Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi: Dibacok, Digantung, Dibakar

12 Januari 2023 17:18 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi dukun. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dukun. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia punya sederet sejarah kelam pelanggaran HAM berat. Salah satunya adalah pembantaian dukun santet di Banyuwangi. Akibat tragedi berdarah tersebut, Kota Banyuwangi pun kerap disandingkan dengan aktivitas santet. Pelanggaran HAM berat ini terjadi di masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1998.
ADVERTISEMENT
Orang-orang yang diduga melakukan praktik ilmu hitam atau santet menjadi target utama dalam pembantaian tersebut. Sebenarnya, warga Banyuwangi memang sudah familiar dengan keberadaan dukun santet. Salah satu masyarakat asli Banyuwangi, misalnya, Suku Osing, mempercayai dukun untuk mengobati penyakit, media pembalasan dendam, hingga soal keturunan.
Ilustrasi dukun. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

Misteri Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi

Dari hasil tim pencari fakta kasus pembantaian dukun santet oleh Nahdatul Ulama (NU), mereka menyimpulkan bahwa pelaku merupakan orang-orang yang terlatih. Pembantaian tersebut dilakukan secara sistematis dan terorganisir.
Temuan ini didasari pada hasil temuan proses eksekusi korban selalu dilakukan di malam hari, ketika mati lampu. Saat listrik kembali menyala, korban pun sudah ditemukan tewas hampir di seluruh area.
ADVERTISEMENT
Pelaku disebut menggunakan baju serba hitam dalam melancarkan aksinya. Masyarakat pun sering menyebutnya sebagai 'ninja'. Bahkan, dalam menjalankan operasi pembantaian tersebut, pelaku juga memanfaatkan handy-talky untuk memastikan rencana mereka dapat berhasil.
Ilustrasi pembunuhan. Foto: Shutterstock
Penyerangan membabi buta itu membuat warga di Banyuwangi pada saat itu merasa tidak aman bahkan di rumahnya sendiri. Berdasarkan jurnal The 1998 Banyuwangi Humanitarian Case (In Socio-Economic Studies) yang ditulis oleh Swastika dan Jamil, warga akan menutup rapat jendela dan pintu saat matahari tenggelam. Siskamling pun diwajibkan bagi laki-laki ketika malam hari tiba.
Meski begitu, ketakutan terus menghantui masyarakat, saat bangun di pagi hari mereka khawatir rumahnya ditandai dengan gambar tengkorak berwarna merah. Jika itu ada di depan rumah mereka, otomatis akan menjadi target pembunuhan selanjutnya.
Infografik Pelanggaran HAM Berat di Indonesia. Foto: kumparan
Dalam jurnal Ham dan Politik Kriminal Pasca Orde Baru (Konstruksi Pelanggaran HAM pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Kabupaten Banyuwangi Tahun 1998) yang ditulis oleh Juang, dkk., menyebut camat Purwoharjo, Banyuwangi yang waktu itu menjabat yakin ada keterlibatan aparat kepolisian.
ADVERTISEMENT
Namun, tuduhan tersebut ditepis langsung oleh Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur saat itu juga. Ia menegaskan tak ada muatan politis di balik pembunuhan massal tersebut. Kepolisian saat itu menganggap peristiwa ini merupakan kasus kriminalitas murni.
Ilustrasi dukun. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Cara-cara korban tewas dalam tragedi ini pun sangat beragam sekaligus keji. Mulai dari ada yang tewas karena digantung, dibakar bersama dengan rumahnya, dipukuli, dibacok, hingga dianiaya massa.
Berdasarkan laporan Departemen Keamanan Republik Indonesia, pembantaian dukun santet ini telah merenggut korban jiwa mencapai 235 orang meninggal. Tragedi ini tak hanya terjadi di Banyuwangi, tetapi kabupaten lain seperti Jember, Situbondo, Bondowoso, Pasuruan, Pamekasan, dan Sampang.
Sementara itu, menurut data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, sebanyak 157 orang tewas di Banyuwangi.
ADVERTISEMENT
Banyak warga Banyuwangi pada waktu itu mengalami trauma hebat, karena kekejaman tersebut. Para keluarga korban juga enggan membahas dan mengungkitnya kembali, lantaran takut dianggap mewarisi ilmu santet dari orang tuanya.