Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Felicita Susanto tak tahu lagi ke mana harus mengadu. Ia terpaksa tinggal di rumah kontrakan selama empat tahun belakangan, sebab rumah miliknya sudah dijual untuk membeli rumah baru―yang sialnya berlokasi di salah satu pulau reklamasi Teluk Jakarta.
ADVERTISEMENT
Rumah baru Felicita―yang tak bisa ia tempati―terletak di Pulau D yang proses reklamasinya dihentikan. Selain Pulau D, terdapat tiga pulau lain yang reklamasinya juga disetop, yakni Pulau C, G, dan N. Sementara 13 pulau reklamasi lain yang belum berwujud alias masih tahap perencanaan, dicabut izinnya.
Keputusan mencabut izin 13 pulau reklamasi dan menghentikan proses reklamasi empat pulau di Teluk Jakarta itu diambil oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 26 September 2018. Lepas dari kontroversi yang mengiringi, mau tak mau konsumen pulau reklamasi seperti Felicita langsung terkena dampak.
“Saya sudah menjual rumah (pribadi) di Pantai Indah Kapuk (untuk membeli properti di pulau reklamasi). Bulan Mei 2019 nanti, genap lima tahun saya menyewa rumah,” keluh Felicita, saat bertemu Sandiaga Uno, mantan wakil gubernur DKI Jakarta, di Fresh Market PIK, Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (13/10).
ADVERTISEMENT
Felicita pantas resah. Saat ini pembangunan di Pulau D oleh PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu Group) selaku pengembang, otomatis mandek dan terkatung-katung. Itu sebabnya ia berkeluh kesah kepada Sandiaga―yang masih dilihat sebagian warga Jakarta sebagai wakil gubernur walau sedang blusukan dalam kapasitasnya sebagai calon wakil presiden.
Dan Felicita bukan satu-satunya ‘korban’. Banyak warga Pantai Indah Kapuk yang juga membeli properti di pulau reklamasi. Alhasil, mereka kini harus gigit jari.
“Tidak boleh ada orang yang dirugikan,” kata Sandi tanpa mengumbar banyak janji kepada pembeli properti reklamasi yang merugi.
Dari empat pulau reklamasi yang tak dicabut izinnya, Pulau C dan D dipegang oleh PT Kapuk Naga Indah, Pulau G oleh PT Muara Wisesa Samudra, dan Pulau N―yang difungsikan sebagai perluasan Pelabuhan Tanjung Priok―oleh PT Pelindo II selaku BUMN.
ADVERTISEMENT
Di antara keempatnya, pembangunan Pulau D―tempat rumah Felicita berada―terlihat paling laju. Di atasnya telah berdiri 932 bangunan yang terdiri dari 409 rumah, 212 rumah kantor, dan 311 rukan sekaligus tempat tinggal.
Namun 932 bangunan itu tak dapat digunakan. Segel Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melintang di sana, tanda bahwa proses reklamasi dan pembangunan gedung dihentikan karena melanggar aturan.
Alhasil, nasib konsumen pulau reklamasi terkatung-katung. Felicita hanya salah satu. Ia ingin kejelasan sikap Pemprov DKI Jakarta. Itu sebabnya ia melayangkan surat permohonan audiensi kepada Gubernur Anies pada Desember 2017―yang belum ditanggapi sampai sekarang.
Nasib lebih nahas menimpa konsumen yang tak hanya membeli satu unit rumah, tapi memborong 20 unit rumah kantor sekaligus!
ADVERTISEMENT
Padahal, ujar seorang konsumen yang tak mau disebutkan namanya, satu unit rukan dibanderol seharga Rp 7 miliar. Artinya, bila ia membeli 20 unit, maka ia telah membakar duit sebanyak Rp 140 miliar―tanpa tahu kapan properti yang dibeli bisa dinikmati.
Kegelisahan konsumen makin menjadi karena uang cicilan mereka masih di pengembang. Lebih pelik lagi, kekhawatiran yang disampaikan dalam bentuk protes terhadap pengembang justru bisa berbalik jadi tuntutan pidana.
Dua orang konsumen, misalnya, sempat dijebloskan ke tahanan . Akhir Desember 2017, William―yang menyebarkan video aksi protes pembeli properti Pulau C dan D di kantor pengembang―ditangkap polisi. Video yang ia sebarkan, menurut polisi, memuat ancaman terhadap pegawai perusahaan pengembang, PT Kapuk Naga Indah.
