Parlemen Inggris Gelar Mosi Tak Percaya untuk Makzulkan PM May

12 Desember 2018 17:52 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Theresa May. (Foto: REUTERS/Peter Nicholls)
zoom-in-whitePerbesar
Theresa May. (Foto: REUTERS/Peter Nicholls)
ADVERTISEMENT
Para anggota parlemen dari Partai Konservatif akan menggelar mosi tidak percaya untuk memakzulkan Perdana Menteri Theresa May. Mosi ini adalah babak baru dari drama Brexit yang tidak kunjung rampung.
ADVERTISEMENT
Diberitakan Reuters, mosi akan digelar pada Rabu malam (12/12) di gedung parlemen London setelah Komisi Partai Konservatif, Komisi 1922, menerima surat dari sedikitnya 48 orang atau 15 persen dari anggota partai di parlemen.
May lengser dari pimpinan partai yang berarti juga digulingkan jadi PM Inggris jika mosi didukung setidaknya 158 dari 315 anggota parlemen. Jika May lengser, maka Partai Konservatif harus mencari pemimpin baru dalam waktu beberapa pekan ke depan.
Ada beberapa sosok potensial menjadi PM Inggris berikutnya, salah satunya mantan Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson, Menteri Dalam Negeri Sajid Javid, atau Menlu saat ini Jeremy Hunt.
May sendiri mengatakan akan berjuang untuk mempertahankan posisinya sebagai PM. Menurut May, jika dia terguling maka perundingan soal Brexit akan semakin kacau dan kembali ke awal.
Parlemen Inggris (Foto: Reuters/Hannah McKay)
zoom-in-whitePerbesar
Parlemen Inggris (Foto: Reuters/Hannah McKay)
"Saya bersikeras menjadi pemimpin karena saya meyakini visi Partai Konservatif untuk masa depan yang lebih baik," kata May.
ADVERTISEMENT
Mosi tidak percaya kepada May digelar setelah anggota parlemen tidak juga sepakat soal cara Inggris keluar dari Uni Eropa atau Brexit. Padahal tenggat waktu untuk Inggris untuk hengkang dari UE sebentar lagi, yaitu Maret 2019.
Salah satu ganjalan terbesar dalam kesepakatan Brexit adalah penolakan atas rencana May agar Inggris tidak sepenuhnya keluar dari Uni Eropa. May ingin Inggris keluar dari Uni Eropa sesuai referendum 2016, tapi tetap ingin berada di sistem pasar tunggal Eropa.
Para penentangnya, termasuk yang paling keras yaitu Boris Johnson, mengatakan May setengah-setengah dalam menerapkan Brexit. Penolakan yang sama juga datang dari Uni Eropa yang menganggap langkah May akan jadi preseden buruk bagi negara anggota lainnya.