Organisasi Pro-Palestina Kecam DPR AS usai Sahkan RUU yang Larang Kritik Israel

2 Mei 2024 15:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah tenda pro-Palestina berdiri di halaman Universitas Columbia di New York, Senin, 22 April 2024.  Foto: AP Photo/Stefan Jeremiah
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah tenda pro-Palestina berdiri di halaman Universitas Columbia di New York, Senin, 22 April 2024. Foto: AP Photo/Stefan Jeremiah
ADVERTISEMENT
Beberapa kelompok dan individu pro-Palestina menolak Rancangan Undang-Undang kontroversial yang memperluas definisi anti-semitisme di Amerika Serikat. DPR AS telah mengesahkan RUU tersebut pada Rabu (1/5).
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Al Jazeera, Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) mengutuk keras DPR AS yang memberikan suara terbanyak untuk menyetujui RUU itu.
Organisasi ini menilai bahwa langkah tersebut mengabaikan rasisme anti-Palestina dan menyamakan kritik terhadap Israel dengan antisemitisme.
CAIR, sebagai organisasi advokasi dan hak-hak sipil Muslim terbesar di AS, mengecam tindakan Dewan Perwakilan Rakyat yang secara sepihak dan tidak jujur ​​mengesahkan proposal mengenai antisemitisme kampus.
Dalam voting yang berlangsung, DPR memberikan dukungan dengan perbandingan 320 berbanding 91 untuk Undang-Undang Kesadaran Antisemitisme (H.R. 6090).
Sebanyak 70 anggota Partai Demokrat menentang RUU tersebut, sementara 133 suara mendukungnya. Di pihak Partai Republik, hanya 21 orang yang memberikan suara menentang, dan 187 mendukungnya.
“Malam ini kami mengutuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS yang memilih untuk menyetujui proposal sepihak dan tidak jujur ​​tentang antisemitisme kampus yang mengabaikan rasisme anti-Palestina dan menyamakan kritik terhadap Israel dengan antisemitisme,” kata CAIR dalam sebuah postingan di media sosial.
ADVERTISEMENT
“Dorongan untuk mengadopsi tindakan ini dimotivasi oleh bias anti-Palestina yang bertujuan untuk membungkam suara mahasiswa muda yang mengadvokasi hak asasi manusia Palestina, terutama setelah invasi genosida Israel ke Gaza,” kata Robert S McCaw dari pihak CAIR, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Meskipun terdapat dukungan bipartisan, CAIR menilai RUU ini sebagai upaya yang menyesatkan dan bermotif politik, bukan langkah untuk memerangi antisemitisme, rasisme anti-Palestina, dan Islamofobia.
Direktur Departemen Urusan Pemerintah CAIR, Robert S. McCaw, menekankan bahwa definisi IHRA yang diusulkan terlalu luas dan dapat meredam kritik terhadap pemerintah Israel, kebijakan mereka, dan perlakuan terhadap rakyat Palestina
CAIR menyerukan kepada Senat AS untuk menolak RUU ini agar dapat melindungi hak kebebasan berpendapat para mahasiswa pengunjuk rasa.
Protes pro-Palestina menyebar ke lebih banyak kampus di Amerika Serikat pada tanggal 25 April 2024. Foto: Frederic J. BROWN / AFP
Organisasi ini mendesak kongres untuk memprioritaskan dukungan terhadap gencatan senjata permanen di Gaza dan menangani akar penyebab konflik di wilayah ini, termasuk pendudukan Israel dan kebijakan apartheid di wilayah Palestina yang diduduki.
ADVERTISEMENT
CAIR juga menyoroti pernyataan dari para anggota Kongres, termasuk anggota Pangkat Komite Kehakiman, Jerrold Nadler.
Nadler menunjukkan keprihatinannya terhadap potensi dampak RUU kepada kebebasan berpendapat yang dilindungi konstitusi.
Anggota DPR AS Thomas Massie juga turut menyuarakan keberatannya terhadap RUU tersebut.