ADVERTISEMENT
Video itu juga membuat pengembang merasa dirugikan karena berbuntut pembatalan transaksi properti oleh konsumen lain. Status tersangka William dicabut setelah ia memuat permohonan maaf secara resmi kepada pengembang di koran nasional.
Selanjutnya, awal Februari 2018, seorang konsumen bernama Lucia Liemesak―yang ikut serta dalam aksi protes terhadap pengembang―ditahan polisi setelah dilaporkan karyawan perusahaan pengembang atas dugaan fitnah dan pencemaran nama baik.
Lucia pun merasa dikriminalisasi. Di Polda Metro Jaya saat hendak diperiksa, Lucia berkata, “Salah saya apa? Saya ini konsumen yang merasa uangnya nggak ketahuan nasibnya. Saya boleh bertanya, dong. Ini bertanya saja tidak boleh.”
Sama seperti William, Lucia dibebaskan setelah membuat pernyataan permintaan maaf kepada Agung Sedayu Group selaku induk perusahaan PT Kapuk Naga Indah, di media cetak nasional.
Insiden-insiden tersebut tak pelak membuat banyak konsumen memilih tutup mulut. Mereka bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Salah-salah, uang melayang, jeruji mengintai.
ADVERTISEMENT
“Kasus-kasus (keributan konsumen dan pengembang) itu selesai dengan damai, tapi biaya damainya itu loh. Kan disuruh minta maaf melalui iklan di media massa. Saya dengar habisnya sampai Rp 800 juta,” ucap seorang konsumen kepada kumparan, Rabu (24/10).
Sembari mewanti-wanti agar namanya jangan sampai dituliskan, ia berkata, “Jadi kami menunggu saja. Sebab kami bisa apa?”
Kuasa bicara. Maka ia, seperti rekan-rekan konsumen lain, memilih pasrah digantung nasib.
Nekat Beli demi Investasi
Keputusan membeli properti reklamasi di pulau reklamasi sebetulnya terbilang nekat. Konsumen yang meminta namanya dilindungi tadi mengatakan, ia dan rekan-rekannya tertarik membeli properti reklamasi karena yakin proyek bakal berjalan mulus. Mereka memegang nama besar pengembang.
PT Kapuk Naga Indah yang anak perusahaan Agung Sedayu Group, dikenal luas sebagai pengembang yang sukses dengan Pantai Indah Kapuk―area yang menjelma kawasan perumahan bergengsi di Jakarta Utara layaknya Menteng di Jakarta Pusat, Pondok Indah di Jakarta Selatan, dan Puri Indah di Jakarta Barat.
ADVERTISEMENT
Tak heran banyak pembeli properti reklamasi juga merupakan pemilik properti di Pantai Indah Kapuk.
“Saya lupa membeli (properti di pulau reklamasi) kapan. Kalau nggak salah sudah sekitar 2,5 tahunan mencicil. Waktu itu pulaunya belum ada, masih laut. Modal kepercayaan saja,” ujar konsumen yang menjadi narasumber kumparan.
Para konsumen mengesampingkan kebiasaan buruk pengembang yang mulai memasarkan properti sebelum mengantongi sejumlah izin mendirikan bangunan. Seperti telah disebutkan, nama besar pengembang menutupi bolong soal legalitas. Apalagi kala itu pengembang menjanjikan, pulau reklamasi sudah bisa dihuni pada akhir 2016.
Proyek reklamasi menyita perhatian pada masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta. Reklamasi juga menjadi topik yang hangat diperbincangkan pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, protes yang dilancarkan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta bersama para nelayan kian bergaung. Mereka bersuara kencang: reklamasi memicu bencana ekologis. Pun begitu, konsumen pulau reklamasi saat itu masih yakin masalah dapat diselesaikan pengembang.
Kecemasan konsumen memuncak pada akhir 2017. Mereka memutuskan bertanya langsung ke kantor pengembang di kawasan Pantai Indak Kapuk. Namun, seperti disebut di atas, aksi tersebut berujung kericuhan yang membuat dua konsumen ditahan.
Konsumen kemudian sempat mengambil langkah hukum. September 2017, sembilan konsumen mengadu ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen DKI Jakarta. Mereka menuntut pengembalian uang sebesar Rp 36,7 miliar. Namun aduan itu patah karena BPSK tidak bersedia menjadi penyelesai sengketa jual beli.
