Nenek Saidah Berjualan Kerupuk Demi Kesembuhan Anak

23 Januari 2017 9:42 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Nenek Saidah tak pernah menyerah terhadap kondisi (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nenek Saidah tak pernah menyerah terhadap kondisi (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Badannya yang mulai rapuh, kurus, dan sedikit bongkok, tidak menyurutkan semangat Saidah Ahmad untuk terus mencari rezeki. Setiap hari dari pukul 07.00-09.00 WIB, perempuan berusia 68 tahun ini harus berjalan kaki dari kediamannya di Kampung Teladan, Swadaya 8, RT 13 RW 1, Kecamatan Duren Sawit, sampai ke Kanal Banjir Timur (KBT) untuk berjualan, jaraknya sekitar 2 km.
ADVERTISEMENT
“Kalau jalannya gagah, enggak berhenti-berhenti, ya bisa cuma 30 menit,” ujar Saidah saat ditemui kumparan di rumah kontrakannya.
Selain di KBT, Nenek Ida, begitu ia akrab disapa, juga berjualan di depan Rumah Sakit Duren Sawit atau sekadar duduk-duduk di trotoar pinggir Jalan Laut Banda.
“Masih ada orang yang melihat dan beli saja saya bersyukur. Tetapi, ada juga yang cuma langsung lewat-lewat aja, enggak apa-apa,” katanya.
Nenek Ida merupakan penjual makanan ringan, seperti rempeyek, makaroni, dan kerupuk. Ia mulai berjualan di KBT sejak 2014. Sebelumnya, ia juga berjualan keliling ke Kalimalang, Jatiwaringin, Pondok Bambu, dan Pangkalan Jati.
Nenek Saidah setia menunggu pelanggan. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nenek Saidah setia menunggu pelanggan. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Khusus untuk rempeyek, Nenek Ida mendapatkan supply dari tetangganya dengan harga Rp 4 ribu per bungkus. Nenek Ida biasanya membeli sebanyak 25 bungkus atau seharga Rp 100 ribu. Sedangkan, untuk makaroni dan kerupuk, merupakan buatan salah satu anaknya, Yanti.
ADVERTISEMENT
“Semua dijual Rp 5 ribu. Saya hanya ambil untung Rp 1 ribu tiap bungkusnya,” kata Nenek Ida sambil menunjukkan barang dagangannya yang masih tersisa.
Bagi Nenek Ida, keuntungan yang sangat kecil itu, atau sekitar Rp 30 ribu - Rp 50 ribu per hari, sudah bisa mencukupi kebutuhan dia dan anaknya yang terbaring sakit di rumah. Bahkan, keuntungan itu bisa sedikit lebih besar, apabila ada pembeli yang secara sukarela memberikan uang kembaliannya kepada Nenek Ida. Dia sangat mensyukuri akan hal itu.
“Saya hanya bisa bilang, makasih ya nak, terima kasih banyak. Semoga pahalamu diberkati,” doa Nenek Ida kepada orang-orang tersebut.
Nenek Saidah sedang berjualan di pinggir jalan (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nenek Saidah sedang berjualan di pinggir jalan (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Nenek Ida tidak punya patokan, kapan dia harus pulang ke rumah, selain tentunya ketika barang dagangannya sudah habis. Bahkan, ia pernah harus terpaksa pulang karena badannya tiba-tiba drop. Pingsan di tengah jalan saat berjualan.
ADVERTISEMENT
“Pagi-pagi mandi dan kedinginan, perut kosong, jalan cepat-cepat mau kejar 6.30 WIB berangkat, eh malah pingsan. Di jalan, kepala pusing dan sesak dadanya,” kisahnya.
Beruntung, ada seorang bapak-bapak yang mengenal Nenek Ida. Ia langsung dibawa pulang ke rumah anaknya, yang letaknya tidak jauh dari rumah Nenek Ida.
“Dulu itu digendong, karena kalau naik ojek, saya enggak kuat pegangan,” ujarnya.
