Pangdam Jaya Usul Pembubaran FPI, Bagaimana Mekanisme Menurut UU Ormas?

21 November 2020 19:45 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Demo FPI di depan kantor Facebook Foto: Yuana Fatwalloh/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Demo FPI di depan kantor Facebook Foto: Yuana Fatwalloh/kumparan
ADVERTISEMENT
Pernyataan keras Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurrachman, terhadap Front Pembela Islam (FPI) menuai ragam reaksi dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dudung mengancam pembubaran FPI yang dipimpin Habib Rizieq Syihab. Dudung menilai FPI saat ini sudah merasa paling benar. Ia mencontohkan kasus pemasangan baliho Habib Rizieq yang tidak mematuhi aturan Pemprov DKI Jakarta.
"Jangan seenaknya sendiri, seakan-akan dia paling benar, enggak ada itu. Jangan coba-coba pokoknya. Kalau perlu FPI bubarkan saja itu, bubarkan saja. Kalau coba-coba dengan TNI, mari," ujar Dudung usai apel pasukan di Monas, Jakarta, pada Jumat (20/11).
Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrachman kunjungi Yonzikon 11 di Matraman, Jakarta Timur. Foto: TNI AD
Lantas bagaimana mekanisme pembubaran ormas seperti FPI mengacu UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan?
Berdasarkan UU 16/2017, aturan pembubaran ormas tercantum dalam Pasal 80A. Ormas dinyatakan bubar ketika surat keterangan terdaftar (SKT) di Kemendagri atau status badan hukum di Kemenkumham dicabut.
ADVERTISEMENT
Berikut bunyi Pasal 80A UU Ormas:
Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
Pasal 61 ayat (1) huruf c merujuk pada penjatuhan sanksi administratif terhadap ormas berupa pencabutan SKT atau status badan hukum. Begitu pula bunyi Pasal 61 ayat (3) huruf f, bedanya hanya terhadap ormas yang didirikan WNA.
Adapun berdasarkan Pasal 60, penjatuhan sanksi administratif berupa peringatan hingga pencabutan SKT atau status badan hukum dan pidana dilakukan jika ormas melanggar beberapa ketentuan di Pasal 20, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 59 ayat (1), (2), (3), dan (4).
Massa dari aliansi ormas muslim membawa poster Presiden Prancis Emmanuel Macron saat demo di kawasan Kedubes Prancis, Jakarta, Rabu (4/11). Foto: Indrianto Eko Suwarso/Antara Foto
Berikut bunyi Pasal 20:
ADVERTISEMENT
Ormas berkewajiban:
a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat;
e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan
f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.
Pasal 51:
Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) berkewajiban:
a. menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. tunduk dan patuh pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 52
Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dilarang:
ADVERTISEMENT
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengganggu kestabilan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. melakukan kegiatan intelijen;
d. melakukan kegiatan politik;
e. melakukan kegiatan yang mengganggu hubungan diplomatik;
f. melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan organisasi;
g. menggalang dana dari masyarakat Indonesia; dan
h. menggunakan sarana dan prasarana instansi atau lembaga pemerintahan.
Pasal 59:
Ayat (1) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;
b. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera Ormas; dan/atau
c. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik.
ADVERTISEMENT
Ayat (2) Ormas dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan / atau
b. mengumpulkan dana untuk partai politik.
Ayat (3) Ormas dilarang:
a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau
d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
ADVERTISEMENT
b. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
c. menganut, mengembangkan, serta. menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Adapun ormas yang dinilai melanggar dan keberatan atas pembubaran, bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kasus seperti ini pernah dialami Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Markas HTI di Tebet Foto: Anggi Dwiky/kumparan
Ketika itu, Menkumham Yasonna Laoly mencabut status badan hukum HTI di Kemenkumham pada 19 Juli 2017. Tak terima, HTI mengajukan gugatan ke PTUN hingga Mahkamah Agung (MA). Namun seluruh upaya hukum kandas, HTI tetap dinyatakan sebagai ormas terlarang.
Pembubaran ini berbeda ketimbang UU Ormas sebelumnya, UU Nomor 17 Tahun 2013, yang mewajibkan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu sebelum membubarkan ormas.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU Ormas yang baru tetap konstitusional dan tidak menghilangkan peran pengadilan.
MK menyatakan perbedaannya UU 17/2013 dan UU 16/2017 hanya pada letak peran pengadilan. MK menyebut UU 17/2013 menempatkan peran pengadilan di awal. Sedangkan UU 16/2017 menempatkan peran pengadilan di bagian akhir.
Seorang anggota Front Pembela Islam (FPI) menghadiri protes anti Israel di luar kedutaan besar AS di Jakarta pada 31 Desember 2008. Foto: AFP/ADEK BERRY
Adapun dalam kasus FPI, statusnya sudah tidak terdaftar sejak Juni 2019. Sebab permohonan FPI memperpanjang SKT belum mendapat lampu hijau dari Kemendagri.
Meski demikian, kuasa hukum FPI, Aziz Yanuar, menyatakan ada atau tidaknya SKT dari Kemendagri tidak berpengaruh.
"FPI enggak peduli. Mau diterbitkan atau tidak diterbitkan SKT, toh bagi FPI tidak ada manfaat sedikit pun. Tanpa SKT pun FPI tetap akan menjadi pembela agama dan pelayan umat," ujar Aziz.
ADVERTISEMENT
Aziz menyebut, sebuah ormas tidak wajib mendaftar ke Kemendagri. Menurut dia, adanya izin FPI dan mendapat SKT hanya mendapat manfaat berupa anggaran dari negara.
"Pendaftaran demi mendapatkan SKT hanya untuk akses mendapatkan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. FPI selama ini mandiri secara dana, tidak pernah minta dana APBN," kata Aziz.
Aziz menegaskan FPI sudah menunjukkan itikad baik dengan mendaftarkan diri ke pemerintah meski tidak diwajibkan. Ia juga menyebut, FPI tak pernah memanfaatkan SKT itu.
"FPI sudah membuktikan diri dengan 'berbaik hati' mendaftarkan diri ke pemerintah selama 20 tahun terakhir meski tidak ada kewajiban mendaftarkan diri. FPI tidak pernah memanfaatkan SKT tersebut," ucapnya.
ADVERTISEMENT