Novel Baswedan Ungkap Kontrak KPK-BKN soal TWK: Asesmen atau Operasi Intelijen?

25 Juni 2021 14:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
Novel Baswedan (tengah) dan sejumlah perwakilan pegawai yang tak lolos TWK memberikan keterangan kepada wartawan di Kantor Komnas HAM, Jakarta. Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Novel Baswedan (tengah) dan sejumlah perwakilan pegawai yang tak lolos TWK memberikan keterangan kepada wartawan di Kantor Komnas HAM, Jakarta. Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang membuat 75 pegawai KPK tak lulus masih menjadi sorotan.
ADVERTISEMENT
Dari 75 pegawai itu, 51 di antaranya dicap merah dan dianggap tidak bisa dibina. Praktis TWK dinilai sebagai alat untuk menyingkirkan pihak tertentu di KPK.
Penyidik KPK, Novel Baswedan, menjadi salah satu pegawai yang dinyatakan tidak lulus. Ia kemudian mengungkap kontrak antara KPK dan BKN soal TWK.
Dalam salah satu isi kontrak tersebut, disebutkan bahwa penggunaan serta pemanfaatan hasil asesmen TWK pegawai KPK tidak memerlukan persetujuan BKN. Berikut bunyinya:
Menggunakan dan memanfaatkan seluruh hasil asesmen Tes Wawasan Kebangsaan pegawai PIHAK PERTAMA, laporan penyelenggaraan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan, dan seluruh data dan dokumen terkait lainnya untuk kepentingan PIHAK PERTAMA, yang mana untuk penggunaan serta pemanfaatan tersebut PIHAK PERTAMA dan tidak memerlukan persetujuan dari PIHAK KEDUA.
ADVERTISEMENT
"Pada kontrak antara KPK (pihak pertama) dengan BKN (pihak kedua) terkait assesment TWK di point f (poin g -red), BKN bukan penentu lulus/tidak," ucap Novel dalam Twitternya, Jumat (25/6).
Penyidik KPK Novel Baswedan memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (8/6). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Novel menyatakan, BKN mengaku sudah menyerahkan hasil asesmen TWK ke KPK. Sehingga ia bersama 29 pegawai lain meminta hasil asesmen tersebut kepada pejabat PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) KPK. Tetapi hingga kini mereka belum menerimanya.
Sedangkan KPK menyatakan perlu berkoordinasi dengan BKN untuk memenuhi permintaan informasi tersebut. Sebab salinan dokumen yang diminta 30 pegawai bukan sepenuhnya berada dalam penguasaan KPK.
"Hasil asesmen yang mestinya diserahkan, KPK mengaku belum terima. Jadi siapa yang berbohong? Ini sebenarnya asesmen atau operasi intelijen?" kata Novel mempertanyakan.
ADVERTISEMENT
Kepala BKN, Bima Haria Wibisana, sebelumnya menyatakan tidak lagi memegang hasil TWK pegawai KPK. Bima mengatakan, hasil tes yang dijadikan syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN itu telah diserahkan kepada KPK.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana. Foto: ANTARA
"Jadi BKN itu menerima hasil TWK, hasilnya agregat kumulatif, semuanya. Hasilnya ini dalam bentuk dokumen bersegel, ini hasil sudah kami serahkan ke KPK, BKN sekarang tidak memegang dokumen apa-apa," kata Bima dalam konferensi pers di Komnas HAM, Selasa (22/6).
Pernyataan Bima menanggapi permintaan data terkait TWK yang sebelumnya diminta oleh para pegawai KPK. Total ada 30 pegawai KPK bersurat kepada PPID meminta salinan data dan informasi terkait TWK.
Bima menegaskan, BKN tak bisa memenuhi permintaan tersebut. Selain seluruh data berkaitan TWK telah diserahkan kepada KPK, kepemilikan data detail terkait peserta TWK berada di bawah kewenangan pihak lain, yakni Dinas Psikologi TNI AD dan BNPT.
ADVERTISEMENT
"Nah sekarang ketika diminta, kalau diminta bagaimana? Saya tidak tahu saya harus tanya dulu. Dinas Psikologi AD mengatakan berdasarkan ketetapan Panglima TNI itu rahasia, saya tanya BNPT ini kalau profiling bisa enggak diminta, profiling ini didapatkan dari suatu aktivitas intelijen sehingga menjadi rahasia negara," ungkap Bima.
"Jadi saya sarankan ini menurut Dinas AD dan BNPT rahasia. Jadi bukan saya yang menetapkan itu rahasia tapi yang memiliki informasi itu," lanjutnya.
Ilustrasi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutter Stock
Meski begitu, Bima menegaskan bahwa data TWK masih bisa dibuka. Namun diperlukan ketetapan pengadilan.
"Nah apakah ini bisa dibuka? Ya bisa lah. Informasi di Indonesia ini semuanya bisa dibuka kalau ada ketetapan pengadilan. Supaya orang-orang yang memberikan informasi ini tidak disalahkan karena melanggar aturan," kata Bima.
ADVERTISEMENT
"Saya sebagai assesor itu kan punya kode etik, kalau saya menyampaikan suatu yang pada sifatnya rahasia jabatan saya, saya kena pidana. Tapi kalau berdasarkan keputusan pengadilan boleh menyampaikan itu, ya boleh. Jadi supaya enak dan orang-orang tidak melanggar aturan, itu bisa diselesaikan dengan cara seperti itu," tutupnya.