Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Bagi para pakar hukum, pernyataan Jokowi akan menguatkan KPK hanya kamuflase. Mengelabui kenyataan.
Mengenakan kostum kemeja putih yang telah menjadi ciri khasnya, Presiden Joko Widodo mengadakan jumpa pers di Istana Negara pada Jumat, 13 September. Ia ingin menyampaikan secara langsung pandangannya terkait nasib KPK.
“Kita tahu Undang-Undang KPK telah berusia 17 tahun. Perlu adanya penyempurnaan secara terbatas sehingga pemberantasan korupsi bisa makin efektif. Sekali lagi, kita jaga agar KPK tetap lebih kuat dibandingkan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi,” begitulah bunyi pernyataannya.
Tapi kata-kata tersebut, bagi para pegiat antikorupsi, berbeda rupa dengan kenyataan yang ada. Sebab, dua keputusan Jokowi sebelumnya menyangkut nasib KPK tak bisa dibilang sebagai upaya penguatan komisi antikorupsi tersebut.
Pertama, Jokowi menyetujui dan menyerahkan daftar nama calon pimpinan KPK periode 2019-2023 ke DPR hanya dalam waktu dua hari setelah ia menerimanya dari panitia seleksi capim KPK. Padahal sebagian dari nama-nama tersebut dinilai bermasalah secara etik.
Kedua, meski sempat mengatakan masih akan mengkaji revisi UU KPK, nyatanya Jokowi meneken Surat Presiden untuk menyetujui pembahasan RUU KPK di DPR di sore harinya. Padahal ia mempunyai waktu 60 hari untuk mempelajarinya dan DPR tak perlu buru-buru membahasnya.
Tak heran jika anggota Tim Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menyatakan bahwa pernyataan Jokowi hanyalah kamuflase. Artinya, perubahan bentuk, rupa, sikap, warna, dan sebagainya menjadi lain agar tidak dikenali; penyamaran; pengelabuan.
“Dengan bahasa memperkuat tapi faktanya jika dibaca undang-undang (revisi) dan lainnya, jelas itu mematikan KPK,” kata Feri saat berbincang dengan kumparan, pada Sabtu (14/9).
Apalagi dalam revisi tersebut, KPK selaku subjek berkepentingan dan objek pembahasan berkata tak dilibatkan sama sekali. “Yang sangat kami prihatinkan dan sangat mencemaskan adalah mengenai RUU KPK. Karena sampai hari ini kami draft yang sebenarnya aja tidak mengetahui,” ucap Ketua KPK Agus Rahardjo dalam konferensi persnya di KPK pada hari yang sama dengan konferensi pers di Istana Negara.
Rentetan kejadian yang terkesan tertutup dan tergesa terkait KPK ini jelas melahirkan banyak tanya, kecewa, dan curiga. Mengapa pemerintah dan DPR ngebut untuk merevisi aturan tentang komisi antikorupsi? Bagaimana seharusnya tahapan dalam revisi undang-undang tersebut? Apakah ada kegentingan untuk segera mengubah UU KPK? Apa dampaknya jika poin-poin revisi UU KPK disetujui?
Berikut hasil perbincangan singkat kami bersama Feri Amsari.
Pimpinan KPK menyebut tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan revisi UU KPK. Bagaimana aturannya?
Di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 (tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), DPR membahas bersama presiden dengan mengundang pihak-pihak terkait dengan UU itu. Aneh memang kalau pembahasan UU KPK tanpa melibatkan KPK karena untuk melakukan kewenangan perubahan UU itu tetap berada di tangan DPR dan Presiden.
Jadi sebenarnya memang dari awal DPR dan pemerintah tidak mentaati prosedur undang-undang yang ada. Mulai dari menerapkan ketentutan bahwa yang dibahas itu harusnya RUU (rancangan undang-undang) yang masuk di dalam prolegnas prioritas dan membuka ruang yang tegas untuk masukan dari masyarakat.
Meskipun masuk dalam Prolegnas 2015-2019, revisi UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019. Salah satu peraturan yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019 adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang justru malah terkatung-terkatung.
Dalam pernyataannya Jokowi menyatakan revisi terbatas. Apakah itu cukup mengantisipasi kemungkinan perubahan UU KPK yang lebih luas?
Tidak mungkin ada upaya pembahasan di luar DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) yang sudah ditentukan secara politis. Apalagi pemerintah sudah menyerahkan pembahasan kepada satu menteri yang berasal dari partai politik PDIP (Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly) dan kedua menteri yang berasal dari kepolisian (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin). Arahnya sudah jelas bahwa ini akan sangat menguntungkan pihak-pihak tertentu karena berasal dari pihak-pihak berseberangan dengan KPK.
Dalam keterangannya, Jokowi hanya menyetujui tiga perubahan yakni status ASN untuk pegawai KPK, pembentukan dewan pengawas, dan mekanisme penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK dengan jangka waktu penyidikan maksimal dua tahun.
Sementara persoalan izin eksternal untuk penyadapan, penyelidik dan penyidik harus dari unsur Polri, dan pengelolaan LHKPN oleh lembaga lain di luar KPK, tak disetujui Jokowi.
Bagaimana dampak dua poin terkait dewan pengawas dan status pegawai KPK sebagai ASN bagi pelaksanaan kinerja KPK di masa mendatang?
