Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pemuda Asia Afrika Menyoal Kunjungan Jokowi ke Ukraina-Rusia, Ini Penjelasannya
5 Juli 2022 20:25 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Pemuda Asia Afrika (Asian African Youth Government/AAYG) menyelenggarakan webinar internasional dengan tema “Dampak Konflik Rusia -Ukraina Terhadap Ekonomi Asia-Afrika” pada Senin (4/7).
ADVERTISEMENT
Konflik Rusia-Ukraina telah mengakibatkan adanya gelombang krisis ekonomi khususnya di kawasan Asia dan Afrika.
Presiden AAYG periode 2021-2026, Respiratori Saddam Al-Jihad, menyampaikan negara-negara Asia dan Afrika selain masih berkutat dengan problematika politik dan sosial budaya, juga diperparah persoalan ekonomi sebagai dampak dari konflik kedua negara tersebut dan pandemi COVID-19.
Sebab itu, Saddam berharap para pemuda dapat merumuskan solusi dan kebijakan dalam mengatasi masalah kritis ini, mengingat persoalan pangan semakin kerasa di Afrika dan Asia.
“Saya sangat berharap forum ini bisa membahas problematika khususnya potensi krisis ekonomi di Asia dan Afrika, kemudian merumuskan solusi bagaimana kita berkontribusi untuk penyelesaian konflik. Pemirintah pun juga bisa fokus pada pemulihan ekonomi pasca COVID-19,” kata Saddam dalam sambutannya.
Sementara itu, dosen Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR Jakarta, Gracia Paramitha, dalam kesempatan yang sama, berpendapat misi perdamaian yang dibawa Presiden RI Jokowi melalui kunjungan diplomatik ke Rusia dan Ukraina merupakan inisiatif yang bagus.
ADVERTISEMENT
Apalagi tugas Jokowi dan Indonesia saat ini sebagai Presiden G20. Namun, menurutnya, tidak bisa hanya mengandalkan pertemuan itu sebagai faktor penentu keberhasilan penyelesaian perdamaian.
"Perjalanan masih panjang dan misi itu masih merupakan langkah awal yang dilakukan. Beberapa media mengatakan bahwa Joko Widodo menerima pesan dari (Presiden Ukraina) Zelensky kepada (Presiden Rusia) Putin tetapi beberapa yang lain mengatakan bahwa itu tidak benar," ujarnya.
Gracia menegaskan hal-hal tersebut menjadi faktor lain yang perlu dianalisis juga. Apalagi sejumlah negara anggota G20 masih kontra terhadap Rusia.
"Hal itu merupakan langkah yang baik bagi Joko Widodo dalam mencoba meredakan eskalasi kelangkaan pangan dan pupuk. Namun, misi tersebut tidak menentukan peluang yang lebih besar untuk mendapatkan ekspor dan impor yang lebih besar, atau pun menentukan tidak akan ada lagi sanksi ekonomi dari negara-negara barat. Ketegangan masih cukup tinggi di dalam G20 itu sendiri," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan TI AAYG Naoufal Oulda, menambahkan penjelasan terkait fokus cara negara merancang strategi dalam menghadapi masalah ekonomi. Perang, menurutnya, telah menyebabkan negara-negara mengalami inflasi setelah lonjakan harga energi.
“Gas alam sekitar 25% dari sumber energi global. Jadi, harga energi menjadi mahal karena banyak impor dari Rusia dan Ukraina. Sanksi ekspor gas dari Rusia disebut juga sanksi ekonomi ke negara lain, terutama di negara-negara Asia. Itu akan membatasi dinamika ekonomi di semua negara,” terangnya dalam webinar tersebut.
Oulda juga mendorong pemerintah mengedepankan pertanian lokal dan energi terbarukan, seperti energi matahari dan angin dalam rangka mengurangi ketergantungan pada pasokan energi dari Rusia dan Ukraina.
“Kita juga harus memiliki otonomi di sektor pertanian. Kami mendorong pemerintah dan organisasi untuk mendukung mereka, terutama kaum muda, dalam mewujudkan ide-ide dengan mendorong start-up dan perusahaan kecil dalam perspektif youth collaboration," paparnya.
Lebih lanjut, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan AAYG Mohammad Zaman Bajwa yang bertindak sebagai pembicara kedua telah menyoroti bagaimana konflik Rusia-Ukraina berdampak pada impor dan ekspor negara. Mengingat sebagian besar ekonomi Asia dan Afrika bergantung pada energi impor dari Ukraina dan Rusia.
ADVERTISEMENT
“Pada tahun 2021, Kenya mengimpor 30% dari konsumsi gandumnya dari Ukraina. Kamerun mengimpor 44% pupuk dari Rusia. Ghana 60% produksi besinya berasal dari Ukraina dan Rusia,” rincinya.
Dia menegaskan ketergantungan impor dapat memperlambat proyek pembangunan akibat kenaikan harga komoditas.
“Jika mereka tidak mampu membeli barang, semua negara akan mengekspor barang-barang ini. Ketika negara ini tidak akan mengekspor, ekonomi yang lebih lemah harus bisa memfasilitasi orang. Dalam hal ini, mereka akan mendapatkan pajak yang rendah. Mereka tidak akan menghabiskan uang untuk pembangunan," paparnya.
Dengan melihat kondisi yang terjadi, menurutnya, upaya seperti yang dilakukan Jokowi dengan menjembatani Ukraina-Rusia, seharusnya turut dilakukan para pemimpin dunia lainnya.
“Jadi, situasi ini harus dihentikan karena tidak hanya berdampak pada ekonomi global saja. Yang penting adalah tekad para pemimpin global, seperti Jokowi yang mengambil tanggung jawab untuk mencoba menengahi antara dua kekuatan,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT