Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Nasib Shelter Tsunami Anyer: Dikorupsi, Mangkrak dan Jadi Tempat Mesum
10 Januari 2019 10:27 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
ADVERTISEMENT
Cat berwarna krem yang mendominasi gedung tampak memudar. Coretan-coretan tinta spidol oleh tangan-tangan jahil menghiasi beberapa ruas dinding dan tiang bangunan. Sisi-sisi badan bangunan ditumbuhi lumut hingga sampah tampak berserakan di sekitar gedung.
ADVERTISEMENT
Tak terurus dan memprihatinkan. Kondisi tersebut menjadi pemandangan awal ketika kumparan mendatangi shelter tsunami yang berada di Kampung Sawah, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, Sabtu (5/1).
Alih-alih digunakan untuk tempat berlindung saat bencana tsunami, gedung berlantai tiga yang dibangun di lahan seluas 2.456 meter ini malah tampak seperti gedung tua tak berpenghuni. Sebabnya adalah karena dikorupsi dan hasil pengerjaan proyek akhirnya tidak sesuai spesifikasi shelter yang tahan gempa.
Gedung ini dibangun pada pertengahan Mei 2014 dengan anggaran Rp 18 miliar dari APBN. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi PN Serang akhirnya menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini yakni Ahmad Gunawan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen-PUPR), Takwin Ali Muchtar, Direktur PT Tidar Sejahtera dan Joko Pranolo, Manajer PT Tidar Sejahtera. Ketiga tersangka tersebut divonis hukuman 1 tahun 3 bulan penjara.
Warga tak yakin shelter kokoh
ADVERTISEMENT
Sabtu (22/12) gelombang tsunami setinggi 5-7 meter datang secara tiba-tiba tanpa tanda. Tingginya gulungan ombak membuat bangunan dan rumah di bibir pantai di Banten dan Lampung disapu bersih oleh air.
Warga sekitar pontang-panting berlarian menyelamatkan diri. Salah satu kawasan yang terkena tsunami adalah Kampung Sawah, Pandeglang, Banten. Desa ini merupakan tempat berdirinya shelter tsunami.
Salah seorang warga, Meri (55), menyebutkan saat peristiwa menakutkan tersebut terjadi, rumahnya ikut terendam air. Warga berusaha menyelamatkan diri mencari tempat yang aman karena takut gelombang tsunami susulan datang.
Kendati posisi shelter persis di depan rumahnya, Meri sempat ragu untuk menyelamatkan diri ke shelter. Meski khawatir shelter tak kuat menahan beban dan tak sanggup menaiki tangga ia lantas memberanikan diri.
ADVERTISEMENT
“Takut roboh, menurut ibu kalau terlalu banyak juga seperti waktu kejadian itu sampai berjubel- jubel gitu takut roboh gitu, ngerilah enggak ada listrik, kamar mandi enggak nyaman. Sebab ibu tahu asal-asalan itu,” kata Meri kepada kumparan, Sabtu (5/1) di Kampung Sawah, Labuan, Banten.
Ketakutan Meri cukup berdasar, mengingat dia pernah menjadi tukang masak bagi pekerja proyek shelter dan sedikit banyak tahu ada yang tak sempurna dalam proses pembangunannya.
Saat bencana tsunami terjadi pada Sabtu (22/12), sejumlah warga sempat naik ke shelter namun tak lama kemudian turun kembali. Mereka mencari tempat lain untuk menyelamatkan diri karena kondisi shelter gelap, kamar mandi rusak, dan tak nyaman.
“Kalau memang digunain (hanya) untuk nginap, untuk yang kejebak gitu lah karena bencana ya kalau hujankan basah juga, walaupun dia di tengah, tetap airnya masuk,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Warga lainnya, Amir, juga menuturkan hal yang sama. Saat kejadian banyak warga malah ketakutan berada di shelter. Akibatnya banyak warga yang kembali turun dan melarikan diri ke lapangan futsal yang tak jauh dari lokasi shelter.
Tak hanya itu, saat situasi mendesak, ramp shelter yang berjumlah kurang lebih 15 ruas dinilai terlalu pendek sehingga menghambat laju warga saat berlari ke atas shelter. Pantauan kumparan ramp shelter tersebut kurang lebih setinggi 175-190 cm.
“Banyak (warga berlindung di shelter) tapi pada turun lagi karena enggak ada lampu enggak layak, apalagi banyak bayi dan anak kecil di sini,” ucap Amir.
Jadi tempat parkir dan area mesum
Lantai digenangi air hujan, keramik rusak, panel surya penyimpan tenaga listrik tak berfungsi. Sampah bungkus makanan dan puntung rokok berserakan, listrik padam, coretan tulisan dimana-mana, membuat shelter tsunami mirip markas gangster.
Sebelum mangkrak, shelter ini dilengkapi pagar yang selalu terkunci. Namun gerbang tersebut dirusak oleh orang yang tak bertanggung jawab. Kini lantai dasar berubah jadi arena parkir mobil dan gerobak para pedagang. Ironisnya lagi, shelter tsunami itu juga dijadikan sebagai tempat ngumpul hingga melakukan tindakan mesum.
ADVERTISEMENT
“Ini juga fasilitas kamar mandi dulu ada malah dirusak sama anak- anak yang beler-beler itu, kalau saya marahin nanti dia ngeroyokin Ibu,” ujar Meri.
Papan informasi terkait shelter ini juga tampak ditutupi oleh lapak-lapak pedagang di area bagian depan shelter. Rumput-rumput tumbuh tinggi di pelataran bagian belakang shelter.
Kepala RW Kampung Sawah, Oyok Yuga, menyebut sejak awal pembangunan ia sudah mengetahui fungsi shelter namun ia mengaku tidak tahu soal kasus korupsi yang menghambat pembangunan shelter.
Ia juga mengaku kerap menegur para anak-anak muda yang sering mangkal di shelter namun juga tidak dihiraukan.
“Jadi memang ini anak anak kesini kumpul- kumpul tapi bukan orang daerah sini dan sering ditegur tapi tidak digubris,” ujar Oyok.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, warga berharap pemerintah melanjutkan dan memperhatikan pembangunan shelter. Tak bisa dipungkiri status Gunung Anak Krakatau yang masih aktif bukan tidak mungkin ancaman bayang-bayang tsunami tetap ada.
Warga juga berharap ke depan shelter dijaga oleh petugas agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Kalau kena bencana mau ke mana lagi, saya mengingatnya pada tahun 1883 pada saat letusan gunung Krakatau itu dari pantai jarak 7 kilo habis. Saya mengingat ke sana ketika pemerintah membangun shelter ini untuk penampungan bencana saya sangat setuju aja,” pungkas Oyok.
Simak selengkapnya konten spesial dalam topik Ironi Shelter Tsunami.