Pemerintahan PM Baru Inggris Liz Truss Ambil Tindakan Keras Terhadap Migran

8 September 2022 15:47 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perdana Menteri Inggris yang baru Liz Truss berjalan di luar Jalan Downing Nomor 10, di London, Inggris, Rabu (7/9/2022). Foto: John Sibley/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Menteri Inggris yang baru Liz Truss berjalan di luar Jalan Downing Nomor 10, di London, Inggris, Rabu (7/9/2022). Foto: John Sibley/REUTERS
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri Inggris, Liz Truss, menunjuk kabinet yang beragam secara etnis usai dilantik pada Selasa (6/9). Perombakan tersebut tidak berarti apa-apa ketika pemerintah tetap menggerus hak-hak minoritas, terutama migran.
ADVERTISEMENT
Arus pencari suaka yang menyelamatkan diri menuju Inggris telah melonjak sejak 2019. Menumpangi kapal-kapal kecil, mereka mempertaruhakn nyawa dengan melintasi Selat Inggris.
Otoritas kemudian menangkap ratusan orang dan memidana puluhan lainnya dengan dakwaan kejahatan terkait penyelundupan manusia. Pemerintah mengeklaim dapat membendung migrasi dan melindungi migran menggunakan aturan tersebut.
Namun, advokat migrasi meyakini, pihak berwenang justru menghukum kelompok rentan yang hanya mencari keselamatan dan kesempatan. The New Humanitarian mendokumentasikan pola itu dalam laporan yang dirilis pada 1 September.
Ilustrasi pencari suaka. Foto: REUTERS/Adrees Latif
Pihaknya menganalisis dokumen pengadilan di Inggris, Italia, dan Yunani. Penemuan itu mencatat, banyak pencari suaka dituduh secara salah oleh otoritas di negara-negara tersebut.
Sebagian dari mereka sebenarnya mendayung perahu secara kebetulan atau karena paksaan. Saat menunggu persidangan, mereka menghabiskan berbulan-bulan atau bertahun-tahun dalam tahanan.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan struktural kemudian menjegal proses keadilan. Bila dinyatakan tidak bersalah pun, para pencari suaka akan kesulitan mendapatkan kompensasi atas penahanan mereka.
Tuntutan pidana hanya semakin mempersulit akses terhadap prosedur suaka di negara tujuan. Alhasil, mereka harus bertahan tanpa dokumen atau kembali ke negara asal.
"Orang-orang ini adalah korban sistem," jelas peneliti dari Universitas Maastricht, Flavia Patané, dikutip dari The New Humanitarian, Kamis (8/9).
Mendagri Inggris Priti Patel. Foto: AFP/DANIEL LEAL-OLIVAS
Kini, para pencari suaka mengadang ancaman lain pula di Inggris. Pemerintah berniat mendeportasi migran yang dianggap memasuki Inggris secara ilegal per 1 Januari 2022.
Pihaknya akan menerbangkan para pencari suaka itu menuju Rwanda. Kementerian Dalam Negeri Inggris mengumumkan rencana tersebut sekitar lima bulan lalu.
PBB, komite parlemen, juru kampanye, badan hukum, hingga pakar medis telah mengkritik kebijakan itu. Mereka menganggapnya tidak etis maupun legal. Kelompok-kelompok HAM meyakini, tindakan semacam itu tidak sesuai dengan negara yang dianggap 'progresif'.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Truss bersikeras melanjutkan deportasi tersebut. Menjadikan migrasi sebagai isu yang mendominasi, dia bahkan akan menggaet negara-negara lain untuk menjalin kemitraan serupa.
Skema tersebut pertama kali diperkenalkan oleh mantan Menteri Dalam Negeri Inggris, Priti Patel. Dia telah mengundurkan diri sebelum perombakan kabinet pada Selasa (6/9).
Menteri Dalam Negeri Inggris yang baru Suella Braverman, meninggalkan 10 Downing Street setelah pertemuan dengan Perdana Menteri baru Inggris Liz Truss di pusat kota London, Selasa (6/9/2022). Foto: ISABEL INFANTES/AFP
Namun, penerusnya sekarang pun tidak berbeda dari Patel. Truss menunjuk seorang politikus dengan latar belakang keluarga dari India, Suella Braverman, sebagai Mendagri Inggris.
Orang tua Braverman tiba di Inggris dari Kenya dan Mauritius pada 1960-an. Dalam pidatonya, Braverman mengenang bagaimana sang ayah, Christie Fernandes, melarikan diri dari Kenya untuk mendapatkan kehidupan baru di Inggris.
"Pada suatu pagi di bulan Februari yang dingin pada 1968, seorang pemuda, belum berusia 21 tahun, turun dari pesawat di Bandara Heathrow, dengan gugup melipat tiket sekali jalan dari Kenya," tutur Braverman, dikutip dari The Guardian, Kamis (8/9).
ADVERTISEMENT
"Dia tidak punya keluarga, tidak punya teman dan hanya memegang barang miliknya yang paling berharga, paspor Inggrisnya. Tanah airnya berada dalam kekacauan politik," imbuhnya.
Migran Afghanistan bersembunyi dari pasukan keamanan setelah menyeberang secara ilegal ke Turki dari Iran, dekat Tatvan di provinsi Bitlis, Turki, Rabu (23/8). Foto: Murad Sezer/REUTERS
Mengingat latar belakangnya, para kritikus mempertanyakan reaksi Braverman ketika harus mengusir orang-orang Afghanistan dan Iran ke Rwanda. Sebagaimana sang ayah, mereka juga melarikan diri dari kekacauan politik di negara asal.
Komentar Braverman sejak dahulu mengindikasikan jawabannya. Braverman menempatkan diri pada politik sayap kanan seperti Patel.
Ketika dilantik, dia bersumpah akan menyumbat arus migran yang menyeberangi Selat Inggris. Braverman tampaknya akan segera mengesampingkan Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa (ECtHR) demi menjamin deportasi Rwanda.
"Meninggalkan ECHR adalah satu-satunya solusi yang memecahkan masalah, dan sepenuhnya konsisten dengan hukum internasional," tulis Braverman pada Juli.
ADVERTISEMENT

Skema Deportasi Rwanda

Ilustrasi pencari suaka. Foto: DANIEL BECERRIL/REUTERS
Kemdagri Inggris meluncurkan Kemitraan Migrasi dan Pembangunan Ekonomi pada 14 April. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah akan mengalihkan orang-orang agar mencari suaka di Rwanda daripada di Inggris.
Sebagai imbalan, Inggris memberikan jutaan pound dalam bentuk dana pembangunan. Pemerintah telah menggelontorkan pembayaran muka sebesar GBP 20 juta (Rp 342 miliar) pada 29 April 2022.
Inggris lalu menambahkan pembayaran senilai GBP 120 juta (Rp 2 triliun). Namun, rencana tersebut menemui kebuntuan beberapa menit sebelum penerbangan pertama lepas landas pada 14 Juni.
Pasalnya, ECtHR melakukan intervensi usai mendapati laporan dari pencari suaka. Pihaknya jarang melakukan intervensi semacam itu.
Inggris bersikeras bahwa kebijakannya dapat melindungi migran dan memberantas penyelundupan. Tetapi, kelompok hak asasi meyakini, Inggris melanggar hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Sebab, deportasi justru menekan pencari suaka untuk segera melintasi perbatasan. Arus pencari suaka lantas meningkat sejak pengumuman pemerintah Inggris.
Akibat ancaman deportasi, para pencari suaka juga terdesak mempertaruhkan nyawa. Mereka menyusuri jalur yang lebih berbahaya atau mencari jaringan perdagangan manusia.
Bahkan sebelum mengalami deportasi, para pencari suaka telah menanggung imbasnya. Kelompok HAM, Medical Justice, memublikasikan laporan terkait pada 1 September.
Ilustrasi perdagangan manusia. Foto: Shutterstock
Pihaknya menghubungi 36 dari 51 tahanan imigrasi dalam skema Rwanda. Sambil menunggu proses Pengadilan Tinggi, mereka harus bertahan dalam tahanan.
Semua individu dalam penelitian itu mencari keselamatan dan keamanan di Inggris. Sebagian dari mereka memiliki keluarga yang sudah tinggal di negara tersebut. Mereka berasal dari Iran, Irak, Suriah, Eritrea, Vietnam, Mesir, dan Albania.
ADVERTISEMENT
Organisasi itu menemukan, pemerintah tidak memberlakukan penyaringan. Alhasil, otoritas menargetkan kelompok-kelompok rentan, termasuk penyintas penyiksaan dan perdagangan manusia. Sebagian dari mereka bahkan memiliki kondisi kesehatan mental.
Hingga 26 pencari suaka dalam penelitian tersebut mengungkap riwayat penyiksaan. Sementara itu, 17 pencari suaka lainnya pernah terjebak dalam perdagangan manusia.
Selama mendekam di pusat imigrasi, 15 orang menunjukkan gejala gangguan stres pascatrauma dan 11 lainnya memperlihatkan keinginan untuk bunuh diri.
Pemerintah sendiri telah mengakui bahwa deportasi mungkin tidak aman bagi semua orang. Menghadapi penahanan dan risiko deportasi, kesehatan mereka berangsur memburuk.
Para pencari suaka bahkan mendapatkan kabar tentang deportasi antara 2-28 hari setelah tiba di Inggris. Dalam menjalani proses itu, mereka tidak mendapatkan fasilitas yang mencukupi. Pemerintah tidak menyediakan penasihat hukum maupun penerjemah.
ADVERTISEMENT

