LIPSUS- Pemuda Pancasila- Arif Rahman

Pemuda Pancasila: Kami itu Free Man, Bukan Preman

6 Desember 2019 17:04 WIB
comment
17
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kawasan parkir yang dikelola anggota Pemuda Pancasila di Kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kawasan parkir yang dikelola anggota Pemuda Pancasila di Kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Bendera loreng hitam oranye milik Pemuda Pancasila memenuhi pinggiran jalan kawasan komersial Kemang Raya, Jakarta Selatan. Tiap sekian meter di sepanjang jalan itu tampak pria-pria mengenakan seragam berwarna serupa. Mereka sibuk memberi aba-aba untuk setiap kendaraan yang masuk atau keluar area parkir. Setelahnya, mereka duduk dengan pandangan awas memantau area sekitarnya.
Keberadaan anggota ormas PP di lahan-lahan parkir di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya memang cukup jamak. Ormas yang mengklaim dirinya sebagai kelompok nasionalis ini berkata bahwa tugas menjaga parkir merupakan salah satu bentuk pemberdayaan anggota. Di luar perdebatan atas fungsi para tukang parkir, mereka yang hidup di jalur ini berhadapan dengan dunia yang cukup keras dan stigma sebagai preman atau begundal.
Sekretaris Jenderal Pemuda Pancasila, Arif Rahman. Foto: Dok. Istimewa
Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Pemuda Pancasila Arif Rahman tak membantah bahwa kader di bawah naungan organisasinya memang kebanyakan berlatar belakang preman. Menurutnya, PP hadir untuk membina para preman itu sehingga tak meresahkan masyarakat.
“Kan tidak ada program dari pemerintah untuk melakukan pembinaan. Kami justru hadir untuk mengisi ruang itu," kata Arif Rahman ketika ditemui kumparan di sekretariat DPP PP pada Kamis, (6/12).
Keberadaan preman dalam tubuh PP mau tak mau turut membentuk wajah organisasi. Sadar dengan citra itu, PP mengaku terus membina anggotanya yang mengelola parkiran agar tak terus dicitrakan berandalan. Berikut wawancara lengkap reporter kumparan, Dwi Herlambang dan Nesia Qurrota, bersama Arif.
Bendera Pemuda Pancasila. Foto: Irfan Adi Saputra/kumpara
Mengapa ormas Pemuda Pancasila melakukan pembinaan anggota dengan cara mengelola parkiran?
Pada 28 oktober 1959 PP lahir dalam rangka mengamankan kembalinya ke UUD 45 dan ideologi Pancasila. Pada saat itu tidak ada yang berani berhadap-hadapan langsung dengan PKI, juara keempat pemilu.
Karena dibentuk untuk mengimbangi PKI, tentu yang diambil orang yang berani, orang free man istilahnya. Bukan preman sebenarnya. Tapi karena di-bahasa-Indonesia-kan, jadi preman. Sebenarnya orang yang direkrut sama kita, orang free man, orang yang bebas. Membantu negara menjaga ideologi bangsa.
Ada yang jadi calo tiket bioskop, ada yang parkiran, jagoan pasar, memang orang berani semua. Mereka bekerja itu untuk cari makan, urusan perut. Bukan urusan politik nih kalau PP. Keterpanggilan kita menjaga ideologi bangsa dan menjaga konstitusi negara karena panggilan sejarah.
Kalau tarikannya ke parkir ya memang anggota kita banyak di bawah, di grassroot. Tapi di satu sisi itu lagi, mereka di sana kan harus survive, mereka di sana harus menghidupi keluarganya. Lalu di lingkungan terdekatnya dia ada lahan yang bisa dia kelola untuk dia hidup, ya semua juga tau sendiri apalagi zaman sekarang cari kerja susah ya, artinya ya itu memang sudah dari dulu berjalan.
Tapi sekarang terus terang kita formatnya justru sudah lebih agak meningkat, agak profesional. Ada perusahaan, ada pengelolaan parkir, dan sebagainya. Nggak tahu ya kalo ormas-ormas yang lain masih pakai cara lama kita ya mungkin itu hak merekalah.
Bagaimana kader PP bisa mendapat lahan parkir dan menjaga parkiran itu? Apakah ada bantuan pengurus atau mereka mencari sendiri?
Jadi ini kan ormas terstruktur. Jadi jangan salah loh, Pemuda Pancasila punya struktur sampe ke tingkat RW. Jadi bukan hanya di pusat, di provinsi, kabupaten-kota, ada juga di kecamatan, ada juga di kelurahan, ada juga di RW, pimpinan anak ranting paling bawah itu. Artinya ya kita memang masyarakat yang ada di bawah, di lingkungan mereka masing-masing dan kita memang ada di sana.
Kalau di lingkungan mereka, mereka harus survive. Seperti saya bilang tadi, mereka gak punya pekerjaan, lalu ada tempat-tempat yang memang bisa mereka jaga karena lingkungan dia juga gitu kan, terus mereka bisa bantu parkir di situ, dan disepakati disetujui oleh yang pemilik tempat.
