Pembelajaran Jarak Jauh Era Pandemi dan Sila Kelima Pancasila

17 Mei 2020 12:29 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Siswa mengerjakan tugas sekolah di rumahnya di Pekanbaru, Riau. Foto: ANTARA/Rony Muharrman
zoom-in-whitePerbesar
Siswa mengerjakan tugas sekolah di rumahnya di Pekanbaru, Riau. Foto: ANTARA/Rony Muharrman
Albert, enakan mana belajar di sekolah sama belajar di rumah?
Sama aja.
Albert, siswa kelas dua SD Gemala Ananda, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, polos saja menjawab pertanyaan kumparan. Kegiatan belajar Albert tak banyak terganggu dengan proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini. Meski tak lagi bertatap muka dengan gurunya, Albert tetap asyik mempelajari matematika, mata pelajaran favoritnya.
“Cara belajarnya seru. Bu Gurunya kayak praktekin lewat video,” katanya.
Eva, ibu Albert, tak begitu kaget saat menghadapi situasi anaknya yang harus belajar di rumah. Menurutnya, bagaimana peran orang tua mendampingi anak dalam belajar sehari-hari tak jauh berbeda dengan saat si anak belajar di sekolah.
“Waktu anak-anak belajar di sekolah, orang tua selalu diberi tahu anak-anak akan belajar apa sebelum sebuah tema dimulai. Ada panduannya, bagaimana belajarnya di sekolah, biar nyambung dengan kami orang tua untuk me-review dan mendampingi anak untuk ngulang lagi,” kata Eva saat dihubungi kumparan, Rabu (13/5).
Komunikasi antara guru dan orang tua Albert juga semakin intensif dalam proses PJJ ini. Minimal, dua minggu sekali wali murid harus melaporkan refleksi dalam proses pembelajaran anak. Review tersebut di luar panduan belajar dan komunikasi langsung dengan guru yang terjadi dinamis sehari-harinya. “Jadi sekolah bisa tahu, apa hambatannya, apa kelebihannya,” ujar Eva.
“Bahkan kita nggak merasa kesulitan sih, karena hampir sama. Kalau dulu lebih banyak tatap mukanya dengan guru di sekolah, kalau sekarang via video call lewat Google Meet atau tugas yang dikirim via email tapi dengan panduan yang sangat jelas,” kata Eva.
Emangnya Albert nggak kangen sama temen-temen?
Kan bisa video call.
Mendikbud Nadiem Makarim. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Sudah dua bulan Albert dan jutaan siswa sekolah dasar-menengah Indonesia melakukan PJJ. Siswa-siswa itu menjadi bagian dari 1,5 miliar pelajar dari 191 negara di seluruh dunia yang terpaksa menggeser kegiatan belajarnya dari sekolah ke rumah. Tentu saja pandemi corona yang jadi sebabnya.
Sampai saat ini, belum diketahui berapa lama lagi proses PJJ akan dijalankan. Semua tergantung tingkat pengendalian COVID-19 di Indonesia, terutama di daerah zona merah.
Pekan lalu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah membahas tiga opsi jadwal pembukaan kembali sekolah di Indonesia, mengikuti relaksasi PSBB yang sudah mulai digaungkan di berbagai sektor kehidupan lain.
Opsi pertama: sekolah dibuka kembali di pertengahan Juli bersamaan dengan dimulainya tahun ajaran baru 2020/2021. Opsi ini dipilih dengan catatan pandemi corona telah reda secara signifikan pada akhir Juni 2020 dan PSBB sudah direlaksasi.
Opsi kedua: dipilih apabila COVID-19 belum reda secara signifikan sampai akhir Juni 2020. Nantinya, PJJ akan dilakukan sampai akhir September. Sementara itu, sekolah baru dibuka kembali pada Oktober 2020, paruh kedua semester ganjil tahun ajar 2020/2021.
