NasDem: Jangan Kubur Demokrasi Hanya karena Kita Lelah dan Mahal

18 Desember 2024 11:15 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas memberikan surat suara kepada warga binaan untuk mencoblos di TPS Khusus 905, Lapas Narkotika Kelas IIA Jakarta, Cipinang, Jakarta, Rabu (27/11/2024). Foto: ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
zoom-in-whitePerbesar
Petugas memberikan surat suara kepada warga binaan untuk mencoblos di TPS Khusus 905, Lapas Narkotika Kelas IIA Jakarta, Cipinang, Jakarta, Rabu (27/11/2024). Foto: ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
ADVERTISEMENT
Politisi NasDem Willy Aditya menyoroti wacana mengubah sistem Pilkada dari yang sebelumnya langsung menjadi tidak langsung dengan mekanisme dipilih lewat DPRD.
ADVERTISEMENT
Mulanya ia berbicara mengapa angka partisipasi publik dalam sistem demokrasi liberal, salah satunya di Indonesia, rendah. Ia menilai, rendahnya partisipasi di Indonesia masih bisa dimaklumi.
Justru menurutnya, partisipasi yang tinggi biasanya terjadi di negara otoriter karena ada tekanan dari pemerintah agar warga memilih.
“Partisipasi tinggi itu di negara-negara otoritarian. Kenapa? Dia mengandung shadow democracy, demokrasi yang semu. Jadi, orang datang ke TPS itu atas dasar intimidasi dan teror,” kata Willy saat dihubungi, Selasa (18/12).
Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Foto: Zamachsyari/kumparan
Menurutnya, sejarah di Indonesia mencatat pola demokrasi terbuka dengan sistem masyarakat memilih langsung nyatanya bisa mencetak pemimpin-pemimpin hebat. Salah satunya Jokowi dari seorang tukang kayu bisa menjadi wali kota, gubernur hingga presiden 2 periode.
“Tidak mungkin ada seorang Jokowi tanpa ada proses demokrasi. Saya sudah berkali-kali mengatakan seorang tukang kayu dari Jogja dan kemudian menginspirasi banyak orang,” kata Willy.
ADVERTISEMENT
“Tidak mungkin ada Jokowi jadi gubernur, habis itu jadi presiden. Kenapa? demokrasi yang terbuka. Terus kemudian kita akan kubur ini karena kita lelah? Jangan,” lanjutnya.
Menurutnya, anggaran besar memang sebuah harga yang barus dibayar demi menjalani demokrasi di Indonesia. Namun yang menjadi masalah bukan anggaran yang harus dikeluarkan, melainkan politik uang.
“Oh bahwasanya demokrasi kita high cost. Semua liberal demokrasi itu high cost. Tidak ada demokrasi liberal yang tidak high cost. Cuma kita masalahnya instrumennya adalah money politics,” tuturnya.
Saat ditanya sikap NasDem mengenai usulan Presiden Prabowo Subianto agar Pilkada dilakukan dengan sistem tidak langsung dengan mekanisme dipilih lewat DPRD, Willy mengatakan partainya belum bisa memberikan sikap mendukung atau menolak.
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi XIII ini mendorong untuk melakukan kajian terlebih dahulu melibatkan berbagai lapisan masyarakat mulai dari politisi, masyarakat sipil, hingga akademisi.
“NasDem melihatnya, harus ada dua langkah. Langkah yang pertama, harus ada kajian yang sifatnya komprehensif,” kata Willy.
Sejumlah warga antre untuk gunakan hak suara dalam Pilkada 2024 di TPS 008, Desa Bojong Koneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (27/11/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Menurutnya tidak perlu terburu-buru menggodok aturan baru. DPR masih memiliki banyak waktu untuk melakukan riset mendalam sebelum melakukan revisi aturan.
NasDem ingin akademisi dari para kampus ternama juga ikut turun memberikan masukan agar aturan yang dikeluarkan lebih ideal.
“Kita harus melibatkan banyak kelompok, baik political society, civil society, akademisi, untuk kemudian melakukan riset base. Kita punya banyak waktu karena ini baru selesai Pilkada,” kata Willy.