Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jabatan Wakil Panglima ABRI dulu dipakai Presiden Soeharto untuk memelihara intrik antar jenderalnya, agar tak ada perwira terang yang mengganggu kekuasaan. Ada yang terdepak seperti Jenderal Soemitro, tetapi ada juga yang moncer seperti Laksamana Sudomo. Kini Jokowi menghidupkan kembali jabatan itu, untuk apa?
Jenderal (Purn.) Fachrul Razi ogah berurusan dengan intrik tentara dengan politisi. Ia lebih memilih diam setelah Presiden Abdurrahman Wahid menghapus jabatannya sebagai Wakil Panglima TNI. Penghapusan jabatan itu diteken melalui Keppres Nomor 65/TNI/2000 pada 20 September 2000.
Kala itu pemerintahan baru beranjak dua tahun dari jatuhnya Presiden Soeharto. Presiden Gus Dur punya agenda reformasi TNI dengan menyingkirkan perwira yang dirasanya kurang reformis. Fachrul tak hanya dicoret, jabatannya pun dihapus.
Panglima TNI kala itu, Laksamana Widodo AS, menyarankannya untuk datang ke Wakil Presiden Megawati. Tapi Fachrul menolak, sikapnya tertulis dalam buku ‘Mengawali Integrasi Mengusung Reformasi: Pengabdian Alumni Akabri Pertama 1970’.
“Kalau Presiden tidak ada trust kepada saya, buat apa saya di jabatan tersebut," ucap Fachrul kepada Widodo AS.
Penghapusan jabatan wakil panglima TNI ini merupakan bagian dari panjangnya reformasi militer di Indonesia. Fachrul sendiri kemudian undur dari dunia militer dan politik.
Masa pemerintahan Gus Dur mencatat ketegangan hubungan antara presiden dengan militer. Marcus Mietzner mencatat ketegangan ini dalam dalam makalahnya, The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia. Presiden berkehendak mereformasi TNI, perwira moderat yang oleh Gus Dur dianggap tidak cukup reformis juga “dikandangkan” di pos sipil.
Cara itu, kata Mietzner, adalah cara elegan untuk mengakhiri karier dan kekuasaan mereka di komando angkatan darat. Perwira yang disingkirkan dari militer dengan diberi jabatan sipil di antaranya adalah Wiranto, Agum Gumelar, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Di sisi lain, Gus Dur juga mengorbitkan perwira reformis. Para perwira yang berpandangan bahwa TNI tidak boleh lagi terlibat urusan sipil. Salah satu perwira yang dijagokan dan dianggap cukup reformis oleh Gus Dur adalah Letjen Agus Wirahadikusumah, lulusan Akabri 1973.
Saat itu, Agus Wirahadikusumah dikabarkan akan diangkat menjabat KASAD oleh Gus Dur. Namun, rencana Gus Dur ini bikin sejumlah pimpinan TNI gerah. Apalagi setelah Dokumen Bulak Rantai beredar.
Dokumen yang muncul di sekitar Juni 2000 itu berisi rumor soal rencana mutasi besar-besaran di tubuh pimpinan TNI, termasuk di jabatan Panglima TNI yang diduduki Laksamana Widodo AS. Salah satu hasil dari ketegangan itu adalah mutasi pimpinan TNI yang dianggap tidak loyal kepada Gus Dur dan penghapusan jabatan Wakil Panglima TNI .
Di penghujung masa kepemimpinannya, kelompok militer memang tampak menjauhi Gus Dur. Salah satu indikasinya, para pimpinan TNI selalu menolak ajakan sarapan pagi bersama Presiden. Para petinggi militer lebih memilih mengunjungi Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
Wakil panglima merupakan warisan jabatan militer semasa orde baru. Sebelum Fachrul, jabatan ini diemban Laksamana Widodo AS. Pada tahun 2000 Widodo AS diangkat menjadi panglima pertama yang bukan berasal dari angkatan darat.
Dalam buku yang ditulis Sukardi Rinakit, ‘The Indonesian Military After New Order’, Widodo AS memang dijagokan menjadi panglima. Dukungan datang dari mantan Panglima ABRI Wiranto dan juga Presiden Gus Dur.
