanah Abang, Jakarta pada 24 Juni 1965 menjadi momen menentukan. Koes Bersaudara diundang makan malam di rumah Kusno, seorang kolonel Angkatan Laut. Tamunya beragam, mulai beberapa duta besar, atase militer Amerika Serikat, sampai perwira angkatan darat dan laut.
ADVERTISEMENT
Kusno kemudian meminta Koes Bersaudara mulai menyanyikan tembang. “Lagu The Beatles juga nggak apa-apa.” Namun baru saja nomor I Saw Her Standing There dinyanyikan, lemparan batu dari luar melayang ke rumah. Teriakan-teriakan meluncur dari mulut puluhan pemuda.
“Ganyang Nekolim!”
“Ganyang ngak-ngik-ngok!”
Lima hari kemudian, keempat personel Koes Plus dibawa ke kantor Kejaksaan Jakarta. Mereka dinilai tak menggubris peringatan polisi soal musik ngak-ngik-ngok. Mereka dibui 100 hari, dan baru bebas pada 29 September 1965—satu hari sebelum peristiwa G30S.
Pergesekan antara negara dan musik juga tak pernah absen sepanjang berkuasanya Orde Baru. Sempat membebaskan musik Barat sebagai upaya menjadi pemerintahan antitesis dari Orde Lama (kala itu band macam Koes Bersaudara jadi langganan pertunjukkan buatan Angkatan Darat lewat BKS-Kostrad untuk mendongkrak popularitas rezim), Orde Baru baru terlihat belangnya di paruh akhir kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Iwan Fals jadi satu musisi yang kenyang berada di sisi seberang pemerintah. Setelah mengeluarkan album Mata Dewa pada 1989, ia merencanakan sebuah tur spektakuler ke 100 kota di Indonesia. Konser pertama di Jakarta, 26 Februari 1989, berjalan baik. Rencananya, tur dilanjutkan ke pulau-pulau di Sumatera.
Namun, seperti ditulis Andreas Harsono di Pantau , konser yang sedianya digelar di Palembang pada 19 Maret 1989 tiba-tiba dibatalkan Kepolisian pada pagi hari menjelang konser. Kepolisian Palembang mengatakan mendapat radiogram dari Mabes Polri Jakarta berisi larangan Iwan membikin konser. Alasannya: untuk menghindari kekacauan.
Pun begitu dengan Kantata Takwa, supergrup berisi pentolan seniman beken macam Sawung Jabo, Yockie Suryoprayogo, W.S. Rendra, Iwan Fals, Donny Fattah, Innisisri, dan Setiawan Djody. Dengan lagu seperti Orang-orang Kalah, Balada Pengangguran, dan lagu-lagu SWAMI macam Bento dan Bongkar, Kantata Takwa harus pintar-pintar berkelit agar dapat konser di berbagai kota di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Eros Djarot, musisi sekaligus sutradara film semi-dokumenter berjudul Kantata Takwa (2008), menjadi saksi kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi band tersebut.
“Kita harus cerdas, cari celah-celah. Saat itu sudah mulai ada keretakan. Tentara ada yang pro dan kontra, di kepolisian juga begitu. Jadi kita ambil celah, ‘Ini nggak ada apa-apa, nih.’ Dikasih izin sama yang pro lah,” ujar Eros menceritakan bagaimana konser Kantata Takwa bisa lepas dari pembredelan pemerintah.
“Karena waktu itu Djody deket sama Cendana, saya juga dekat, jadi (pemerintah) nggak curiga deh,” aku Eros kepada kumparan di kediamannya di Bintaro.
Ketakutan Orde Baru akan kritik bahkan tak hanya terjadi di konser, namun merambah hingga film Kantata Takwa yang dibikin Eros. Film yang mendokumentasikan penampilan-penampilan live Kantata Takwa itu diminta ‘orang-orang intelijen’ untuk disunting. Lirik Bento dan Bongkar, juga penampilan deklamasi W.S. Rendra diminta tak menampilkan kritik buat pemerintah.
ADVERTISEMENT
Menurut Eros, itu juga salah satu penyebab mengapa film yang sebagian besar isinya selesai direkam di dekade 90-an itu baru tayang di bioskop pada 2008. Ia berkeras, tak mau mengganti isi filmnya. “Ya filmnya sudah jadi, masa lagunya minta diganti liriknya? Nggak mungkin itu, gimana,” ujar Eros.
