Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Ribuan orang yang menyebut diri ulama muda berdesakan di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor. Samawi , ujar mereka memperkenalkan diri. Solidaritas Ulama Muda Jokowi.
ADVERTISEMENT
Jelas, maksud mereka mengumpulkan diri merapatkan barisan adalah agar Presiden Joko Widodo bisa berkuasa dua periode.
“Alasan kami rasional dan objektif. Presiden Jokowi sudah terbukti melakukan kerja-kerja nyata untuk kemajuan Islam, baik di Indonesia maupun dunia,” ujar salah satu pendirinya, Ahmad Nawawi, di depan ribuan hadirin SICC, Selasa (10/7).
Jokowi senyum-senyum saja di barisan kursi tamu kehormatan. Setelah berbasa-basi terima kasih dan sebelum beramah-tamah menghafal Pancasila serta membagi-bagi sepeda, Jokowi menyelipkan pesan utama buat para alim ulama:
“Dalam pilih pemimpin, sampaikan kepada teman dilihat rekam jejak seperti apa, track record-nya, prestasinya, kinerjanya. Jangan sampai masyarakat mudah dihasut. Jangan diberi kabar tidak betul, fakta tidak betul.”
Jokowi tentu bungah menerima sanjungan para alim ulama. Dan Samawi hanyalah kelompok kiai-santri kesekian yang bergiliran mendukung Jokowi. Sebelumnya sudah ada sederetan pondok pesantren, kiai, juga kelompok jamaah dengan nama tak kalah mentereng yang menyatakan dukungan padanya.
ADVERTISEMENT
Misalnya: dukungan Forum Ulama Republik Indonesia pada Juni 2018, Muslimat NU yang jadi motor kemenangan Khofifah, puluhan ulama di Jawa Tengah , sampai 500 tuan guru di Nusa Tenggara Barat yang kesemuanya menginginkan Jokowi tetap jadi pemimpin politik mereka enam tahun ke depan.
Tentu saja, yang paling mutakhir adalah dukungan Muhammad Zainul Majdi, seorang tuan guru dari NTB yang tenar di panggung politik nasional lewat panggilan TGB (Tuan Guru Bajang). TGB adalah cucu seorang hadratus syekh, KH Muhammad Zainuddin, pesohor NTB yang mendirikan ormas keagamaan paling tua, paling disegani, dan paling populer di NTB: Nahdlatul Wathan.
Itu belum semuanya. TGB juga Gubernur NTB. Ia telah menjabat selama dua periode, sejak 2008 hingga akhir periode kedua tahun ini. Luar-dalam suara NTB jelas ia kuasai.
ADVERTISEMENT
Maka, ketika 2014 ia memegang posisi sebagai Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta di NTB, tak heran NTB jadi salah satu provinsi tempat pasangan Jokowi-JK keok. Prabowo-Hatta tepuk dada dengan 72,45 persen suara.
Keadaan kini berubah. Awal Juli, TGB terang-terangan mendukung Jokowi dua periode. Polemik menyusul. Demokrat yang belum menjatuhkan pilihan pada salah satu poros pilpres sewot salah seorang kader terbaiknya mendukung Jokowi tanpa ada komunikasi.
TGB bergeming. Ia menyebut tak perlu berkomunikasi ke partai terlebih dahulu. Ia bersikukuh sikapnya adalah hak pribadi dengan landasan kuat dan sudah ia buat sejak beberapa waktu sebelumnya.
“Saya ingin menghilangkan anggapan bahwa Presiden Jokowi adalah presiden yang tidak ramah kepada umat. Saya ingin sampaikan pesan bahwa tidak ada alasan terhadap stigma itu,” kata TGB saat berbincang dengan kumparan, Jumat (13/7).
Dukungan TGB jadi modal besar buat Jokowi menyongsong 2019. TGB, selain selaku petinggi Nahdlatul Wathan yang akan (hampir) otomatis mengamankan suara NTB buat Jokowi, juga dikenal sebagai ulama pendukung gerakan 212 yang moncer di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Namun, gara-gara dukungannya ke Jokowi, TGB dicoret dari bursa capres usungan Persaudaraan Alumni 212. Novel Bamukmin, Juru Bicara PA 212, menyebut TGB telah masuk perangkap rezim Jokowi dengan pembangunan infrastruktur sebagai iming-imingnya. “Penguasa seperti Firaun juga membangun,” katanya.
Di sisi lain, polemik-polemik tersebut kabar baik buat Jokowi. Bachtiar Nasir, mantan ketua Gerakan Nasional Pembela Fatwa Ulama (GNPF Ulama), punya kekhawatiran tersendiri terhadap ekses pecahnya suara umat akibat menyeberangnya TGB.
“Pak Zainul (TGB) ini punya massanya sendiri, punya jaringan politiknya sendiri. Otomatis orang-orang yang loyal bersama Pak Zainul bisa tetap bersama beliau,” kata Bachtiar.
Kunto Adi setuju dengan kemungkinan tersebut. Direktur Penelitian Lembaga Survei KedaiKOPI itu menilai beralihnya TGB ke kubu Jokowi akan sangat mungkin memecah suara kelompok Islam oposisi.
ADVERTISEMENT
“(Kelompok) yang lebih moderat, yang di tengah-tengah, bisa terbawa sama TGB,” ujarnya kepada kumparan, Rabu (11/7).
Dukungan kelompok-kelompok ulama pada Jokowi tak tercipta dalam ruang hampa. Sebagai orang nomor satu republik, Jokowi terbilang getol mendekati elemen masyarakat satu ini sejak awal masa pemerintahannya.
Apabila ditilik lebih jauh ke belakang, kewaspadaan Jokowi merebut hati kelompok muslim tradisional itu sudah dimulai sejak ia berkampanye di pertengahan 2014. Saat berkunjung ke Ponpes Babussalam, Malang, Jawa Timur, Jokowi berjanji menjadikan tanggal 1 Muharam tiap tahunnya sebagai Hari Santri Nasional.
Janji itu baru ditepati secara formal setahun setelahnya, meski sedikit berbeda dengan yang ia rencanakan sebelum menjadi presiden. Hari Santri ia resmikan diperingati setiap tanggal 22 Oktober. Kebetulan, peringatan pertama Hari Santri ia rayakan di Cilegon, Banten , satu dari 10 provinsi yang mengunggulkan Prabowo Subianto ketimbang dirinya pada Pilpres 2014.
ADVERTISEMENT
Sejak dilantik pada 2014 sampai Mei 2018, Jokowi telah sowan ke lebih dari 60 pesantren di Indonesia. Jokowi sendiri menyatakan bahwa kunjungan ke dua sampai tiga pesantren setiap kali ia bertolak ke daerah-daerah, adalah hal wajib.
Jokowi punya alasan kuat untuk melakukan safari pesantren. Menurut survei KedaiKOPI yang dirilis awal Juni, publik menilai sosoknya memiliki dua kelemahan dari sisi religiusitas dan ketegasan.
“Jadi bila Pak Jokowi memandang perlunya figur santri sebagai cawapres, memang tepat. Itulah yang dibutuhkan Jokowi," ujar Kunto.
Namun, masalah religiusitas dalam prospek pencalonan Jokowi di Pilpres 2019 tak akan selesai hanya dengan sosok pendamping yang lebih ‘nyantri’.
Seperti halnya pada Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, Kunto menilai Pilpres 2019 akan dipenuhi kampanye hitam SARA. “Lawan politik Jokowi memainkan politik agama.”
ADVERTISEMENT
Jokowi bukannya tak menyadari problem besar ini. Malahan, kerap diserang soal agama jadi salah satu alasan ia menciptakan pos Staf Khusus Keagamaan Urusan Pondok Pesantren. Pos itu diisi oleh Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah PBNU Abdul Ghaffar Rozin yang akrab disapa Gus Rozin.
Menurut pengakuan Gus Rozin, posisi staf khusus punya tiga tugas utama. Dua di antaranya adalah “memberikan masukan yang berkaitan dengan keagamaan” kepada presiden dan “merajut potensi ekonomi di pesantren-pesantren”. Satu lagi, ujarnya, adalah untuk “menjembatani komunikasi presiden dengan ulama”.
“Selama ini kan masih banyak ulama yang menerima informasi tidak bisa dipercaya, yang tidak akurat soal keberagamaan presiden,” jelas Gus Rozin. “Itu cukup mengganggu lama-lama. Bukan untuk Pak Jokowi saja, tetapi dalam konteks kita sebagai bangsa.”
Kehadiran Samawi punya tujuan hampir sama dengan tugas Gus Rozin sebagai staf khusus. Selain memenangkan Jokowi, perhatian khusus Samawi adalah untuk meluruskan kabar-kabar tak sedap yang menimpa Jokowi di kalangan umat Islam Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Saya pernah konsolidasi menemui para tuan guru sepuh di Lombok sampai Sumbawa. Memang ekses dari Pemilu 2014 itu masih terasa. Misalnya, yang sudah dijelaskan, tentang Jokowi dituduh PKI,” ujar LR Zulkarnain, Wakil Koordinator Nasional Samawi NTB, Kamis (12/7).
Kembali ke staf khusus pesantren, Gus Rozin membantah ia punya tugas khusus menjelang 2019, termasuk soal apakah gerakan Samawi itu ada andil pemerintah di dalamnya.
“Banyak sekali yang ingin membantu dengan caranya masing-masing, dengan jejaringnya masing-masing,” kata dia.
Isu agama selalu jadi perhatian Jokowi. Ia mengantisipasi serangan datang jelang Pilpres 2019. Tak cukup lewat staf khusus, Jokowi juga meminta tokoh-tokoh di partai koalisinya untuk membantu meluruskan isu negatif soal keberagamaan sosoknya. Salah satunya Ketua Umum PPP M. Romahurmuziy.
ADVERTISEMENT
“Dalam pembicaraan terakhir, Pak Jokowi menugaskan saya untuk melakukan pendekatan kepada sejumlah ulama di Jawa Timur,” jelas Romy, sapaan akrabnya. “Khususnya di Madura dan Tapal Kuda yang kemarin masih terindikasi belum bersama Jokowi di 2014.”
Persoalan duniawi (teknis, strategis, modal pembangunan, sampai visi-misi) Jokowi terjamin sudah. Sampai-sampai salah seorang pengamat bilang, berpasangan dengan sandal jepit pun Jokowi akan tetap menang kecuali terdapat force majeure.
Maka, masuk akal belaka, sebagaimana nama ‘samawi’ yang punya arti ‘bertalian dengan langit’ atau ‘dari langit’, mungkin memang itulah yang dibutuhkan Jokowi saat ini: memastikan Tuhan tak berkata lain lewat bantuan dari langit.
------------------------
Ikuti aksi Guru Bajang Menyeberang di Liputan Khusus kumparan.