Opsi ketiga: pandemi, terutama di zona merah, masih menyebar sampai September 2020. Kondisi ini menyisakan opsi ketiga, yaitu PJJ dilaksanakan sampai akhir tahun dan sekolah baru mulai dibuka kembali pada awal semester genap tahun ajar 2020/2021.
Saat ini, ketiga opsi tersebut tengah dikoordinasikan Kemendikbud bersama BNPB serta Kementerian Kesehatan. Hamid Muhammad, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud menyampaikan bahwa keputusan pemilihan opsi menunggu untuk diumumkan saja.
Ilustrasi sekolah kosong karena corona. Memegah-megahkan bangunan dengan uang sumbangan orang tua kini serasa ironi karena ia tak bisa ditempati semasa pandemi. Foto: Shutterstock
Opsi mana pun yang nantinya dipilih, PJJ masih akan dilaksanakan minimal 56 hari lagi. Tentu saja, opsi pembukaan kembali sekolah pada pertengahan Juli belum bisa dipastikan.
Bila melihat kenaikan jumlah pasien positif COVID-19 tetap tinggi dan proses relaksasi yang dinilai ahli sangat berisiko, bisa jadi pembukaan sekolah masih akan menunggu waktu lebih lama lagi.
Ini berarti proses PJJ bisa saja bertahan sampai beberapa bulan ke depan, melebihi proyeksi optimistis pertengahan Juli. Bisa jadi PJJ masih akan bertahan hingga September. Atau Desember. Atau malah lebih lama lagi.
Mengingat beberapa faktor, seperti: 1) vaksin kemungkinan belum akan ditemukan hingga 18 bulan ke depan, dan 2) prediksi WHO bahwa virus corona akan bertahan dan terus ada bahkan setelah pandemi usai—seperti halnya AIDS yang baru muncul pada 1981 namun terus ada sampai sekarang; bisa jadi proses belajar konvensional selama ini tak akan pernah kembali lagi.
Dim, enggak belajar? PR-mu udah dikerjain?
HP-nya ayah rusak, og.
Dimas, siswa kelas tiga SDN Bendosari, Kediri, Jawa Timur, sedang mondar-mandir di jalan kampung. Pembelajaran jarak jauh luput dari kegiatannya pagi itu. Telepon genggam ayahnya, android lawas yang resolusi kameranya cuma sedikit lebih baik dari VGA, rusak.
Padahal, telepon genggam itu adalah satu-satunya gawai yang keluarganya miliki untuk dapat mengikuti proses PJJ dari sekolah. Dimas adalah satu dari 830 juta pelajar di dunia yang tak punya akses ke komputer dan akhirnya kesulitan belajar dalam pandemi corona ini.
Sebelum rusak pun, telepon genggam ayahnya itu tak bisa leluasa digunakan Dimas untuk belajar. Ayahnya bekerja sebagai petugas kebersihan desa, yang tak berada di rumah dari pagi sampai siang hari. Sore ke malam ayahnya jadi tukang pijat panggilan. Dimas hanya bisa menggunakan telepon genggam sang ayah di sela-sela waktu antaranya.
Karenanya, PJJ luput dari kegiatannya pagi itu. Ia sih senang-senang saja. Berkurangnya waktu sekolah berarti bertambahnya waktu bermain petasan. Tak semua siswa di Indonesia seberuntung Albert.
Siswa mengerjakan tugas sekolah di rumahnya di Pekanbaru, Riau. Foto: ANTARA/Rony Muharrman
“Kebijakan pembelajaran jarak jauh itu bias kelas,” kata Satriawan Salim, Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kepada kumparan, Selasa (12/5).
Bias kelas yang ia maksud adalah bahwa kebijakan ini tidak mempedulikan ketimpangan akses dan keterjangkauan fasilitas para siswa. Ia mencontohkan kasus para guru SMK di Bima dan Sintang yang harus keliling sendiri dari rumah ke rumah, karena kebanyakan siswanya tak memiliki akses internet dan komputer.
Pada 2018, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mencatat baru 50 persen masyarakat di Indonesia yang sudah terhubung dengan internet. Itu pun 72,4 persennya merupakan masyarakat urban, dan secara geografis 58 persennya berada di Jawa.
