news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pekerjaan Sepi Imbas Putusan MK, Debt Collector Gugat UU Fidusia

16 September 2020 15:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Debt Collector. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Debt Collector. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan pihak kreditur (leasing) tidak bisa secara sepihak menarik objek jaminan fidusia, seperti kendaraan atau rumah yang menunggak kredit, hanya berdasar sertifikat jaminan.
ADVERTISEMENT
MK memutuskan pihak leasing yang ingin menarik kendaraan harus mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Eksekusi sepihak oleh kreditur tetap bisa dilakukan, asalkan debitur mengakui adanya cidera janji (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusianya.
Rupanya putusan MK nomor 18/PUU-XVII/2019 yang mengubah ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Fidusia, berdampak signifikan bagi debt collector.
Seorang karyawan perusahaan finance dengan jabatan sebagai penagih agunan, Joshua Michael Djami, mengaku pekerjaannya berkurang imbas putusan MK tersebut.
"Dengan adanya pengaturan a quo, berdampak pada penurunan jumlah kasus yang harus dikerjakan, karena kasus yang Pemohon pegang menjadi berkurang. Dahulu bisa sampai ratusan, tapi kemudian sekarang hanya 25," isi gugatan Joshua yang didaftarkan ke MK pada 15 September.
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Selain itu, Joshua menyatakan aturan tersebut membuat profesinya terancam. Padahal, profesi penagih agunan telah diakui MK melalui putusan 19/PUU-XVIII/2020.
ADVERTISEMENT
"Menghancurkan lahan profesi (collector dan financing) yang legal dan diakui oleh MK (putusan 19/PUU-XVIII/2020). Sehingga mengakibatkan hilangnya pendapatan dan penghidupan yang layak sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (2) UUD 1945," ucapnya.
Terlebih, kata Joshua, penarikan agunan yang menunggak kredit harus melalui pengadilan -apabila debitur enggan menyerahkan secara sukarela-, sangat menguras biaya bagi perusahaan pembiayaan atau finance.
"Tiadanya perlindungan hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bagi industri pembiayaan dikarenakan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk eksekusi lebih besar daripada pendapatan dari barang fidusia," ucapnya.
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/7/2020). Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
Untuk itu, Joshua meminta MK mengubah pendirian mengenai penarikan agunan yang menunggak kredit. Ia meminta MK mengizinkan kembali debt collector agar bisa menarik agunan secara sepihak.
ADVERTISEMENT
"Pemohon mengajukan permohonan ini bukan karena ingin mengatakan Mahkamah salah, tidak sama sekali. Namun Pemohon berharap Mahkamah dapat mengubah pendirian Mahkamah demi terlindunginya hak konstitusinal Pemohon," kata Joshua.
Adapun dalam permohonannya, Joshua meminta MK mengembalikan ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia seperti sebelum adanya putusan 18/PUU-XVII/2019.
Selain itu, Joshua meminta MK menyatakan frasa 'keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia' dalam Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukuman mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai sukarela saat menandatangani perjanjian fidusia.