Wiranto dan Gus Dur memilih Widodo AS karena bisa mereka kuasai dan memuluskan upaya reformasi militer. Namun tetap saja gejolak tumbuh atas upaya mereformasi TNI, termasuk penghapusan wakil panglima.
Semasa orde baru jabatan wakil panglima ABRI (nama TNI kala itu) berkelindan dalam intrik para jenderal di sekeliling Soeharto. Jenderal Soemitro terpaksa menelan pil pahit terdepak dari jabatan itu karena semasa ia menjabat meletus peristiwa Malapetaka Januari (Malari) pada 1974.
Menurut David Jenkins, dalam ‘Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983’, Soemitro tergolong jenderal yang berani karena pernah meminta Soeharto membubarkan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga yang menopang kekuasaan militeristik Orde Baru.
Soemitro, kata Jenkins, juga prihatin dengan peran militer yang terlampau luas. Selain itu, Soemitro juga diketahui punya rivalitas dengan orang dekat Soeharto, Ali Murtopo.
Hal yang sama diungkap Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia. Menurutnya, saat menjabat Pangkopkamtib Soemitro merasa tidak sepakat dengan aktivitas bisnis dan politik kelompok militer yang dikenal dengan kelompok Aspri Soeharto. Kelompok ini beranggotakan Ali Murtopo, Soejono Humardhani, dan Yoga Sugama.
Sementara kelompok Jenderal Soemitro dikenal dengan kelompok “Hankam” yang mengklaim sebagai tentara profesional. Persaingan antara kelompok Aspri dan Hankam itu berujung pada mundurnya Soemitro.
Bahkan, Ali Murtopo, seperti yang ditulis Salim Said di bukunya, Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian, dianggap bertanggung jawab atas berakhirnya karier Soemitro. Ali dianggap telah menghembuskan isu-isu miring, termasuk soal niat Soemitro menyaingi Soeharto.
Usai Peristiwa Malari, Soeharto sempat menawari Soemitro jabatan sebagai Duta Besar di Washington. Tapi, mantan Panglima Divisi Brawijaya ini menolak dan memilih pensiun dini dari militer.
Setelah Soemitro mundur, Wakil Panglima ABRI dijabat Surono Reksodimedjo. Dia adalah mantan anak buah Gatot Soebroto, tokoh militer yang dekat dan berjasa atas karier militer Soeharto.
Surono, catat Crouch, adalah jenderal pilihan Soeharto karena loyalitasnya mengawal Sidang Umum MPRS pemakzulan Presiden Sukarno.
Usai Peristiwa Malari, ketegangan di internal angkatan darat antara faksi Ali Murtopo dan Jenderal Soemitro belum mereda. Menurut Crouch, ketegangan itu membuat Soeharto memutuskan menempatkan Surono, yang dianggap mewakili kelompok teknokrat di angkatan darat, sebagai wakil panglima ABRI.
Sementara jabatan Pangkopkamtib kembali diemban oleh Soeharto sendiri. Laksamana Sudomo menjabat sebagai menjabat kepala staf Kopkamtib.
“Pengangkatan Jenderal Surono sebagai Wapangab adalah upaya Soeharto untuk meyakinkan para perwira militer. Sebab, meski dia berasal dari Divisi Diponegoro yang loyal kepada Soeharto, Surono merupakan seorang teknokrat militer,” tulis Crouch.
Selanjutnya jabatan Wakil Panglima ABRI merangkap, meski tidak selalu, dengan jabatan Panglima Komando Operasi Pemulihan Ketertiban dan Keamanan (Pangkopkamtib). Jenderal Maraden Panggabean, Soemitro, dan Laksamana Sudomo menjabat Wapangab/Pangkopkamtib. Sementara Jenderal Surono hanya menjabat Wapangab.
David Jenkins dalam buku ‘Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983’, Soeharto membuat jabatan-jabatan tumpang tindih untuk memelihara konflik di antara jenderal-jenderalnya. Misal saja pada 1980-an, Jenderal M. Jusuf menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima ABRI, sedangkan Laksamana Sudomo sebagai Wakil Panglima ABRI.
Namun Sudomo tak selalu melalui Jusuf untuk melapor ke Presiden Soeharto. Ia menyemat jabatan lain, yakni Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Sudomo juga mengendalikan loyalitas seluruh panglima militer daerah.
“Pola seperti ini diterapkan dalam sistem,” tulis Jenkins.
