Negara Barat Ancam Walk Out di Pertemuan Menkeu G20 Jika Ada Rusia

20 April 2022 6:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi G20. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi G20. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Negara Barat merencanakan aksi 'penghinaan' diplomatik terhadap Rusia atas invasi ke Ukraina. Mereka akan menggelar aksi walk out terkoordinasi dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Washington pada Rabu (20/4).
ADVERTISEMENT
"Selama dan setelah pertemuan kami pasti akan mengirimkan pesan yang kuat dan kami tidak akan sendirian melakukannya," ungkap sumber pemerintah Jerman, dikutip dari Reuters, Rabu (20/4).
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, akan menghindari sesi yang diikuti pejabat Rusia. Namun, Yellen tetap akan menghadiri sesi pembuka tentang perang di Ukraina. Dia akan berpartisipasi dalam agenda itu terlepas dari keterlibatan Moskow.
Janet Yellen. Foto: Christopher Aluka Berry/REUTERS
Sedangkan Menkeu Inggris, Rishi Sunak, membuat keputusan sama. Sunak menekankan, dia tidak akan menghadiri sesi tertentu. Kendati demikian, Kanselir Jerman Olaf Scholz akan mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November mendatang.
"Sesuai dengan AS, kanselir akan menghadiri sesi inti G20 dan akan terus bekerja dengan sekutu kami untuk menyerukan agresi Rusia, dan mendorong tindakan terkoordinasi yang lebih kuat untuk menghukum Rusia dan mendukung Ukraina," terang seorang sumber pemerintah Inggris.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Menkeu Prancis tampaknya akan mengikuti rangkaian pertemuan tersebut. Tetapi, Inggris mengharapkan walk out bersama para menteri dari negara-negara Group of 7 (G7). Mereka akan angkat kaki sebelum perwakilan Kremlin angkat bicara.
Presiden Rusia Vladimir Putin menggelar pertemuan virtual dengan Presiden China Xi Jinping di kediaman negara Novo-Ogaryovo di luar Moskow, Rusia. Foto: Mikhail METZEL / SPUTNIK / AFP
Langkah serentak tersebut menyusul konfirmasi kehadiran Menkeu Rusia, Anton Siluanov, pada Selasa (19/4). Sebagian negara telah mendesak Rusia dikeluarkan dari segala pertemuan internasional. Sedangkan negara lain, seperti China, tetap mendukung Moskow.
Retakan yang kian melebar itu menimbulkan pertanyaan atas masa depan G20. Bagaimanapun juga, forum tersebut dinilai menginisiasi berbagai perubahan dari reformasi pajak global hingga penghapusan utang pandemi.
Para analis memperkirakan, pertemuan menteri keuangan itu akan menjadi momen krusial. Barat diduga membiarkan G20 melemah demi kepentingan G7. Dengan demikian, pengaruh ekonomi yang signifikan akan berpindah ke tangan China.
ADVERTISEMENT
Pertemuan Vladimir Putin dengan Xi Jinping di Beijing. Foto: Sputnik/Aleksey Druzhinin/Kremlin via REUTERS
Beijing dan Moskow menjalin hubungan erat bahkan selama invasi bergulir. Maka dari itu, Kremlin akan meraup keuntungan pula.
"G20 berisiko terurai dan pekan ini sangat penting," ujar Direktur Pusat Geoekonomi Dewan Atlantik dan mantan penasihat Dana Moneter Internasional (IMF), Josh Lipsky.
"Rusia dapat bersekutu dengan China dan saya pikir itu hasil yang baik dari perspektif Rusia dan benar-benar memberi mereka lebih banyak pengaruh daripada yang mereka miliki di badan seperti G20," imbuh Lipsky.
Ilustrasi pertemuan KTT G20. Foto: Dok. g20.org
Pejabat Prancis dan Jerman mengatakan, tidak akan ada komuniksi yang disepakati di akhir pertemuan tersebut. Agenda itu mulanya akan membahas keadaan ekonomi global dan penanganan pandemi.
Negara-negara G20 kerap mengadopsi pandangan berbeda tentang mekanisme ekonomi global. Invasi Rusia ke Ukraina semakin menyoroti fakta tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebab, sejumlah negara memilih untuk tidak menjatuhkan sanksi terhadap Kremlin. Barat tak henti memberikan putaran sanksi.
Ilustrasi IMF. Foto: Getty Images
G20 menghadapi tantangan terbaru dalam membangun seperangkat aturan global perihal perdagangan dan keuangan.
IMF telah memperingatkan tentang risiko tersebut. Menjelang pertemuan G20, pihaknya mengatakan, ekonomi global akan kian terpecah-pecah.
"Satu skenario adalah kita telah membagi blok-blok yang tidak banyak berdagang satu sama lain, yang memiliki standar berbeda, dan itu akan menjadi bencana bagi ekonomi global," kata Kepala Ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas.