Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pemadam Api: Nyawa Tergadai 50 Persen, Kerja Tetap 100 Persen
21 September 2017 11:03 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Kematian dua pemadam dari Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (DKPB) Kota Bandung meninggalkan beberapa pertanyaan di benak masyarakat.
ADVERTISEMENT
Salah satunya terkait upah yang mereka terima selama ini: mengapa untuk pekerjaan yang berisiko kematian tinggi, upah yang didapat hanya sebatas Rp 10 ribu per jam?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang musti dirunut akar dan penyebabnya. Awalnya bisa berawal dari pertanyaan: bagaimana status kepegawaian Trisna dan Imam?
Trisna Supriatna dan Imam Topik Hidayat baru delapan bulan menjadi petugas pemadam kebakaran. Mereka berdua tergabung dalam DPKB Kota Bandung lewat satu gelombang penerimaan, yaitu ketika pemerintah Kota Bandung mencari 100 Pekerja Harian Lepas (PHL) untuk ditempatkan pada petugas pembantu pemadam kebakaran dan operator unit mobil pemadam kebakaran pada Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (DKPB) Kota Bandung.
Kebetulan, usia keduanya tak cukup muda untuk masuk ke dalam petugas pembantu pemadam kebakaran. Trisna berusia 33 tahun dan Imam satu tahun lebih muda.
ADVERTISEMENT
Untuk petugas pembantu pemadam, usia pendaftar diharuskan berada antara 18 hingga 25 tahun. Sedangkan, untuk operator unit, usia maksimal mencapai 35 tahun. Maka, operator unit mobil damkar menjadi incaran mereka.
Setelah satu bulan melalui masa-masa seleksi, keduanya diterima sebagai operator masing-masing regu --Trisna sebagai operator unit pemadaman, sedangkan Imam masuk sebagai operator unit penyelamatan. Pendidikan dan pelatihan berlangsung selama tiga bulan. Setelah itu, puluhan misi dilaksanakan dengan lancar dan sukses oleh keduanya.
Setidaknya, sampai malam nahas itu.
Di Indonesia, pemadam kebakaran di manapun tak pernah berada di tataran ideal. Mereka tahu, pemadam kebakaran sama saja dengan badan lain di pemerintahan, yang kondisinya selalu minim secara rasio dibanding jumlah masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketika jumlah guru kurang, jumlah dosen kurang, jumlah pegawai negeri kurang, dan jumlah dokter tak merata, maka bagaimana bisa berharap pemerintah punya perhatian lebih besar ke Dinas Pemadam Kebakaran?
“Sekarang kami tidak berkutat pada idealisme, tapi bagaimana mengoptimalkan yang ada. Kekuatan kendaraan kami sekitar 25 mobil pancar, 3 mobil rescue --totalnya ada 39 unit kendaraan,” ujar Kurnia Saputra, Kepala Bidang Kesiapsiagaan, Operasi Pemadaman dan Penyelamatan.
Kurnia mengatakan, untuk mengoptimalkan 39 armada tersebut, DKPB Kota Bandung mengimbanginya dengan hampir 300 personel lapangan. “Dengan jumlah petugas pemadamnya keseluruhan 296. Dari situ, yang PNS 196 orang,” kata Kurnia.
Dasar hukum pengangkatan para PNS jelas, yaitu Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang jumlah pengangkatannya sangat terbatas tiap tahun.
ADVERTISEMENT
“Kalau untuk PNS itu kita harus ke BKPB dulu, kotamadya. Kebanyakan di instansi lain juga banyak yang kekurangan,” ucap Ahmad Jaelani, kakak almarhum Trisna Supriatna yang kebetulan merupakan analis Sumber Daya Manusia Aparatur di Bidang Kepegawaian DKPB Kota Bandung.
Padahal, kebutuhan DKPB Kota Bandung terhadap tenaga baru sangatlah tinggi. Angka PNS yang sampai 2017 hanya dibatasi sampai 196, tentu tak sepadan dengan rasio pemadam kebakaran dan penduduk Kota Bandung.
Kurnia mengatakan, terdapat standar internasional baku yang menentukan perbandingan jumlah pemadam dan jumlah penduduk sebuah kota. Ia juga mengakui Kota Bandung tak mampu memenuhi standar tersebut.
“Kalau di Jepang, satu unit kendaraan itu meng-cover 10.000 orang,” ujar Kurnia. “Kalau di Indonesia, rasionya diubah menjadi satu kendaraan per 30 ribu warga.”
ADVERTISEMENT
Padahal, lanjut Kurnia, satu armada pemadam kebakaran di Indonesia idealnya diawaki oleh lima orang.
Dengan penduduk Bandung hampir mencapai angka 2,5 juta orang, Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Kota Bandung seharusnya memiliki armada pemadam kebakaran sebanyak 84 kendaraan. Apabila sebuah kendaran diawaki 5 orang, maka jumlah pegawai ideal DKPB Kota Bandung adalah 420 orang.
Apabila angka tersebut dikurangi dengan PNS yang telah ada (420-196), DKPB Kota Bandung masih kekurangan sejumlah 224 orang. Alias: Kota Bandung hanya punya tak sampai 50 persen personel dari yang seharusnya dimilikinya.
Untuk memenuhi kekurangan itu, menurut Ahmad Jaelani, dipilihlah mekanisme penerimaan pekerja harian lepas (PHL).
“Makanya kita adakan PHL, seolah bikin pola yang baru untuk mencapai jenjang ke PNS,” kata Ahmad Jaelani.
ADVERTISEMENT
Ia tahu melobi yang “di atas” untuk menambah jumlah formasi PNS bagi pemadam kebakaran sulit luar biasa. Walaupun sudah begitu, formasi PHL yang dibuka pada awal 2017 hanya mampu menggaet 100 orang --kurang 124 dari jumlah pasukan ideal.
Namun, ada kelebihan dari sistem penerimaan pegawai PHL ini. Sembari mendapatkan tambahan pegawai, PHL dibuat sebagai jenjang yang harus dilalui oleh mereka yang ingin menjadi PNS di DKPB Kota Bandung.
Ahmad mencontohkan, dulu ia juga sempat menjadi tenaga kontrak selama 13 tahun sebelum diangkat menjadi PNS di tahun 2008.
“Awal masuk, keluar SMA, langsung tahun 1995 udah masuk ke dinas kebakaran. Dulu kontrak kerja. Baru diangkat jadi PNS tahun 2008,” ujarnya kepada kumparan, Sabtu (16/9)
ADVERTISEMENT
Dari pasukan pemadaman, Ahmad baru berpindah ke desk administratif tahun 2011.
Keberadaan sistem PHL-PNS tersebut menjadi salah satu alasan mengapa 100 PHL di DKPB Kota Bandung tak mengeluh-mengeluh amat soal status mereka yang hanya digaji Rp 10 ribu per jam.
Angka Rp 10 per jam tersebut datang dari UMR Kota Bandung, yang pada 2016 hanya sekitar Rp 2,4 juta. Dengan sistem kerja shift 1 hari kerja 2 hari libur, PHL bekerja 10 hari per bulannya. Sedangkan, satu kali shift memerlukan kerja 24 jam dari mereka.
Jadi, dengan 1 bulan bekerja selama 240 jam, gaji Rp 2,4 juta menjadikan mereka pemadam Rp 10 ribu per jam.
“Ke depannya supaya barangkali pemadam jadi PNS. Nah ngejarnya ke situ anak saya,” ujar Yayat, ayah Imam, yang semula berharap, dengan kondisinya yang semakin menua, anaknya bisa menjadi PNS dan dapat menjamin kehidupan Imam dan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Kini, ketika Trisna dan Imam harus berpulang sebelum genap menjadi PNS dan mendapatkan imbalan lebih layak, keluarga mereka hanya bisa ikhlas dan pasrah.
“Jadi dulu udah dikasih tahu kerja di Dinas Kebakaran itu, (ibarat) nyawa kita sudah tergadaikan setengah, 50 persen.”
Meski nyawa tergadai 50 persen, pasukan pemadam kebakaran di DKPB Kota Bandung tak pernah memberi daya mereka kurang dari 100 persen.
Terima kasih, Kang Trisna. Terima kasih, Kang Imam.