Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Pemilih Jawa Timur, dari Tradisional Menjadi Rasional
9 Juli 2018 10:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Lekat dengan kultur keislaman dan pengaruh budaya patriarki tak menghalangi Jawa Timur untuk memiliki kepala daerah perempuan. Buktinya, provinsi dengan 38 kabupaten dan kota itu akan memiliki seorang gubernur, sembilan kepala daerah, dan lima wakil kepala daerah berjenis kelamin perempuan.
ADVERTISEMENT
“Nggak pernah ada ucapan, ‘Ah, wong wedok (perempuan)!’ Lanang, wedok, yo wis tarung. Laki atau perempuan, silakan tarung asal kerja keras,” ujar Eva Kusuma Sundari, anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Timur VI.
Tak ada resistensi masyarakat terhadap perempuan. “Karena sub-kulturnya, Islam-nya Islam NU. Dan Islam NU tidak menyoal laki perempuan,” ucap Eva.
Maka kemenangan Khofifah Indar Parawansa beserta delapan perempuan lainnya, baik sebagai kepala daerah maupun wakil, menjadi angin segar di dunia perpolitikan. Ia berharap keterpilihan para perempuan bisa menggeser stigma negatif dari masyarakat terhadap politik.
“Saya bahagia. Mudah-mudahan ketika banyak perempuan yang kemarin sudah bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, kita bisa menunjukkan low politics, politik yang makin soft, politik yang main friendly ,” kata Khofifah kepada kumparan, pada Jumat (6/7).
ADVERTISEMENT
Jawa Timur kini menjadi provinsi dengan jumlah kepala daerah perempuan terbanyak di Indonesia. Ia berhasil melepaskan diri dari paham patriarki yang berkata bahwa pemimpin itu harus laki-laki.
Tak hanya itu, masyarakat Jawa Timur juga dikenal sebagai pemilih rasional yang memiliki independensi dalam memilih. Menentukan pilihan siapa yang dicoblos di balik bilik suara tak lagi tergantung pada ucapan-ucapan tokoh masyarakat atau kiai.
“Mereka menghormati kiai. Tapi ketika masuk ke pilihan politik, pengaruh kiai itu lepas. Banyak warga yang menentukan pilihan sendiri secara independen,” kata sosiolog Universitas Airlangga, Novri Susan, kepada kumparan.
Bagaimana pergeseran pola pikir itu terjadi? Untuk menjawab fenomena tersebut, kumparan berbincang-bincang dengan beberapa pakar politik dan sosiolog asal Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Berikut kutipan perbincangan kami bersama Abdus Sair, dosen sosiologi dari Universitas Wijaya Kusuma; pakar komunikasi politik Suko Widodo, pengamat politik Airlangga Pribadi, dan sosiolog Novri Susan dari Universitas Airlangga.
Bagaimana karakter pemilih di Jawa Timur saat ini sehingga dapat menelurkan 10 pemimpin perempuan?
Novri Susan: Masyarakat Jawa Timur ini merupakan masyarakat yang memiliki independensi dalam memilih sangat tinggi. Mereka merupakan masyarakat yang rasional.
Sehingga ketika memilih pemimpin politik mereka itu tidak lagi terikat oleh paham-paham tradisional atau klaim-klaim tradisional, mungkin lebih spesifik klaim patriarki, yang menyebutkan bahwa pemimpin adalah harus laki-laki.
Namun yang mereka lihat adalah kapasitas, kemampuan dari seorang pemimpin entah mengelola jaringan kelompok dia dalam secara kebijakan, organisasi, dan termasuk juga retorika dalam berbicara di publik.
Suko Widodo: Ada perubahan mendasar di dalam komunikasi politik, di dalam distribusi informasi. Orang pengin, anak-anak milenial terutama—tidak hanya anak muda tapi kaum intelektual—itu membuat keputusan yang sangat rasional dan itu bukan yang di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Dulu hanya di Surabaya dan sekitarnya. Ternyata ketika saya riset di Madiun, kemudian di Blitar dan di beberapa tempat, acara debat itu menjadi rujukan (dalam menentukan pilihan) dan dia bisa mengaksesnya kapanpun.
Kualitas itulah yang kemudian dilihat dan itu kemudian menggeser dari pilihan-pilihan yang sebelumnya hanya mengikuti komunikasi tradisional (patronase kiai-santri) dan dari tokoh. Maka sekarang masyarakat buat keputusan berdasarkan itu (debat politik). Sangat rasional sekali.
Airlangga Pribadi: Saya lihat bahwa, pertama di kalangan santri di Jawa Timur sudah tidak terlalu melihat hambatan-hambatan berbasis gender itu sebagai pertimbangan mereka dalam memilih. Justru di kalangan santri proses (memilih perempuan) itu bisa menjadi baik karena memenuhi khazanah pemikiran, tradisi, pemikiran Islam.
ADVERTISEMENT
Sedangkan netizen dalam politik Jawa Timur nyaris tidak memainkan isu-isu yang memprovokasi kebencian berdasarkan agama. Yang kita lihat malah maraknya media sosial yang digunakan untuk ajang merayakan kebudayaan.