Januari 2018, enam konsumen lain menggugat pengembang dan Pemprov DKI Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Mereka meminta pengembalian uang Rp 35,6 miliar. Tapi gugatan itu kemudian dicabut pada Maret 2018.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, April 2018, dua konsumen―Lie Agustina dan Santo Wijaya―menggugat pailit PT Kapuk Naga Indah ke Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat. Tapi gugatan tersebut tiba-tiba dicabut pada 12 April 2018. Kedua konsumen, lagi-lagi, juga menulis permohonan maaf terbuka kepada Agung Sedayu Group di surat kabar nasional.
Sumber lain di lingkaran konsumen menyatakan, pengembang memiliki kekuatan besar untuk mengadang gugatan yang datang. Akibatnya, berbagai tuntutan konsumen menghantam dinding kokoh, bahkan berbalik menyerang mereka sendiri. Maka, menunggu jadi satu-satunya pilihan.
Pengacara konsumen yang mengadu ke BPSK, Rendy Anggara Putra, mengatakan sengketa antara konsumen dan pengembang mestinya diselesaikan. Terlebih, reklamasi sudah berjalan. Surat hak pengelolaan lahan (HPL) dan hak guna bangunan (HGB) bahkan telah terbit―yang sayangnya tak seiring dengan surat izin mendirikan bangunan (IMB) yang belum dikantongi sehingga menyebabkan bangunan disegel.
ADVERTISEMENT
“Langkah hukum dilakukan karena ada keresahan konsumen soal kepastian. Kan beberapa kali soal reklamasi ini janjinya mundur,” kata Rendy ketika ditemui kumparan, Senin (8/10).
Pihak pengembang, PT Kapuk Naga Indah, melalui kuasa hukumnya, Kresna Wasedanto yang dihubungi kumparan via telepon pada Selasa (23/10), menolak berkomentar soal reklamasi. “Saya belum bisa memberikan komentar,” ujarnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang membentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta pada 4 Juni 2018, menyerahkan seluruh kewenangan terkait reklamasi kepada badan tersebut.
Soal pemanfaatan pulau reklamasi yang sudah terbentuk akan ditentukan kemudian melalui Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disusun pada 2019.
“Nanti di situ ada pengaturan tata ruang. Yang empat pulau (reklamasi sudah jadi) jalan terus, tapi dikelola. Bahasanya ‘dikelola’,” kata Anies saat berbincang dengan kumparan di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (19/10).
Beda Pengembang Beda Nasib
ADVERTISEMENT
Tak semua konsumen pulau reklamasi mengalami kesialan serupa. Konsumen properti di Pulau G yang pembangunannya berada di bawah PT Muara Wisesa Samudra (anak perusahaan Agung Podomoro Land) memiliki kisah lain.
Dia―yang juga meminta namanya tak disebutkan―mengatakan, dana investasinya di Pulau G kembali dengan cukup mulus walau berulang kali diterpa kabar simpang siur.
Konsumen yang hobi berlayar itu semula membeli rumah di Pulau G untuk masa pensiun kelak. “Ini tidak murah tetapi barang langka. Bayangkan, punya rumah di Jakarta dan di tepi pantai,” kata dia ketika dijumpai kumparan di Jakarta Selatan, Kamis (11/10).
Ia membeli properti di Pulau G dengan mencicil selama lima tahun. Ketika beberapa kali tersiar kabar reklamasi terancam batal, dia menghubungi pengembang guna membatalkan pembelian dan meminta pengembalian dana. Tetapi berkali-kali pula ia diyakinkan bahwa proyek terus berjalan.
ADVERTISEMENT
Sang konsumen―yang selalu dapat melihat wujud Pulau G ketika naik pesawat ke luar kota―sempat bertekad akan terus menunggu. Namun ia akhirnya memutuskan untuk membatalkan investasi reklamasi tersebut pada 2017.
“(Pengembalian dana) nggak sulit. Saya bersyukur baik-baik saja. Saya tidak koar-koar, tetapi waktu itu saya bilang ke mereka (pengembang Pulau G), saya akan ambil langkah serius ,” kata dia, menutup cerita.
------------------------
Simak laporan mendalam Setengah Hati Setop Reklamasi? di Liputan Khusus kumparan.