“Ini adalah rancangan undang-undang inkonstitusional yang disusun dengan buruk dan saya akan memilih tidak mendukung,” tulis Massie di X.
Semua anggota DPR diimbau untuk mempertimbangkan dengan matang implikasi dari pengesahan definisi anti-semitisme yang kontroversial ini.
Aksi unjuk rasa bela Palestina oleh mahasiswa dan mahasiswi di Universitas Texas, Amerika, Rabu (24/4/2024). Foto: Nuri Vallbona/REUTERS
Selain CAIR, sejumlah organisasi hak asasi manusia internasional juga telah mengutuk tindakan pemerintah Israel sebagai pelanggaran hukum hak asasi manusia dan tindakan apartheid.
American Civil Liberties Union (ACLU)
ACLU mengkritik RUU ini karena mereka percaya bahwa undang-undang yang dimaksud dapat digunakan untuk membatasi kebebasan berbicara dan berpendapat tentang Israel dan Palestina. Mereka menyoroti bahwa melindungi hak berbicara adalah kunci dalam demokrasi, bahkan ketika subjeknya kontroversial.
ADVERTISEMENT
Jewish Voice for Peace (JVP)
JVP adalah sebuah organisasi Yahudi yang mempromosikan perdamaian, keadilan, dan hak asasi manusia di Israel-Palestina. Mereka menentang RUU tersebut karena menganggapnya sebagai upaya untuk membatasi kritik terhadap Israel dan menekan aktivis pro-Palestina.
JVP percaya bahwa RUU ini dapat digunakan untuk mengkriminalisasi aktivitas advokasi yang sah dan mengekspresikan pandangan politik.
Students for Justice in Palestine (SJP)
SJP merupakan jaringan mahasiswa di AS yang bekerja untuk mendukung hak rakyat Palestina dan menentang pendudukan Israel. Mereka mengecam RUU tersebut karena percaya bahwa definisi anti-semitisme yang diperluas dapat menutup ruang bagi kritik yang sah terhadap kebijakan Israel, termasuk di lingkungan pendidikan.
Orang-orang berdemonstrasi untuk mendukung warga Palestina di Gaza, selama protes di dekat Makan Malam tahunan Asosiasi Koresponden Gedung Putih (WHCA) di Washington, AS, 27 April 2024. Foto: REUTERS/Nathan Howard
Apa itu anti-semitisme?
RUU ini mengadopsi definisi anti-Semitisme yang telah disusun oleh Aliansi Pengenangan Holocaust Internasional (IHRA).
ADVERTISEMENT
Menurut IHRA, anti-Semitisme adalah persepsi tertentu terhadap orang Yahudi yang dapat berupa kebencian terhadap mereka. Ini mencakup manifestasi retoris dan fisik yang ditujukan kepada individu Yahudi atau non-Yahudi, termasuk properti mereka, institusi komunitas Yahudi, dan fasilitas keagamaan.
Definisi ini juga menyertakan penargetan terhadap negara Israel, yang dipahami sebagai kolektivitas Yahudi.
Namun, IHRA menekankan bahwa kritik terhadap Israel yang setara dengan kritik terhadap negara lain tidak dianggap sebagai anti-Semitisme.
RUU tersebut juga melarang perbandingan apa pun antara kebijakan Israel kontemporer dan kebijakan Nazi.
Meskipun RUU ini dibentuk untuk melawan diskriminasi terhadap komunitas Yahudi, beberapa pihak menyuarakan kekhawatiran bahwa definisi yang lebih luas ini dapat membatasi kebebasan berbicara terkait kebijakan Israel dan mempengaruhi aktivisme pro-Palestina.
ADVERTISEMENT
RUU tersebut menuai perdebatan dan keprihatinan dari berbagai kelompok di Amerika Serikat, menyoroti kompleksitas definisi anti-semitisme dalam konteks politik dan hak asasi manusia.