Gesekan negara dengan musik kala Orde Baru tak hanya terjadi pada kelompok di seberang kekuasaan. Lagu melankolis alias cengeng juga kena tegur. Dalam makalah berjudul Hati Yang Luka, an Indonesia Hits , Philip Yampolsky menuliskan kecaman negara atas merebaknya lagu-lagu cengeng di acara Aneka Ria Safari TVRI.
Waktu itu lagu Hati yang Luka yang dinyanyikan Betharia Sonata mencapai puncak ketenaran sejak tayang perdana pada 11 Januari 1988. Lagu ini bercerita tentang perempuan yang tersiksa karena perselingkuhan dan kekerasan rumah tangga. Dalam video klip yang ditayangkan TVRI, lagu dibuka dengan adegan perempuan yang ditampar suaminya.
ADVERTISEMENT
Syair lagu itu menunjukkan kondisi perempuan Indonesia ketika bercerai yang kerap mendapat sorotan publik lebih banyak, dan tak jarang dicap sebagai pihak yang bersalah. Maka, pulang ke orang tua selalu menjadi opsi terbaik bagi mereka.
Entah karena alasan apa Menteri Penerangan Harmoko mengecam lagu-lagu cengeng ketika berpidato pada Perayaan 26 Tahun TVRI pada 24 Agustus 1988. Ia menuding lagu-lagu semacam itu berselera rendah, melemahkan semangat, dan membuat orang kalah serta lemah dalam menjaga komitmen kemajuan nasional.
“Dalam keadaan patah semangat dan cengeng, tentulah sulit mengajak orang bekerja keras,” ucap Harmoko kala itu.
ADVERTISEMENT
Sejarah berulang. Raka Ibrahim merasa RUU Permusikan yang tengah dirancang sekarang punya kemungkinan mengulang kesalahan-kesalahan yang dilakukan negara pada musik di masa lalu.
Namun, menurutnya, kecemasan khalayak terhadap RUU ini tak perlu berlebihan. “Mengkhawatirkan, tapi bukan sesuatu yang shocking semestinya. Dari dulu pemerintah juga nggak pernah peduli, nggak pernah memberikan perlindungan (ke musisi).”
Ia menceritakan, bagaimana di Orde Lama maupun Orde Baru musik tetap bisa berkembang, mengakar, dan justru bertumbuh semakin kuat. Pada masa Orde Lama di tengah larangan musik Barat oleh Sukarno, yang banyak membawa masuk musik rock ke Indonesia justru anggota Angkatan Udara RI. Mereka membeli piringan hitam saat bertugas di luar negeri, kemudian menyetelnya di Radio Angkatan Udara sehingga khalayak bisa mendengar.
ADVERTISEMENT
Raka juga mencontohkan, bagaimana kedekatan taipan Setiawan Djody amat berpengaruh buat kelancaran konser Kantata Takwa pada masa Orde Baru. Paling banter, Djody, dalam wawancaranya dengan Republika , hanya harus menjawab pertanyaan Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani macam “Kantata itu artinya apa, Djod?” dan “Kenapa (judul lagunya) Orang Kalah, yang kalah siapa?”
Raka juga menyebutkan, betapa kemunculan banyak skena musik bawah tanah yang menjamur di kota-kota besar, membuka horizon baru bagi banyak penikmat musik, meski keadaan dan larangan membatasi. “Di Jakarta ada Poster Cafe, di Bandung ada GOR Saparua. Yang penting orang-orang di industri musik bisa terus mengembangkan karyanya dan terus melawan. Ya persetan aja dengan pemerintah.”
Band rock macam God Bless, misalnya, juga punya cara bertahan tersendiri dari kontrol masif pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Mereka bikin lagu cinta-cintaan, terus di album, ada satu sampai dua lagu yang entah politis atau secara musikal kompleks. Mereka akan nyelipin metafora politis dibungkus rasa nasionalis, atau dibikin Bahasa Inggris,” jelas Raka. Salah satu lagu yang dimaksud berjudul Selamat Pagi Indonesia, yang sebetulnya berbicara secara metaforis soal eksekusi mati seorang kriminal.
“Kalaupun (RUU Permusikan) ini lolos, itu bukan sesuatu yang patut membuat kita panik,” kata Raka.
Sejarah soal ketakakuran musik dan negara yang panjang lebar diceritakan berulang kali, ia yakini, bukan tanpa tujuan. Ia percaya, musik akan selalu menemukan jalan untuk bersiasat.