Sepulang dari berjualan, agenda pasti Nenek Ida adalah mencari makan di ‘Warung Tegal’ atau biasa disebut Warteg. Ia lebih suka makan dibungkus, daripada harus masak sendiri lagi. Rumah kontrakan yang hanya berukuran 3x3 meter membuatnya tidak memiliki tempat untuk memasak.
Nenek Saidah tengah berkisah. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nenek Saidah tengah berkisah. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Menu favorit Nenek Ida adalah sayur sop, tempe, dan sambel. Semuanya hanya seharga Rp 5 ribu.
ADVERTISEMENT
“Mau makan ikan, mahal. Jadi, nasi, sambel, dan tempe saja sudah cukup,” ujarnya.
Sesampainya di rumah, Nenek Ida beristirahat sejenak. Kegiatan rutinnya di rumah adalah mengaji, membaca Al Quran atau Surat Yassin.
Selain itu, ada hal sangat menarik yang dilakukan oleh Nenek Ida sebagai penjual. Meski pendapatannya kecil, Nenek Ida selalu membuat laporan keuangan.
Siapa sangka, perempuan pecinta kopi, yang bisa menghabiskan lima sachet kopi dalam sehari ini masih menyempatkan waktunya untuk membuat pembukuan keuangan. Meskipun, laporan keuangannya tidak sedetail atau serumit yang ada pada umumnya. Namun setidaknya, Nenek Ida sudah mencoba.
“Hanya ada data pemasukan, pengeluaran untuk makan, santunan, dan tabungan,” katanya.
Tabungan? Ya, Nenek Ida ternyata masih menyisihkan sebagian uangnya untuk menabung. Ia merasa itu penting untuk pengeluaran yang tidak terduga atau tambahan bayar kontrakan yang mencapai Rp 400 ribu per bulan.
ADVERTISEMENT
“Ada tabungan, sekitar Rp 15 ribu per hari. Seharusnya sudah (terkumpul) banyak, tapi keambil terus buat kekurangan ini itu dan kasih (uang jajan) cucu-cucu. Kasihan bapaknya cuma kerja jadi satpam soalnya,” ujarnya.
Nenek Ida tidak tinggal sendiri di kontrakannya yang hanya berukuran 3 x 3 meter itu. Perempuan enam anak ini tinggal bersama anak keduanya bernama Riyanto. Mereka berdua harus rela saling berbagi tempat tidur beralaskan lantai di ruangan yang sebenarnya sudah sangat sesak diisi perabotan rumah tangga.
Nenek Saidah (68) dan sang anak, Riyanto. (Foto: Nikolaus Harbowo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nenek Saidah (68) dan sang anak, Riyanto. (Foto: Nikolaus Harbowo/kumparan)
Riyanto tidak bekerja. Sejak kecelakaan beberapa tahun yang lalu, Riyanto mengalami sakit lambung.
“Udah empat tahun sakit lambung. Tidak bisa angkat-angkat barang berat dan keluar rumah terlalu jauh karena nanti bisa masuk angin,” ujar Nenek Ida dengan raut wajah sedih.
ADVERTISEMENT
Nenek Ida mencoba menceritakan awal penyakit anaknya yang sudah berumur 52 tahun tersebut. Pada 2012 saat di Kediri, Riyanto yang sedang naik sepeda malah ditabrak oleh pengendara motor. Setelah dibawa ke rumah sakit, semua jari kaki kirinya retak dan terjadi pembekuan darah di kaki. Nenek Ida dan Riyanto sendiri juga tidak mengerti, kenapa penyakitnya itu bisa lari ke penyakit lambungnya yang sekarang.
“Belum operasi karena tidak ada biaya. Dia juga sudah sampai bosen minum obat terus,” katanya.
Oleh karena itu, Nenek Ida hanya bisa berharap kesehatan anaknya kembali pulih dan punya warung kecil di rumah. Sehingga, Riyanto bisa ikut membantunya berjualan.
ADVERTISEMENT