Myanmar Timur Hadapi Serangan Militer Terburuk Sejak Perang Dunia II

15 Maret 2022 12:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengungsi yang melarikan diri dari bentrokan antara tentara Myanmar dan pemberontak etnis minoritas di tempat penampungan sementara di distrik Mae Sot, provinsi Tak, Thailand. Foto: Athit Perawongmetha/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi yang melarikan diri dari bentrokan antara tentara Myanmar dan pemberontak etnis minoritas di tempat penampungan sementara di distrik Mae Sot, provinsi Tak, Thailand. Foto: Athit Perawongmetha/REUTERS
ADVERTISEMENT
Ketika perhatian dunia global tengah terpaku pada konflik Ukraina dan Rusia, rakyat Myanmar terus-menerus menjadi target serangan militer setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Seorang pekerja bantuan yang telah menghabiskan hampir tiga bulan di zona pertempuran Myanmar mengatakan, serangan darat dan udara yang harus dihadapi penduduk tak ada bandingannya dalam sejarah negara ini sejak Perang Dunia II.
Dikutip dari Associated Press, Direktur Free Burma Rangers (FBR) David Eubank mengatakan, jet dan helikopter militer sering menyerang daerah Myanmar timur, tempat ia dan sukarelawan beroperasi.
Eubank dan rekan-rekannya setiap harinya membawa bantuan medis dan makanan kepada warga sipil yang terjebak dalam konflik.
Pasukan darat terus menembakkan artileri tanpa pandang bulu. Ribuan penduduk pun terpaksa melarikan diri dari tempat tinggal mereka yang kini telah menjadi zona perang.
Anggota Pasukan Pertahanan Kebangsaan Karenni (KNDF) dan Tentara Kareni (KA) di sebuah pos pemeriksaan dekat Demoso, di negara bagian Kayah timur Myanmar. Foto: STR/AFP
Serangan udara militer Myanmar pun menggempur tiada henti di Negara Bagian Karenni. Akibatnya, korban jiwa dari warga sipil terus berjatuhan.
ADVERTISEMENT
Tahun lalu, militer Myanmar merebut kekuasaan negara setelah menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis.
Setelah pasukan keamanan menindak keras demonstrasi damai yang menentang pengambilalihan itu, ribuan warga membentuk unit milisi untuk melawan, yang dijuluki Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF).
Meski dengan keunggulan luar biasa dalam jumlah pasukan dan persenjataan, militer Myanmar terus gagal menghancurkan gerakan perlawanan rakyat ini. Kini, pihak militer tengah meningkatkan serangan mereka, memanfaatkan kondisi musim panas yang kering.
Jenderal Min Aung Hlaing dan Suu Kyi. Foto: REUTERS
Eubank menggambarkan pertempuran yang ia saksikan sebagai konflik terburuk di Myanmar sejak Perang Dunia II, ketika negara ini masih merupakan wilayah koloni Inggris yang dikenal sebagai Burma.
“Telah terjadi pertempuran sporadis di Negara Bagian Kachin di Myanmar utara selama beberapa tahun, tetapi apa yang saya lihat di Karenni belum pernah saya lihat di Burma sebelumnya,” terangnya.
ADVERTISEMENT
“Helikopter tempur belakang, pesawat-pesawat Rusia, dan kemudian ratusan peluru mortir 120 mm datang. Berdentum 'boom, boom, boom, boom',” papar Eubank menceritakan tentang serangan udara di sana.
Rusia adalah pemasok senjata utama untuk militer Myanmar. Mereka terus memasok senjata bahkan ketika banyak negara lain telah memberlakukan embargo sejak kudeta militer demi perdamaian dan kembalinya pemerintahan demokratis.
Rekaman drone yang diambil kelompok FBR menunjukkan dampak serangan tentara di permukiman Karenni, gedung-gedung terbakar dan asap membubung tebal di langit.
Sebuah kendaraan lapis baja berkeliling di jalan selama protes melawan kudeta militer, di Yangon, Myanmar, Minggu (14/2). Foto: Stringer/REUTERS
Dalam laporan surat kabar Myanma Alinn Daily, 24 Februari, militer mengakui menggunakan serangan udara dan artileri berat untuk membersihkan apa yang mereka sebut sebagai “kelompok teroris” di dekat ibu kota Negara Bagian Karenni, Loikaw.
ADVERTISEMENT
Angka korban terus meningkat, orang-orang pun harus berjuang untuk hidup. Mereka meringkuk di tempat perlindungan bawah tanah yang ditutup dengan bambu.
Sebuah serangan udara malam hari pada 23 Februari yang melanda barat laut Loikaw menewaskan dua penduduk desa, melukai tiga lainnya, dan menghancurkan beberapa bangunan.
“Serangan militer terhadap warga sipil, bangunan sipil, pembunuhan warga sipil, bangunan publik seperti bangunan keagamaan, semua itu tidak kurang dari kejahatan perang yang terjadi saat ini di wilayah tersebut,” jelas Maung.
Kerabat menunggu di depan penjara Insein untuk pembebasan tahanan di Yangon, myanmar, Sabtu (12/2/2022). Foto: Stringer/AFP
Sementara, Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan, sebanyak 52.000 penduduk di berbagai penjuru Myanmar telah meninggalkan rumah mereka pada pekan terakhir Februari. Sementara, jumlah total pengungsi internal sejak kudeta militer telah mencapai lebih dari setengah juta.
ADVERTISEMENT
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok advokasi yang memantau penangkapan dan kematian, lebih dari 1.670 warga sipil telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak tentara merebut kekuasaan pada Februari tahun lalu.
"Tetapi orang-orang Karenni terus bertanya kepada saya 'Tidakkah kami berarti? Tentu saja, rakyat Ukraina membutuhkan bantuan. Tetapi kami juga butuh. Mengapa tidak ada yang membantu kami?” pungkas Eubank.
Laporan: Airin Sukono