Sementara itu, menurut data BPS tahun 2017, cuma 44,5 persen penduduk yang memiliki komputer. Dan menurut Puslitbang Kominfo, akses masyarakat Indonesia terhadap smartphone baru mencapai 66,3 persen pada 2018.
Dari data penetrasi internet dan akses fasilitas komputer/smartphone tersebut, menggeser pembelajaran dari offline ke online tanpa adanya intervensi pemerintah secara masif adalah langkah sinting.
Negara dengan kemerataan teknologi cukup baik macam Korea Selatan pun tak tergesa-gesa dalam mengambil langkah tersebut. Libur awal karena COVID-19 bahkan diperpanjang untuk persiapan.
Saat itu, guru bersiap dengan model pengajaran baru dan bantuan alat belajar seperti tablet yang dipinjamkan dan didistribusikan ke siswa yang tak punya. Tak heran, saat sekolah online dimulai pada 9 April, keikutsertaan siswa dalam PJJ di Korea Selatan mencapai 98 persen.
“Jadi, PJJ yang dilaksanakan selama ini tidak ramah pada anak-anak keluarga miskin dan orang tua yang tidak memiliki barang mewah seperti laptop dan gawai pintar,” tambah Satriawan.
Dan perlu dicermati, tidak hanya siswa yang kesulitan terhadap akses, tapi juga guru. Kemendikbud sebetulnya telah memperbolehkan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk menanggulangi masalah ini, namun menurut laporan FSGI hal tersebut tak maksimal dilakukan.
“Khawatir nanti temuan BPK (disangka penyalahgunaan anggaran), padahal sudah ada relaksasi. Kepala sekolah memang harus lebih berani,” kata Satriawan.
Iwan Pranoto, pengajar di Institut Teknologi Bandung sekaligus pengamat mutu pendidikan di Indonesia, sedikit mempertanyakan keputusan Kemendikbud menyeragamkan kebijakan PJJ ke seluruh siswa di Indonesia.
“Kita terbiasa dengan keseragaman, kalau di Jakarta dikatakan tutup, di seluruh Indonesia dikatakan tutup. Padahal seharusnya di daerah-daerah yang terisolasi (dari virus corona) tidak apa-apa diteruskan (belajar di sekolah),” ujar Iwan dalam diskusi bersama Erudio Indonesia, Sabtu (9/5).
Wasekjen FSGI Satriawan Salim. Foto: Salmah Muslimah/kumparan
Akses dan fasilitas cuma salah satu problem yang dihadapi dalam proses PJJ. Masalah lain adalah sekolah yang tak memperhatikan surat edaran Kemendikbud Nomor 4 Tahun 2020 dan guru yang sulit beradaptasi dengan proses belajar online.
Menurut survei yang dilakukan FSGI dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap 602 guru SD sampai SMA/sederajat di 14 provinsi di 30 kabupaten/kota di Indonesia pada pertengahan April lalu, tercatat bahwa 53 persen guru-guru di Indonesia masih berorientasi pada penyelesaian kurikulum yang sebelumnya telah dimulai.
Ini kadang menjadi pangkal, mengapa di beberapa kasus PJJ di Indonesia, guru seolah-olah hanya memberi tugas yang banyak dan membiarkan siswanya mengerjakan.
“Padahal, semangat dari surat edaran Kemendikbud, dan bahkan tertulis di situ secara literal, guru jangan lagi mengajar pada ketercapaian kurikulum,” ujar Satriawan.
Satriawan menjelaskan, setiap guru biasanya memiliki lesson plan (rencana ajar) di setiap awal semester. Meski di surat edaran tertulis agar ketercapaian rencana ajar dilakukan sebisanya tanpa harus memenuhi target, guru-guru di Indonesia cenderung tidak mengindahkan anjuran tersebut.
“Makanya guru mengejar ketercapaian, karena, ‘Aduh, harusnya 10 kompetensi dasar, kok baru lima. Nah, lima lagi harus saya kejar nih.’ Rasanya secara psikologis punya utang kalau nggak menuntaskan keseluruhan,” jelas Satriawan.
- Mendikbud Nadiem Makarim
“Mayoritas, 80 persen guru-guru masih menggunakan sarana belajar seperti WhatsApp dan LINE. Akhirnya, guru memberikan penugasan yang sama terhadap seluruh siswa, muncul penyeragaman. Padahal kemampuannya beda-beda,” ujar Sekjen FSGI itu.
"Poin ini harus ditangkap Mas Menteri (Nadiem). Jadi jangan menyerahkan semuanya ke guru aja. Kan jawabannya Mas Menteri gini, 'Silakan berinovasi, sudah ada merdeka belajar.' Lah, dalam keadaan normal aja kita nggak merdeka belajar kok. Apalagi sekarang, karena serba terbatas," tambah Satriawan.
Kondisi semacam itu membuat komunikasi dalam pembelajaran tak berjalan baik dan PJJ sebatas berarti tugas, tugas, dan tugas. Alurnya terus sama dari jaman bahela: 1) guru memberi pengetahuan (dari ceramah di kelas menjadi mengirim bahan ajar), 2) guru memberi tugas, 3) siswa mengerjakan tugas dan mengumpulkan ke guru, 4) guru menilai, dan 5) siswa mengetahui nilainya tanpa benar-benar tahu apakah semua ini sebetulnya berguna buat dirinya.
Kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutterstock
Di beberapa kasus ekstrem, pola belajar yang tetap-usang-namun-ganti-media itu memunculkan tugas yang seabrek tanpa proses pemanduan yang jelas. Diah, pegawai swasta di Kediri, mengalami sendiri bagaimana PJJ menjadi proses yang rumit dan melelahkan bagi ia dan anaknya.
"Awal-awal disuruh bikin Google Drive, Google Classroom. Kan orang desa mana ngerti," cerita Diah sembari tertawa.
Selama dua bulan terakhir, ia merasa keseharian anaknya cuma dipenuhi tugas dan tugas. Ia juga mencermati tidak pernah ada feedback dalam setiap tugas yang dikumpulkan. Karena banyaknya tugas dan proses belajar yang ribet, ia mengaku pada akhirnya ia sendiri ikut mengerjakan tugas anak-anaknya.
Rupanya yang mengeluh soal beban berlebih dari tugas anak tak cuma Diah. Beberapa orang tua dari sekolah yang sama juga keberatan, merasa tidak mampu terus-terusan membimbing anaknya mengerjakan tugas, dan akhirnya protes terhadap guru.
Jawaban guru penuh motivasi dan menghangatkan hati: “Bu, orang saya menghadapi 33 anak saja bisa. Masak cuma satu saja enggak bisa?
Peran orang tua dalam proses PJJ ini menjadi isu selanjutnya yang muncul selama dua bulan terakhir. Ketiadaan guru membuat orang tua menjadi satu-satunya teman belajar anak di rumah. Di sini, beberapa masalah perlu dicari jawabannya.
Pertama, tak semua orang tua bekerja dari rumah. Kebanyakan pegawai negeri dan pegawai swasta, terutama di kota-kota besar, memang menjalankan work from home. Tapi, sekali lagi, bagi Diah atau orang tua lain yang bekerja di sektor esensial, mengawasi anak dalam belajar tak akan semudah itu.
Kedua, seperti yang dikatakan oleh Ifa Hanifah Misbach, tidak semua orang tua memiliki basis keilmuan pedagogi. Ifa, dosen psikologi UPI Bandung sekaligus Kepala Klinik Psikologi RS Melinda 2 Bandung, menilai tidak serta-merta orang tua mampu mendidik anaknya, terutama dalam bidang akademik.
“Guru perlu bersabar menyamakan persepsi dan tujuan tugas kepada orang tua agar orang tua bisa tenang dan tahu saat mendampingi anak belajar,” kata Ifa saat dihubungi kumparan melalui email, Rabu (13/5).