Ketika mendekati Pemilu 1982 terjadi perbedaan pendapat antara M. Jusuf dengan Sudomo. Kala itu Jusuf sedang gencar ke daerah dan berpidato tentang pembatasan peran ABRI dalam persoalan sipil, pemerintahan, dan politik. Tapi fakta di lapangan, Sudomo selaku Pangkopkamtib bertindak sebaliknya. Semua hal terkait pemerintahan, hukum, dan politik selalu dilaporkan kepada Sudomo.
”Saya katakan kepada Laksamana Sudomo,’Kapan Anda bisa istirahat jika segala macam urusan dalam kehidupan bangsa ini dilaporkan kepada Anda?’”
Apalagi soal politik, Jusuf punya misi untuk membatasi keterlibatan ABRI dalam Golkar. Tetapi Sudomo bertindak sebaliknya. Dokumen kesepakatan antara Sudomo dan Golkar untuk memastikan ABRI ‘sepenuhnya Golkar’ terbongkar.
Dokumen ini berisi kesepakatan antara Sudomo dengan 11 petinggi Golkar dalam pertemuan pada 17 Oktober 1979 di Gedung Departemen Pertahanan dan Keamanan. Mereka sepakat membuat forum konsultasi periodik antara Hankam dan DPP Golkar di semua tingkatan. Panglima pun tak mampu berbuat apa-apa karena Sudomo tak bertindak sebagai wakil tetapi Pangkopkamtib.
Tindakan Sudomo paling tidak mengantongi restu dari Soeharto karena demi pemenangan Golkar untuk Pemilu 1982.
Sejarawan Salim Said, dalam bukunya Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, mengungkap saat ditugaskan oleh Soeharto menjabat Wapangab/Pangkopkamtib, sebetulnya Sudomo juga ditugaskan untuk mengawasi Panglima ABRI Jenderal M Jusuf. Soeharto khawatir terhadap popularitas M Jusuf di kalangan militer.
Menurut David Jenkins, menempatkan Sudomo di jabatan Wapangab/Pangkopkamtib adalah cara cerdik Soeharto menjaga kekuasaannya. Dengan jabatan itu, Sudomo seolah-olah punya dua pimpinan.
Di satu sisi, ia merupakan bawahan M Jusuf sebagai Wakil Panglima ABRI. Tapi di sisi lain, sebagai Pangkopkamtib, ia juga bertanggung jawab langsung kepada Soeharto.
Sembilan belas tahun setelah dihilangkan Gus Dur, jabatan Wakil Panglima TNI kembali dihidupkan Presiden Jokowi. Kali ini urusannya bukan untuk membangun intrik para jenderal, Pengamat Militer Muradi menyebutkan pada periode pertama pemerintahan Jokowi pemerintah sempat kesulitan mengkonsolidasi kekuatan di internal angkatan darat. Jabatan Wakil Panglima TNI kembali dihidupkan untuk menjaga perimbangan kekuatan di internal TNI.
“Jadi ada rumusannya begini: kalau panglimanya bukan dari TNI AD, maka wakil panglimanya harus TNI AD. Kalau panglimanya angkatan darat, maka wakil panglima bisa dari AU atau AL,” jelas Muradi.
Namun peneliti politik LIPI, Muhammad Haripin, menganggap kembalinya jabatan Wakil Panglima TNI terkait dengan persoalan surplus perwira di internal TNI. Dengan adanya jabatan ini pos yang diisi jenderal bintang empat total bertambah menjadi lima pos.
“Jadi ada 5 pos bintang empat dalam satu periode. Ada panglima, wakil panglima, dan ada 3 kepala staf di masing-masing matra,” kata Haripin.
Pengamat militer Aris Santoso menilai, jabatan wakil panglima TNI menunjukkan pengaruh angkatan darat yang belum pudar di politik Indonesia. Menurutnya, kembalinya jabatan wakil panglima adalah bentuk kebijakan Jokowi untuk mengakomodasi keinginan angkatan darat.
“Jadi Jokowi ini terlalu nurut sama tentara, khususnya AD. Orang di sekelilingnya Jokowi itu kan TNI AD semua: Luhut Panjaitan sama Hendropriyono dan Agum Gumelar. Mereka itu orang lama di Angkatan Darat,” ucap Aris.