Novel Bumi Manusia: Dulu Dicekal Orba, Kini Jadi Rekomendasi Bacaan di Sekolah

22 Mei 2024 17:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pramoedya Ananta Toer. Foto: Weda/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pramoedya Ananta Toer. Foto: Weda/AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam memperingati hari buku nasional 2024, Kemendikbudristek memasukkan sastra dalam kurikulum merdeka dengan nama program "Sastra Masuk Kurikulum". Dari 177 daftar buku sastra yang direkomendasikan Kemendikbudristek untuk dibaca, salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer berjudul "Bumi Manusia" masuk dalam deretan tersebut.
ADVERTISEMENT
Bumi Manusia pertama kali terbit tahun 1980. Novel karya Pram ini menceritakan tentang dua anak manusia antara Minke dan Annelies yang saling mencintai di tengah pergelutan tanah kolonial pada awal abad ke-20. Minke adalah seorang pemuda pribumi, Jawa Totok yang bapaknya merupakan seorang Bupati dan Annelies merupakan gadis Indo-Belanda anak seorang Nyai—wanita terhormat, tapi bukan kalangan bangsawan.
Buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Foto: Dok. Lentera Dipantara
Menurut sastrawan dan tim kurator sastra masuk kurikulum, Okky Madasari, adanya sastra dalam kurikulum merdeka untuk jenjang SD, SMP, SMA, diharapkan dapat menghasilkan generasi masa depan yang lebih kreatif, inovatif, memahami gambaran besar dari sebuah persoalan, dan memiliki daya saing global. Ia juga menilai karya Pram bisa menjadi pembelajaran sejarah bangsa.
"Pemilihan Bumi Manusia (salah satu karya Pramoedya) jelas berdasar pada kriteria tujuan pembelajaran, antara lain untuk memahami sejarah kebangsaan. Selain itu, tentu ada pertimbangan bahwa karya Pramoedya memang sudah seharusnya diperkenalkan di bangku sekolah," kata Okky dilansir dari ANTARA, Selasa (20/5).
ADVERTISEMENT
Nantinya, buku-buku sastra yang direkomendasikan dibaca ini hanya sebagai panduan bagi guru, seingga tidak wajib semua buku digunakan atau bahkan guru dapat mencari karya sastra yang relevan dengan mata pelajaran.
Buku Pram yang direkomendasikan Kemendikbusristek ini pun menarik perhatian. Sebab, Pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru, pernah melarang karya Pram dalam peredaran. Bagi mereka yang nekat membaca, menjual ataupun sekadar menyimpan karya-karya Pramoedya Ananta Toer di masa Orba, akan dengan mudah jadi sasaran pemerintah untuk menjebloskannya ke penjara.
Pram bahkan sempat menjadi tahanan politik (tapol) dan diasingkan pemerintah Orba sejak tahun 1965 hingga 1979. Penahanan ini dilakukan, karena Pram dinilai dekat dengan orang-orang PKI dan mengagumi sosok Presiden Pertama RI, Sukarno.
ADVERTISEMENT
Pram juga pernah aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada tahun 1958. Lekra menjadi wadah para seniman hingga sastrawan yang hidup dalam masa Orba. Pembentukan Lekra sendiri merupakan inisiatif tokoh-tokoh pimpinan PKI, seperti D.N. Aidit, Njoto, A.S Dharta, M.S. Ashar, dan lainnya. Lekra pun sangat lekat dengan organisasi-organisasi PKI.
Pasukan Belanda di Sumatra, Indonesia membangun jembatan darurat selama operasi melawan pejuang Republik pro-kemerdekaan pada 4 Januari 1949. Foto: Keystone/Getty Images
Sebenarnya, ini bukan kali pertama Pram mendekam di penjara. Tahun 1947, setelah Indonesia Merdeka dan kolonial Belanda masih berada di tanah air, Pram sempat diseret ke balik jeruji. Ia kedapatan menyimpan dokumen bawah tanah untuk menentang Belanda.
Pram memang sudah aktif melakukan perlawanan terhadap pemeritah yang menindas. Bahkan, sebelum era kemerdekaan Indonesia, ia juga tergabung dalam prajurit berpangkat Letnan II Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
ADVERTISEMENT
Saat meletusnya gerakan 30 September 1965, Pram pun menjadi sasaran empuk pemerintah Orba dalam menumpas pemikiran-pemikiran komunisme pada saat itu. Cacian, makian hingga pukulan diterima Pram saat berhasil dipenjarakan. Ia mendekam di balik jeruji di Tangerang, Salemba, dan Cilacap.
Pramoedya Ananta Toer. Foto: AP Photo
Pram juga sempat diasingkan di Pulau Buru, Maluku. Selama pengasingan ini, Pram yang bersemangat dalam bidang sastra dan kesenian akhirnya mulai menulis buku-buku, seperti Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).
Setelah meninggalkan kamp Buru tahun 1979, buku-buku Pram yang berhasil diterbitkan di Indonesia dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung lewat surat larangan nomor SK-052/JA/5/1981. Di sisi lain, buku-buku Pram terbit di luar negeri dan bebas beredar. Bahkan, karya-karyanya diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing, seperti Inggris dan Belanda.
ADVERTISEMENT
Kini, buku-bukunya bisa dipelajari di sekolah-sekolah di Tanah Air.