Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pantaskah Chairil Anwar Jadi Pahlawan Nasional?
13 April 2017 10:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Chairil Anwar diusulkan menjadi pahlawan nasional. Penyair legendaris Indonesia dari Angkatan ‘45 itu dinilai telah menyumbangkan berbagai karya monumental, dan oleh sebab itu pantas menerima gelar kehormatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Untuk tujuan ini, Gus tf Sakai bersama rekan-rekan sastrawan Sumatera Barat-nya mendirikan Forum Inisiator Pengusulan Chairil Anwar menjadi Pahlawan Nasional. Forum ini dibentuk untuk memastikan ide menjadikan Chairil sebagai pahlawan nasional tak terhenti wacana belaka.
“Ini bukanlah wacana muluk-muluk, kami serius soal ini,” kata Gus tf seperti dilansir Antara belum lama ini.
Baginya, rentetan karya Chairil tak boleh terhenti di buku kumpulan puisi, dan penempatannya sebagai contoh sastrawan tak mesti mandek di buku pelajaran sekolah-sekolah Indonesia.
Chairil, menurut Gus tf, butuh pengakuan lebih dari sekadar cetak ulang buku. Memberikan status pahlawan nasional adalah salah satunya.
ADVERTISEMENT
“Jika WR Supratman dinobatkan lewat lagu Indonesia Raya, maka Chairil Anwar juga berjuang lewat karya-karya puisinya yang monumental,” kata dia.
Logika Supratman-menjadi-pahlawan-karena-sebuah-lagu dipergunakannya pada Chairil --yang menurutnya juga telah berjuang keras lewat puisi-puisinya.
Namun ternyata tak hanya itu. Gus tf menganggap, kehidupan personal Chairil di masa-masa perjuangan kemerdekaan juga patut menjadi pertimbangan untuk menjadikannya pahlawan nasional.
“Selain karena karya-karyanya, Chairil juga punya hubungan yang erat dengan pejuang sekelas Sutan Syahrir, Sukarni dan Chaerul Saleh,” katanya.
Memang, kehidupan Chairil di tahun-tahun 1940-an dekat dengan beberapa tokoh politik nasional. Ketika berada di Jakarta, Chairil tinggal bersama Syahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil adalah keponakan Syahrir, membuatnya mau-tak mau terlibat dalam pergolakan perjuangan kemerdekaan saat ia menumpang di rumah Chairil selama masa awal berada di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Chairil sempat terlibat momen-momen genting dan penting dalam proses terciptanya kemerdekaan Indonesia.
Mengutip majalah Tempo edisi 21 Agustus 2016, Chairil sempat menjadi tokoh penting pada momen lepasnya Indonesia dari cengkeraman Jepang.
Chairil menjadi kurir Syahrir yang mengabarkan kekalahan Jepang dari tentara Sekutu kepada Subadio Sastrasatomo, juru runding andalan Indonesia. Subadio, yang saat itu berada di Kantor Komisi Bahasa Indonesia, melanjutkan informasi tersebut ke kelompok pemuda dan teman-teman seperjuangan.
Chairil yang berada di Jakarta sejak 1940 otomatis terlibat dalam pergolakan semangat para revolusioner Jakarta. Sayang, banyak karyanya yang tak terarsip dengan baik dan hilang di tengah ribut perjuangan kemerdekaan.
Ini tak berhenti usai Indonesia merdeka. Kontinu digempur kegelisahan agresi militer susulan, Chairil menyuarakan keresahan sekaligus ketidakpastian zaman. Ini diutarakannya dalam puisi nasionalis berjudul “Persetujuan dengan Bung Karno” yang ditulisnya pada 1948.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, puisi “Krawang-Bekasi” (1948) juga menunjukkan sisi nasionalisnya yang tak kalah menderu-sayat dibanding puisi-puisi kematian, individualis, hingga yang bertema eksistensialis.
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Namun apa betul sajak-sajak penuh gelora perjuangan itu layak menjadikannya seorang pahlawan nasional?
Bisa iya, bisa juga tidak.
Namun, baiknya menempatkan ikan pada kolam, badak pada kubangan, dan perkutut pada sangkarnya. Sederhananya, sepak terjang Chairil tak boleh dilihat dari keberlangsungan deru-debu mitraliur di peperangan.
ADVERTISEMENT
Chairil pun ternyata punya peran sentral dalam pemantapan bentuk awal Bahasa Indonesia. Menurut A. Teeuw, profesor ahli kesusasteraan Indonesia, sumbangan terbesar Chairil bagi bangsa ini adalah keberhasilannya meyakinkan bahwa Bahasa Indonesia yang masih muda di zamannya betul-betul bisa dieksplorasi dan punya potensi menjadi bahasa nasional yang utuh paripurna.
Pada tahun-tahun Chairil berkarya, Bahasa Indonesia masih berkelindan dengan berbagai bahasa daerah penggunanya. Belum lagi dengan banyaknya perubahan ejaan yang dilakukan otoritas berwenang saat itu, yang membuat masyarakat Indonesia sendiri kesulitan dalam pemakaiannya.
Keadaan tersebut dilawan Chairil yang terus memakai Bahasa Indonesia dengan lantang di lapangan susastra. Ia --meminjam kata-kata A Teeuw dari Tempo edisi khusus Chairil Anwar-- “mematangkan bahasa Indonesia yang belum matang dan belum cukup digerakkan.”
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tak mudah dilakukan. Asrul Sani, salah satu sahabat Chairil yang turut menerbitkan buku kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir, mengatakan bahwa Chairil punya rasa bahasa yang kuat dalam memberi makna pada kosakata baru bahasa Indonesia.
Chairil disebutnya sangat profesional, dari teknik penulisan hingga keberaniannya lepas dari kungkungan tata bahasa yang saat itu belum berkembang jauh.
“Jadi, kalau perlu, dia bengkokkan bahasa itu untuk menjelaskan apa yang ingin dia utarakan,” ucap Asrul.
Chairil sendiri yakin pada perjuangannya memercayai Bahasa Indonesia. Meski baru, Bahasa Indonesia menjadi pengharapan Chairil. Ia percaya bahasa itu jadi satu-satunya medium yang mungkin mempersatukan masyarakat negara muda Indonesia yang begitu majemuk.
Dikutip dari majalah Pembangoenan, Desember 1945, Chairil menyatakannya dengan lantang:
ADVERTISEMENT
“Sekarang: Hoppla! Lompatan yang sejauhnya penuh kedara-remajaan bagi negara remaja ini. Sesudah masa mendurhaka pada Kata, kita lupa bahwa Kata adalah yang menjalar, mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, mimpi, pengharapan, cinta dan dendam manusia. Kata ialah kebenaran!”
Jadi, sudah pantaskah Chairil menjadi pahlawan? Atau, lebih lanjut, mengetahui Chairil yang tak pernah sabar dan tunduk pada garis kemapanan, mungkinkah laki-laki yang mati pada umur 27 itu akan menerima usulan gelar pahlawan nasional buat dirinya sendiri?
ADVERTISEMENT
Bisa iya, bisa juga tidak.