PDIP vs Demokrat Adu Hitungan Matematika soal Kenaikan BBM Era Jokowi dan SBY

8 September 2022 10:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
Jokowi dan SBY di Istana. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan SBY di Istana. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
ADVERTISEMENT
PDIP dan Demokrat saling sindir soal kenaikan harga BBM di pemerintahan Presiden Jokowi. Anggota DPR Fraksi PDIP Adian Napitupulu mengatakan, sebelum Demokrat berdemo terkait kenaikan BBM sebaiknya belajar matematika dan sejarah dulu.
ADVERTISEMENT
Dia menyebut sebenarnya kenaikan BBM di era Jokowi lebih rendah dibandingkan pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain itu, ia menyebut upah minimum di ibu kota di era Jokowi cukup untuk memenuhi kebutuhan BBM.
"Di era SBY total kenaikan harga BBM (Premium) Rp 4.690 sementara di era Jokowi total kenaikan BBM jenis Premium/Pertalite Rp 3.500. Jadi SBY menaikkan BBM lebih mahal Rp 1.190 dari Jokowi," kata Adian, Kamis (8/9).
"Di era SBY upah minimum (contoh DKI) Rp 2.200.000 untuk tahun 2013. Dengan BBM harga 6.500 per liter, maka upah satu bulan hanya dapat 338 liter per bulan. Di era Jokowi hari ini BBM Rp 10.000 tapi upah minimum Rp 4.641.000 per bulan. Dengan demikian, maka di era Jokowi setiap bulan upah pekerja senilai dengan 464 liter BBM. Jadi ada selisih kemampuan upah membeli BBM antara SBY dan Jokowi sebesar 126 liter," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Adian menuturkan di era SBY masih ada mafia terorganisir dan masif yaitu Petral yang embrionya sudah ada sejak awal Orde Baru yaitu tahun 1969 dan beroperasi mulai 1971. Di era Jokowi, Petral dibubarkan pada 2015, hanya 6 bulan setelah Jokowi di lantik.
"Pembangunan jalan tol sebagai salah satu infrastruktur penting dalam aktivitas ekonomi di era SBY hanya mampu membangun 193 km jalan tol sedangkan di era Jokowi jalan tol yang di bangun hampir 10 kali lipat dari zaman SBY yaitu 1.900 km," tuturnya
Dengan perbandingan angka itu, kata Adian, era SBY cukup menyedihkan bagi masyarakat. Sehingga, ia menyarankan Demokrat untuk melihat angka terlebih dahulu sebelum berkomentar.
"Era SBY tentunya merupakan era kesedihan bagi semua orang kecuali mereka yang berkuasa saat itu. Saya menyarankan agar kader Demokrat untuk bisa belajar matematika dan belajar sejarah sehingga jika membandingkan maka perbandingan itu logis tidak anti logika dan a historis," kata dia.
ADVERTISEMENT

Demokrat Sebut Adian Sesatkan Logika

Politisi PDIP Adian Napitupulu. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Sekretaris Bakomstra DPP Partai Demokrat Hendri Teja mengatakan pandangan Adian harus diluruskan karena banyak penyesatan logika. Ia menyebut di era SBY justru harga BBM sangat mengikuti harga minyak mentah dunia.
"Banyak penyesatan logika di sana-sini. Pertama, Adian mesti crosscheck data. Kenaikan BBM era SBY sangat tergantung harga minyak mentah dunia. Jika harga minyak mentah dunia naik, maka harga BBM naik dan begitu sebaliknya," tuturnya.
Dia mencontohkan, SBY pernah menurunkan harga BBM premium hingga Rp 4.500 ketika harga minyak mentah dunia turun. Sementara pada Juli 2008, ketika harga minyak mentah dunia meroket sampai US$ 128,08 per barel, SBY mampu mempertahankan harga BBM Premium di angka Rp 6.000.
ADVERTISEMENT
"Bandingkan dengan era Jokowi yang mematok harga BBM Pertalite pada kisaran Rp 7.450-Rp 8.400 pada 2015-2018, padahal saat itu harga minyak dunia sedang nyungsep-nyungsepnya. Misalnya pada Januari 2016, harga minyak mentah dunia jatuh ke titik terendah yaitu US$ 27,02 per barel, tapi harga BBM Pertalite tetap dipatok Rp7.900," sebutnya.
Jika mengacu pada UMP Jakarta 2013, kata dia, ketika Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan ngotot menolak kenaikan BBM, pemerintahan SBY telah menetapkan peraturan terkait kebutuhan hidup layak sehingga UMP 2012 ke 2013 bisa naik 44%.
"Bandingkan dengan kenaikan BBM tahun ini di mana UMP Jakarta 2022 cuma tumbuh 0,8% dari 2021. Tragisnya, setelah Anies merevisi UMP 2022 Jakarta sebesar 5,1%, dia malah digugat ke pengadilan," tutur Hendri.
Satpam berjaga di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kuningan, Jakarta, Selasa (6/9/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan