Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pemerintah Persilakan Pihak yang Tolak Revisi UU MD3 Gugat ke MK
12 Februari 2018 19:09 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan DPR telah mengesahkan hasil revisi UU MD3. Dengan begitu, draf revisi UU MD3 akan segera diserahkan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dijadikan undang-undang. Namun, Fraksi PPP dan Nasdem sempat melakukan walk out pada pengesahan UU MD3 di sidang parpurna.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal tersebut, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, menilai langkah PPP dan Nasdem wajar. Yasonna mempersilakan bagi pihak yang tidak merasa puas untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Masing-masing itu sah-sah saja. Bukan sekali dua kali ini UU ada berbeda pendapat. Sah-sah sajalah. Kalau nanti ada gilirannya yang mau nguji (ke MK) silakan saja. Itu kan biasa,” katanya usai hadiri sidang paripurna pengesahan UU MD3 di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (12/2).
Yasonna pun memberikan tanggapannya soal beberapa pasal yang masih dianggak kontroversial seperti hak imunitas bagi anggota DPR. Dalam konteks ini, pemeriksaan anggota DPR harus seizin presiden dan MKD DPR. Selaku perwakilan pemerintah, ia meminta agar masalah ini tidak terlalu dipersoalkan.
ADVERTISEMENT
“Waktu kemarin itu ada putusan MK. Dalam putusan MK itu dikatakan mengenai persetujuan presiden, itu saja. Kalau pun ditambah anak kalimat “mempertimbangkan MKD” ya itu hanya untuk mempertimbangkan, tidak ada kewajiban,” tutur politikus PDIP itu.
Yasonna juga menanggapi soal pasal 122 huruf (k) dalam UU MD3 yang mengatur pengkritik anggota DPR bisa diproses hukum.
“Di beberapa negara itu ada namanya contempt of court, ada namanya contempt of parliament. Itu biasalah, enggak perlu dipersoalkan. Tentu kita dalam pengadilan kita juga tidak sembarang,” ungkapnya.
“Artinya begini, kita cobalah. Kalau enggak setuju atau merasa itu melanggar HAM, kan ada MK. Gapapa biar jalan saja,” imbuh Yasonna.
Dia menambahkan, pemerintah tak keberatan dengan adanya konsekuensi beban anggaran akibat penambahan sejumlah pimpinan DPR, MPR, dan DPD. Sebab, banyak pihak menilai penambahan kursi pimpinan DPR hanya sebatas bagi-bagi kekuasaan jelang akhir masa jabatan di DPR.
ADVERTISEMENT
“Ini kan cuma sampai periode 2019. Ini hanya merespons dinamika politik tentang perlunya keadilan respresentasi pimpinan. Di mana pun di dunia ini pemenang pemilu itu pasti ya masuk unsur pimpinan. Nah itu yang kita koreksi,” tutup Yasonna.
Live Update