Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
May Day atau Hari Buruh turut diperingati oleh ratusan buruh dan mahasiwa di Yogyakarta dengan turun ke jalan. Mereka melakukan long march dari Taman Parkir Abu Bakar Ali hingga ke Titik Nol KM Kota Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Mereka tampak membawa sejumlah spanduk dan sempat berorasi di depan DPRD Provinsi DIY, Rabu (1/5).
Feri Taupik Ridwan, salah seorang buruh sekaligus koordinator umum Aliansi Rakyat Untuk Satu Mei (ARUS), mengatakan tuntutan buruh selama ini masih tetap sama yaitu kesejahteraan. Menurut dia, Upah Minimum Provinsi (UMP) di Yogyakarta merupakan yang terendah di Indonesia.
“Hari ini kami buruh di Yogya bersama elemen masyarakat lain dan mahasiswa turun ke jalan menuntut kepada pemerintah khususnya pemerintah lokal DIY untuk menaikkan upah Yogya. Hari ini UMP Yogya adalah UMP terendah di Indonesia,” katanya.
Feri menilai UMP tersebut berkebalikan dengan gencarnya pembangunan di Yogyakarta. Menurutnya pembangunan infrastruktur tidak dibarengi dengan pembangunan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut bahwa berdasarkan penghitungan kebutuhan hidup layak (KHL) pada tahun 2016, upah layak di Yogyakarta minimal Rp 2,5 juta.
“KHL di Yogya itu mencapai 2,5 juta sementara UMP Kota Yogya hanya 1,7 juta sekian. Itu artinya buruh di Yogya harus hidup dalam kemiskinan KHL itu hanya menjamin kehidupan layak satu orang. Sementara buruh di Yogya rata-rata mereka sudah berkeluarga,” katanya.
Patut diketahui, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menentukan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2019 sebesar Rp 1.570.992,73. Angka tersebut meningkat dari tahun 2018 yang hanya Rp 1.457.154,15.
Penentuan besaran UMP sendiri berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2015.
Tak hanya soal UMP, buruh juga mengkritisi soal PP nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan yang dianggap tidak berpihak kepada buruh. Dengan peraturan tersebut diperkirakan pada 2025 upah buruh di Yogyakarta tidak akan mencapai Rp 3 juta dan tertinggal jauh dari Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Di Jakarta bisa sampai Rp 7-8 juta di tahun 2025,” katanya.
“Kami serukan ini adalah perjuangan warga Yogya. Warga Yogya warga istimewa tentu upahnya harus istimewa juga. Di mana letak keistimewaan Yogya kalau begitu? Apa hanya untuk orang-orang tertentu?” ujarnya.
Keprihatinan atas nasib buruh juga disampaikan oleh Gerakan Rakyat Untuk Satu Mei (GERUS). Gerakan tersebut berisi dari berbagai elemen dan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Tuntutannya sama, selama ini buruh tidak mendapatkan haknya secara utuh.
Krisna Bayu Utomo mahasiswa Manajemen Universitas Gadjah Mada (UGM), dia menyebut sistem kerja outsourcing yang marak dilakukan perusahaan telah mengurangi hak buruh terutama terkait tunjangan, jaminan sosial, dan keamanan kerja secara layak.
ADVERTISEMENT
“Status dan hak antara pekerja tetap dan kontrak berbeda. Konsekuensi dari ini buruh lebih berpotensi untuk mudah dipecat,” katanya.
Tak hanya soal upah, hak lain yang menjadi tuntutan adalah hak cuti hamil bagi buruh perempuan yang belum terlaksana sepenuhnya. Untuk itu sejumlah tuntutan pun disampaikan pada momen May Day ini.
“Hapuskan PP 78, hapuskan SEMA nomor 3 tahun 2018, cabut sistem kerja kontrak atau outsourching. Kemudian berikan perlindungan pada buruh sektor informal, penuhi hak buruh difabel, penuhi hak cuti hamil, haid,” katanya.