Hambatan Hukum

Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Penerbangan deportasi hanya mengalami penangguhan sementara. Usai dicegat, Inggris mengumumkan RUU Penghapusan Hak untuk membantunya mengabaikan putusan ECtHR.
RUU tersebut menyatakan, Mahkamah Agung Inggris memiliki supremasi hukum. Sehingga, pemerintah tidak perlu menuruti perintah terkait deportasi Rwanda dari ECtHR.
Sementara itu, pemerintah juga mengadang tuntutan para pencari suaka di Pengadilan Tinggi Inggris. Proses hukum tersebut akan berjalan selama lima hari dari Senin (5/9). Pihaknya kemudian akan mengeluarkan putusan menjelang akhir tahun ini.
Dalam pengadilan, Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) turut melakukan intervensi. Pihaknya menggarisbawahi temuan-temuan mencengangkan.
PBB mengatakan, Rwanda bukanlah negara tujuan aman untuk pencari suaka dalam skema Inggris. Pemerintah dikatakan tidak meninjau situasi dengan benar.
Pembaca melihat surat kabar 12 Juni 2002 di Nairobi yang menunjukkan foto Felicien Kabuga yang buron. Foto: REUTERS / George Mulala
Pengadilan menambahkan, pemerintah sebenarnya mengetahui pelanggaran HAM di Rwanda. Para pejabat pernah menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi tersebut pula.
ADVERTISEMENT
Rwanda memiliki rekam jejak merekrut pengungsi untuk operasi bersenjata di negara-negara tetangga. Otoritas juga kerap melanggar HAM untuk mengendalikan publik di Rwanda.
Kasus-kasus penyiksaan dan pembunuhan lawan politik marak terdengar dari negara tersebut. Namun, para menteri dilaporkan sengaja mengabaikan bukti-bukti terkait Rwanda.
"Rwanda adalah negara otoriter satu partai yang tidak menoleransi oposisi politik. Ini adalah rezim yang berulang kali memenjarakan, menyiksa, dan membunuh orang-orang yang dianggapnya sebagai lawan politiknya," terang pengacara para pencari suaka di Pengadilan Tinggi, Raza Husain QC, dikutip dari The Guardian.
"Mereka yang memprotes atau tidak setuju dengan arahan pemerintah, termasuk pengungsi, menghadapi kekerasan polisi. Semua pengamatan itu diambil dari pejabat pemerintah kita sendiri," lanjut dia.
Tengkorak warga Rwanda yang menjadi korban pembantaian di tahun 1994. Foto: Reuters
Pihaknya juga membeberkan risiko kekerasan yang mengancam para pencari suaka dalam skema tersebut. PBB menegaskan, Inggris melanggar hukum dalam negeri dan internasional.
ADVERTISEMENT
PBB merujuk pada Konvensi Pengungsi 1951. Inggris merupakan salah satu pendiri perjanjian internasional tersebut.
Kendati demikian, Truss menolak untuk menghiraukan kekhawatiran itu. Dia bersikeras akan mewujudkan proses deportasi menuju Rwanda dan membuat ECtHR tunduk pada Inggris.
"Kebijakan Rwanda adalah kebijakan yang tepat. Saya bertekad untuk mendorongnya hingga implementasi penuh, serta menjelajahi negara-negara lain yang dapat kami ajak bekerja sama dalam kemitraan serupa. Ini adalah hal yang benar untuk dilakukan," ujar Truss, dikutip dari Daily Mail.
"Perbatasan Inggris akan dilindungi selama kepemimpinan saya dan saya akan melakukan apa yang diperlukan untuk membuat kesepakatan Rwanda dilaksanakan sepenuhnya dan juga melihat pengaturan lain dengan negara lain," pungkasnya.