Sejak kapan tren tersebut berkembang?
Abdus Sair: Saya sih melihatnya pilkada serentak tahap kedua, jadi mulai terbuka. Mungkin prosesnya memang sudah dimulai beberapa tahun yang lalu, tetapi pilkada tahap ketiga ini adalah implikasi dari proses yang sangat panjang itu.
Pemimpin lokal ini yang punya kinerja bagus itu kan dilihat. Itu barangkali yang kemudian membangun satu persepsi yang sama bahwa ternyata pemimpin perempuan itu juga bisa dan bagus juga hasilnya.
Itu yang saya sebut efek dari pemimpin perempuan terhadap cara pandang masyarakat kita. Dan itu dimulai ketika pilkada kedua itu dimulai, ketika ada perempuan maju. Dan contoh yang paling nyata dalam hal ini adalah Bu Risma.
Novri Susan: Sebenarnya ini belum terlalu lama dalam konteks demokrasi kita di Indonesia. Dari tahun 1999 sampai tahun 2009 itu sebenarnya pola patriarki masih cukup dominan.
ADVERTISEMENT
Akses masyarakat terhadap pendidikan politik melalui media sosial itu menjadi semakin tinggi itu sejak tahun 2007, 2008, dan 2009. Nah sejak 2009 itulah kemudian saya lihat ada perubahan cara berpikir dalam masyarakat terutama bagaimana independensi mereka di dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin politik.
Bahkan ikatan masyarakat terhadap kiai itu makin berkurang. Mereka menghormati kiai, tetapi ketika masuk dalam pilihan politik, mereka lepas. Kita tahu bahwa dalam tradisi kiai masih menyebutnya pemimpin itu laki-laki. Tapi ternyata itu tidak banyak berpengaruh.
Dan itu terjadi juga di Pilgub Jatim 2018 , ketika sebagian besar kiai merujuk kepada pasangan yang laki-laki namun ternyata banyak masyarakat yang menentukan pilihannya sendiri secara independen.
ADVERTISEMENT
Ke depan, isu patriarki sudah tidak lagi bisa dipakai. Karena saat ini yang berkembang adalah bagaimana seorang pemimpin politik itu berkualitas, bisa dianggap oleh masyarakat akan memberikan keuntungan bagi mereka melalui kebijakan-kebijakan yang diambil ketika mereka terpilih.
Suko Widodo: Tahun ini puncaknya. Sekarang terbukti bahwa tidak lagi kita bisa mengandalkan patron-klien seperti patriarki itu. Saya kira hubungan itu sudah mulai runtuh.
Track record menjadi kunci penting di masa mendatang dan (informasi) itu bisa diambil lewat media sosial. Jadi hati-hatilah politisi ke depan kalau Anda punya dosa.
ADVERTISEMENT
Jawa Timur, contoh yang menjadi rujukan karena masyarakatnya rasional. Apalagi di sini, isu imbauan dari kiai-kiai misalnya pemimpin harus laki-laki, itu sudah selesai di Jawa Timur.
Jadi tampilnya perempuan itu bukan karena tampilnya satu orang saja, karena masyarakatnya sudah welcome terhadap persoalan gender itu. Itu persoalan sudah selesai 15 tahun yang lalu. Sudah dibantah dan para kiai pun sudah menerima.
Sehingga ketika isu itu mau dibawa ke sini, gagal. Karena apa? Karena ada kesadaran bahwa ada perempuan yang hebat.
Bagaimana pemilih rasional itu bisa terbentuk?
Novri Susan: Ya ini ditambah faktor perkembangan digital yang kita lihat saat ini. Aktor-aktor pemimpin politik perempuan tidak ketinggalan dalam memanfaatkan teknologi digital, termasuk media sosial, untuk menunjukkan kemampuan-kemampuan mereka. Sehingga itu mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi.
ADVERTISEMENT
Sejak periode di mana masyarakat bisa mempelajari kualitas pemimpin politik itu melalui media-media yang lebih terbuka seperti media sosial, akses internet, sumber-sumber referensi yang tersedia secara luas dan bisa mereka akses secara bebas melalui gadget, itu menciptakan transformasi kesadaran berpolitik.
Dalam konteks ini kesadaran di dalam memilih pemimpin politik ternyata sebagian masyarakat tidak lagi terikat pada nilai patriarki itu.
Suko Widodo: Kekuatan media sosial itu luar biasa. Kalau dulu komunikasi itu mungkin two step, jadi dari kandidat turun ke kiai, kiai kemudian menyebarkan ke santrinya atau masyarakat.
Tapi sekarang, dia bisa mengakses langsung, jadi one way. Bahkan dia bisa berinteraksi lewat media sosial. Itu yang meruntuhkan hubungan-hubungan yang tradisional tadi.
ADVERTISEMENT
Apa saja ciri-ciri atau karakter pemilih di Jawa Timur?
Novri Susan: Pertama, masyarakat atau perilaku pemilih sebenarnya sudah memiliki kesadaran ideologis. Kedua, masyarakat primordial.