KPK itu kalau diperhatikan sebenarnya sudah banyak sekali pengawasnya. Ada penasihat KPK yang ditentukan undang-undang lalu ada pengawas internal yang diberlakukan untuk pegawai. Jika kemudian berlaku usulan Presiden, akan ada dewan pengawas yang ditentukan, artinya tangan Presiden juga bermain di sana.
Ada tangan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi kalau kemudian status pegawai menjadi ASN. Ada Komisi Aparatur Sipil Negara kalau misal pegawai menjadi ASN. Itu sudah banyak sekali pengawasan.
Nah, status ASN sendiri itu merupakan permasalahan serius. Karena di dalam teori hukum tata negara, untuk pegawai lembaga berintegritas, status mereka memang khusus karena ada konsekuensi soal gaji. Kalau gaji mereka cuma misal Rp 5-10 juta, maka itu akan berat sekali. Mereka menangani perkara ratusan miliar hingga triliunan, karena itu akan membuat mereka mudah melakukan penyimpangan kekuasaan.
Jika menjadi ASN, penyelidik dan penyidik KPK akan berkoordinasi dan disupervisi dengan Polri. Bagaimana dampaknya?
Pasti disupervisi sama Polri. Kewenangannya sama KemenpanRB. Semuanya akan sulit juga menjadi pegawai ASN langsung. Karena kan status pegawai itu ada aturan yang berbeda. Mereka kemungkinan menjadi P3K ya, pegawai kontrak, yang ada dalam UU ASN.
Itu akan lebih mempersulit karena tidak ada pensiunan di situ. Jadi status mereka pasti akan sangat rumit kalau menggunakan aturan yang ada di UU ASN. Ini berat sekali cara Jokowi mengendalikan KPK itu, jadi punya banyak tangan.
Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, penyidik Pegawai Negeri Sipil akan berstatus sebagai PPNS. Pejabat PPNS diangkat oleh Menkumham dan diawasi serta dibina oleh Polri. PPNS juga bertanggung jawab kepada Pimpinan Kementerian/Lembaga/Daerah tempat PNS tersebut bernaung
Pidato Jokowi soal KPK kemarin dianggap menyesatkan…
Bagi saya bukan hanya menyesatkan, lebih kepada kamuflase. Dengan bahasa memperkuat tapi faktanya jika dibaca undang-undang (revisi) dan lainnya, jelas itu mematikan KPK.
Salah satu alasan revisi UU KPK ini karena ada putusan MK terkait kedudukan KPK. Konsekuensinya seperti apa?
Satu, memang ada problematika dua putusan MK (Mahkamah Konstitusi). Satu menyatakan yudikatif, satunya lagi menyatakan sebagai lembaga eksekutif dalam hak angket. Dua putusan ini satu yang terakhir tidak memahami konsep lembaga independen, atau lembaga berintegritas. Gagasannya masih pakai teori tahun 1700-an, padahal sekarang pembagian tata negara itu menurut teori yang lebih baru itu bisa lima, salah satunya lembaga berintegritas.
Nah konsekuensinya (putusan MK) juga apa, ya luas. Dengan status di bawah presiden (lembaga eksekutif) tentu akan mempersulit KPK menyentuh kasus-kasus yang berkaitan dengan presiden, MempanRB, dan lain-lain karena ada relasi kekuasaan di sana. Makanya bermasalah dari awal karena itu dimanfaatkan sekarang oleh DPR dan pemerintah untuk mengendalikan lembaga antirasuah ini.
Jadi enggak tepat mereka memang dikatakan eksekutif, karena mereka harusnya tidak bekerja di bawah presiden.
Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan sebagai lembaga yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif).
Sementara pada putusan MK No. 36/PUU-XV/2017, KPK malah ditempatkan sebagai lembaga eksekutif khusus yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi, sehingga bisa menjadi objek hak angket DPR.
Artinya, revisi terbatas ini tetap akan melemahkan KPK?
Iya. Bahkan kalau diperhatikan dengan seksama ya, yang disampaikan Presiden itu hanya upaya harmonisasi dari usulan DPR. Misalnya terminologi PNS diganti sesuai dengan UU kekinian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Tapi pada intinya sama dengan usul DPR, tujuannya sangat memperlemah lembaga independen. Membuat KPK berada di bawah ketiak presiden, di bawah kendali presiden yang kemudian menghilangkan sikap independensinya.
Pembahasan ini sudah bergulir di DPR, apakah masih mungkin dihentikan? Mekanismenya seperti apa?
Mekanismenya untuk memberhentikan ya Presiden bisa tarik itu surpres-nya (surat presiden-red), menarik orang-orangnya, dan menyatakan tidak setuju dilakukan pembahasan. Jadi sebenarnya Presiden masih sangat punya ruang untuk menghentikan ini semua karena kekuasaan Presiden membentuk UU dibandingkan DPR itu jauh lebih luas. Presiden itu dari mengusulkan hingga pengundangan. Kalau DPR, hanya dari usulan, pembahasan, kemudian menyepakati bersama. Sedangkan kalau presiden sampai nanti, sampai diberi nomor (UU) itu.
Itu artinya nasib KPK sekarang berada di tangan Presiden Jokowi?
Kalau Presiden (Jokowi) tidak menginginkan pelemahan KPK, dengan mudah itu dilakukan. Bahkan kalau kemudian Presiden ingin menerima, menampung respons publik dengan tidak melakukan perubahan, ya bisa juga terjadi.