Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Lucky Hakim harus memutar otak. Pesinetron FTV itu mesti bertarung ke Senayan dari daerah pemilihan “neraka”—Jawa Barat VI yang mencakup Kota Depok dan Kota Bekasi. Disebut dapil neraka, sebab selain banyaknya pesohor yang bersaing di daerah itu, Jabar VI adalah basis militan Prabowo-Sandi.
Padahal, Lucky berasal dari Partai Nasdem yang mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Maka ia bak masuk ke kandang harimau. Kalau sampai salah strategi, semisal dengan selip lidah menyebut diri mendukung Jokowi-Ma’ruf saat kampanye, bisa-bisa kesempatan jadi wakil rakyat melayang.
Lucky hati-hati sekali memilih materi kampanye. Aktor yang sempat tiga tahun duduk di Fraksi PAN DPR RI—sebelum bergabung dengan NasDem—itu menampilkan diri sebagai figur publik ketimbang kader partai pendukung Jokowi.
“Target saya itu anak-anak muda pemilih pemula, juga ibu-ibu yang menonton sinetron dan FTV,” tutur Lucky kepada kumparan, Jumat (26/4).
Ia mahfum betul, dia dan rekan-rekan calegnya yang sama-sama berasal dari dunia hiburan punya modal penting untuk melaju: popularitas. Sudah pasti, mereka juga memiliki kelompok-kelompok penggemar sebagai basis suara potensial.
“Caleg-caleg dari figur-figur terkenal di tingkat nasional itu punya potensi besar. Mereka sangat terkenal, tapi harus bisa menjadi basis elektoral di daerah pemilihan. Sebab belum tentu seorang yang dikenal secara nasional mempunyai elektabilitas di dapil,” kata Sekjen Nasdem Johnny G. Plate di kantor DPP Nasdem, Rabu (24/4).
Selain artis, tokoh-tokoh ternama yang bergabung dengan Nasdem juga terdiri dari atlet seperti petinju Chris John, presenter, purnawirawan, pensiunan birokrat, pengacara, ekonom, sampai para politisi mapan yang menyeberang dari partai lain.
“Kami ingin membuat homebase yang nyaman bagi mereka, supaya banyak yang tertarik bergabung dengan Nasdem,” ujar Johnny.
Caleg populer menjadi bagian penting dari perubahan strategi penting Nasdem untuk mengamankan suara di Jawa—pulau padat pemilih. Partai pimpinan Surya Paloh itu mengisi dapil-dapil di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, sampai Jawa Timur, dengan figur-figur terkenal.
“Jawa ditarget sangat serius oleh Nasdem. Nasdem paling banyak menempatkan figur populer di Jawa,” ujar Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC.
Secara terpisah, peneliti Indikator Politik Rizka Halida mengamini ucapan Djayadi. Menurutnya, Nasdem fokus di Jawa untuk menyasar potensi pemilih lebih besar.
“Caleg-caleg selebriti pun direkrut untuk mengampanyekan Nasdem sampai ke pelosok-pelosok Jawa. Rumusnya: orang memilih yang ia tahu. Hampir tak mungkin orang memilih caleg yang tidak dia kenal,” kata Rizka.
Taktik Nasdem itu berbeda dengan pada pemilu legislatif sebelumnya tahun 2014. Kala itu, menurut Rizka, Nasdem terlalu mengandalkan sosok Surya Paloh—yang asal Sumatera, bukan Jawa—dan Metro TV yang ia miliki.
Kombinasi ketokohan Paloh dan media miliknya itu berbuah 6,79 persen suara nasional bagi Nasdem, dan mengantarkan partai baru itu melenggang ke Senayan pada 2014.
Namun cara itu dievaluasi Nasdem menjelang Pileg 2019. “Nasdem mengubah strategi karena belum dekat dengan pemilih Jawa. Ia menarget pemilih lebih luas dengan merekrut caleg yang sudah populer,” ucap Rizka.
Sekjen Nasdem Johnny G. Plate membenarkan hal itu. Menurutnya, Nasdem sebagai partai baru belum memiliki basis elektoral kokoh sehingga butuh ketokohan kuat untuk mendokrak perolehan suara.
“Kami membangun basis sampai di tingkat akar rumput. Itu betul-betul disiapkan. Tetapi itu tidak cukup. Sebagai partai baru dengan identitas baru, kami perlu memperkuatnya dengan ketokohan calon-calon legislatif di setiap daerah pemilihan,” kata Johnny.
Caleg-caleg tenar itu mengemban misi untuk memperkuat kantong-kantong suara Nasdem. Itu sebabnya mereka ditempatkan di daerah-daerah yang menjadi zona lemah Nasdem, termasuk di dapil-dapil yang berada dalam cengkeraman kubu Prabowo.
Siasat itu masih ditambah dengan coattail effect yang didapat Nasdem dari Jokowi. Selain Golkar, Nasdem ialah partai koalisi Jokowi yang paling kuat mengasosiasikan diri dengan sang petahana lewat jargon “Jokowi presidenku, Nasdem partaiku”.
“Sebelum yang lain mengusung Pak Jokowi, kami sudah mengusungnya,” ujar Johnny, Sekjen Nasdem.
Gabungan strategi mengasosiasikan partai dengan Jokowi dan menempatkan figur-figur populer sebagai caleg itulah yang membuat Nasdem mendapat limpahan suara cukup banyak pada Pileg 2019.
Berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika, Nasdem beroleh 8,20 persen suara nasional, beda tipis dengan PKS yang juga mengalami kenaikan suara signifikan ke angka 8,57 persen.
Total terdapat lima partai yang menikmati peningkatan suara pada Pemilu Legislatif 2019, yakni PDIP, Gerindra, PKB, PKS dan Nasdem. Dari lima partai ini, PKS dan Nasdem lompat paling tinggi dari perolehan suara mereka sebelumnya di Pileg 2014.
Padahal, baik Nasdem maupun PKS sempat disurvei terancam tak lolos parlemen yang kini ambang batasnya naik menjadi 4 persen dari 3,5 persen pada Pileg 2014.
Semisal survei LSI Denny JA yang digelar 18-26 Maret 2019 menyebut elektabilitas Nasdem di angka 2,5 persen saja. Hampir sama dengan hasil survei Litbang Kompas 22 Februari-5 Maret 2019 yang menunjukkan keterpilihan Nasdem 2,6 persen.
Meski demikian, survei Indikator pada 22-29 Maret 2019 berbeda. Ia menempatkan Nasdem pada barisan partai yang lolos ke parlemen dengan perolehan suara 5,7 persen—masih di bawah hasil quick count Pileg 2019 yang ternyata menyatakan perolehan suara Nasdem di kisaran 8 persen.
“Asosiasi politik dengan Jokowi dan kerja caleg kami memberikan manfaat ekor jas (coattail effect) sehingga menghasilkan peningkatan perolehan suara Partai Nasdem ,” ujar Johnny.
__________________
Ikuti Liputan Khusus kumparan: Partai Untung, Partai Buntung