Masyarakat primordial ini masyarakat yang menganggap bahwa apapun yang harus dilakukan di kehidupan di dunia, termasuk dalam berpolitik, itu harus mengikuti jalur-jalur pemandu tertentu. Terutama, berkaitan dengan etnis dan keagamanaan, itu ada kiai ada ketua adat misalnya ya. Namun jumlahnya saya pikir sudah semakin berkurang.
Ketiga adalah masyarakat rasional itu tadi. Masyarakat yang dalam menentukan pilihan itu berdasarkan pada basis pengetahuan dia yang diambil dari kalkulasi apakah pemimpin nanti bisa melakukan perubahan yang baik untuk dia atau tidak.
Misalnya selama ini dia merasa bahwa transportasi publik di Jawa Timur sangat jelek, kemudian dia melihat bahwa problem-problem dari elit tertentu itu menyinggung persoalan transportasi, maka dia akan melihat ke sana.
Artinya itu masyarakat rasional. Jadi ada kalkulasi untung atau tidak untung di dalam memilih pemimpin.
ADVERTISEMENT
Keempat, masyarakat pragmatis. Nah, masyarakat pragmatis ini adalah masyarakat yang mereka itu dalam memilih tidak berdasarkan penilaian tetapi seringkali gambling atau ini masyarakat yang selama ini menjadi bagian dari, tapi tidak selalu ya, money politic. Jadi, misalnya ketika elit-elit politik tertentu memiliki uang, lalu mereka menerima, kemudian mencoblos. Ini masyarakat pragmatis.
Abdus Sair: Beberapa tahun belakangan, memang ada revolusi industri dan komunikasi. Akhirnya cara mereka menentukan pilihan politik itu sedikit agak berubah.
Kalau dulu, mereka itu lebih menunggu apa yang dikatakan oleh elit lokal, terutama para kiai. Nah belakangan mulai agak bergeser walaupun tidak 100 persen, tapi ada pergeseran menurut saya.
Di Jawa Timur, khususnya di daerah Madura dan Tapal Kuda (timur Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi), ada istilah bahasa Madura: Bhapa' Bhabu' Guru Rato. Artinya pertama, bapak (bhapa’); kedua, ibu (bhabu’); ketiga, kiai (guru); keempat, ratu (rato) yang pengertian lokalnya adalah kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Itu adalah susunan untuk menentukan pilihan. Jadi kalau hendak memilih calon, bapak dulu yang dimintai pendapat, lalu ibu. Kalau tidak ada bapak dan ibu, ke kiai. Setelah kiai baru ke pemerintah lokal.
Nah sekarang adat itu agak bergeser. Karena media, mereka bisa membaca, ‘Wah ini bagus, punya gaya bagus, pengalaman bagus’, informasi itu mempengaruhi mereka.
Airlangga Pribadi: Di Jawa Timur ada kelompok Mataraman. Orientasi politik mereka itu lebih dekat dengan kalangan-kalangan nasionalis. Mereka memiliki identifikasi kultural dengan sumbu-sumbu Sukarno.
ADVERTISEMENT
Kemudian di wilayah Tapal Kuda, kuat dengan basis santri, asosiasi masyarakat sipil yang dekat dengan NU. Lalu Arek, itu relatif karena representasi wilayah-wilayah seperti Surabaya dan Malang. Kecenderungan mereka adalah pemilih rasional.
Apakah banyaknya pemimpin perempuan yang terpilih itu berbanding lurus dengan keterwakilan perempuan dalam politik?
Novri Susan: Ketika kita mau melihat aksi politik para perempuan, itu harus kita lihat konteksnya. Tidak bisa melakukan generalisasi. (Harus melihat) konteks per wilayah.
Kita tidak bisa mengatakan bahwa ketika banyak perempuan terpilih dan menjadi pemimpin politik daerah, kemudian langsung menggambarkan bahwa mereka itu menjadi bagian dari kemenangan demokrasi.
Yang kita takutkan ada bagian-bagian dari permainan dinasti politik. Namun kita bisa abaikan itu dululah. Bahwa kita melihat masyarakat sudah melihat perempuan sebagai figur politik yang tidak kalah dengan laki-laki juga penanda bahwa masyarakat sudah memahami kelas-kelas strategi politik.
ADVERTISEMENT
Airlangga Pribadi: Kita harus berterima kasih terhadap proses affirmative action dalam dunia politik kalau sekarang dengan pemberian ruang, tidak hanya kuota tapi juga di sisi lain semakin sadarnya publik terhadap potensi-potensi dari para politisi atau pemimpin-pemimpin perempuan yang baik. Itu juga memberikan pengaruh.
Saya lihat bahwa ini adalah tren yang cukup baik. Artinya publik semakin sadar bahwa faktor meritokrasi (memberikan kesempatan seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi) itu tidak menjadi tekanan. Menjadi perempuan tidak berarti lebih rendah, lebih tidak memiliki kapasitas, atau lebih tidak memiliki kualitas.
ADVERTISEMENT
------------------------
Simak rangkaian laporan mendalam Perempuan Penguasa Timur Jawa di Liputan Khusus kumparan.