Soal tugas, Ifa juga menuntut sekolah mengevaluasi tujuan pembelajaran dan tujuan memberikan tugas siswa-siswanya. “Memberikan tugas jangan hanya memindahkan paper and pencil ke dalam bentuk digital, sementara eksplorasi potensi siswa dalam perubahan struktur kemampuan berpikir siswa tidak tergali,” tulis Ifa.
“Artinya, kuantitas jumlah beban tugas bukan jadi ukuran guru berhasil menyelesaikan materi. Yang terpenting justru memastikan proses pembelajaran memiliki makna untuk siswa,” kata Ifa. Apabila itu tercapai, menurutnya, siswa akan mendapatkan kepuasan belajar secara mandiri dan menjadi lebih tekun karena telah menemukan motivasi internalnya.
Bagi Ifa, yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah bagaimana mempersiapkan mental orang tua yang selama ini tidak memiliki dasar keilmuan pedagogi.
“Yang harus dikuasai terlebih dahulu oleh orang tua sebagai pendidik di rumah adalah kemampuan meregulasi emosi. Orang tua berlatih jadi pelatih emosi, agar ketika anak bosan atau uring-uringan, orangtua tidak terpancing sehingga tetap dapat tenang berinteraksi dengan anak,” tulis Ifa. Menurutnya, rasa bosan dan uring-uringan anak sangat wajar karena memang waktu interaksi dan bermain dengan temannya hilang karena PJJ.
Aktivitas orang tua dan anak selama pandemi. Foto: Brendon Thorne/Getty Images
Selama dua bulan terakhir, kritik yang diarahkan pada proses PJJ memang masuk akal. Jangankan membicarakan efektivitas, hal dasar seperti akses yang pokok dalam menunjang keikutsertaan pendidikan anak sekolah di Indonesia pun tak pernah benar-benar terjamin.
Belum lagi soal kendala di pihak pengajar yang lambat belajar, ketidakmampuan orang tua sebagai pendamping belajar, sampai masalah-masalah tahunan pendidikan (seperti PR dan obsesi penyeragaman) yang muncul lagi dan semakin kentara dalam situasi seperti ini.
Jika COVID-19 berlanjut, atau pandemi serupa muncul lagi di masa depan, apakah masalah ini akan mampu diatasi? Bagaimana negara menjamin generasi siswa corona ini selamat dari bencana pendidikan dan punya masa depan yang sama terjaminnya dengan generasi lain? Bagaimana peran institusi pemerintah lain, macam Kominfo (yang dulu sempat bertanya internet cepat buat apa itu) untuk memastikan akses internet di seluruh pelosok? Apa yang akan dilakukan Kemendikbud ke depannya?
Kita cuma bisa menunggu. Ketika berulang kali dihubungi untuk wawancara, Hamid Muhammad dari Kemendikbud cuma menjawab, “Isu PJJ sudah saya sampaikan ke teman-teman wartawan minggu lalu. Sebagian besar sudah dimuat.”
Memang, tak semua yang ada dalam PJJ adalah buruk. Penyampaian materi melalui video, misalnya, disebut Iwan telah jauh lebih baik menggantikan ceramah guru di kelas. Ia bisa dihentikan, diulang lagi, disetel dengan pelan-pelan, dan diulang lagi sampai siswa paham—hal yang sulit dilakukan oleh guru di kelas.
Beberapa langkah luwes Kemendikbud juga patut dipuji, seperti relaksasi penggunaan dana BOS untuk menggaji guru honorer dan membeli fasilitas ajar, juga menggunakan TVRI dan RRI agar PJJ menjangakau semua daerah. Tapi apakah cukup?
Tentu saja tak ada yang menyangka skala bencana dari pandemi corona akan jadi seperti ini. Semua serbabaru, semua serbadarurat. Namun, untuk jujur pada diri sendiri guna mempersiapkan PJJ yang lebih baik ke depannya, evaluasi dan perbaikan terhadap PJJ selama dua bulan terakhir ini adalah hal yang mutlak.
****
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak wabah corona.