Ibaratnya saya punya tempat di satu tempat, ada tempat parkirnya, saya tahu anak-anak lingkungan situ bisa jaga, punya kantor saya di situ, pasti saya serahin ke mereka, aman. Artinya kan dari sisi itu ada hubungan simbiosis mutualisme lah, kebutuhan antarmasyarakat di bawah. Dan kita gak bisa atur itu. Mereka kan berjalan dengan sendirinya, alamiah lah.
Bagaimana pimpinan majelis pusat membina anggotanya yang menjadi tukang parkir?
Masing-masing majelis pimpinan, ada majelis pimpinan wilayah di tingkat provinsi, ada majelis pimpinan cabang di tingkat kabupaten kota. Mereka tentu punya anggota, punya aktivitas. Apakah aktivitas grassroot-nya di parkir kah, kelola pasar kah, mengelola tempat hiburan dan sebagainya, ada juga yang kerja di pabrik dan sebagainya. Rata-rata memang bekerja.
Kalau kami melihatnya selagi dia memiliki penghasilan dan itu halal, disepakati itu merupakan pekerjaan mereka. Tinggal gini, kalau cerita lucunya negara kan tidak hadir untuk melakukan edukasi terhadap mereka dan kami hadir untuk mengisi ruang-ruang itu.
Artinya justru dengan dia ada parkiran, dia ada pekerjaan-pekerjaan di pasar dan sebagainya. Mohon maaf, misalnya dia tadinya penjahat, bisa jambret, biasa nyopet, tapi karena dia ada kegiatan dia harus markir, harus nyari uang halal akhirnya. Itunya (kejahatannya) hilang. Ketika dia di masyarakat mungkin dia penjahat segala macem, tapi ketika dia ikut kegiatan kita berkurang aktivitas kejahatannya. Kan itu tidak ada program dari pemerintah untuk melakukan pembinaan.
Kawasan parkir yang dikelola anggota Pemuda Pancasila di Kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Tapi preman yang menguasai lahan parkir kerap dicitrakan buruk bukan?
Makanya jangan juga dilihat hanya dari sisi negatifnya aja. Makanya saya mau pesan, lihatlah ormas-ormas yang ada di Indonesia, apa sih kontribusinya untuk menjaga kestabilan sosial yang ada di bawah, karena mereka juga berbuat banyak. Kalau bisa, dilihat lah jejak digitalnya. Setiap bencana pasti PP hadir, sebelum Basarnas hadir kadang-kadang kita udah hadir duluan karena kita punya kepekaan itu untuk ikut sama-sama membantu pemerintah untuk menjaga.
Padahal kan sempit menurut kita yang mengerti. Nah ini PR kita untuk melakukan edukasi dan kita berharap juga pemerintah bersinergi (dengan kami) bukan musuhin. Karena begini, tidak ada genetiknya PP untuk berkhianat ke negara. Tapi kalau untuk cari makan dia berantem di bawah, ya semua juga banyak, enggak kita aja. Artinya, namanya grassroot masyarakat, gesekan (ya wajar).
Adu otot di grassroot antara PP dan FBR cukup sering terjadi ya?
Sebenarnya kalau ormas sejenis kaya PP, (FBR) itu kan PP ini saudara tua sebenarnya. Hampir rata-rata (ormas baru) itu yang muncul itu ya dulunya dari PP juga. Jadi sebenernya kaya kemarin mungkin Mendagri ingin membuat cluster buat kami, ya monggo silakan. Tapi di satu sisi harus dilihat juga produktif atau kontra produktif.
Sebenernya kan yang penting dibuka dulu, diundang, mana saja sih… kan bisa dipetakan, mana aja ormas-ormas yang kira-kira katagori rawan, kategori yang masih bisa untuk di edukasi, kategori yang memang sudah rapi dan bagus, kan bisa diajak dialog.
Dan di atasnya, kita fine-fine aja. Ini kan yang namanya preman baru muncul, merasa jagoan, ingin menunjukkan nama apa ya begitulah yang namanya dunia di bawah. Makanya saya bilang, edukasinya mereka enggak sampai. Mereka taunya, ‘Pokoknya oh ini tempat gue, gue ga mau tau’, dan urusannya ya otot.
Kalau di PP itu ada filosofi, ada otot, olah, otak. Artinya ada tiga itu, di satu sisi sekarang inikan kita sudah mulai berbenah. Artinya dulu mungkin parkir grassroot-nya mungkin banyak, sekarang mungkin sudah pengelola parkir yang memiliki legalitas. Artinya lebih meningkatkan lagi dari yang dulu.
Ormas Penguasa Parkiran Jakarta. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Apa yang menyebabkan antar anggota ormas menghadapi gesekan di lapangan?
Itu sudah pasti karena tujuannya memang itu. Dia punya keluarga, misal anak satu, sekolah dan harus cari makan, punya istri. Di lingkungan dia, yang dia kenal istilahnya di kampungnya dia ada kantor, ada parkiran, ya dia izin (jaga parkir). Kerja jadi direktur enggak mungkin, kerja jadi manajer enggak mungkin, karena mungkin edukasinya enggak sampe ya jadinya apanya yang bisa kerjain ya jaga parkir.
Sebenarnya mereka kan realistis dan perlu dicatat anak-anak PP itu tidak pernah lari dari tanggung jawab. Ketika mereka ribut, berantem mereka harus hadapi, enggak ada yang kabur, buron, ketangkep ya ketangkep. Karena memang sumber (pekerjaannya) cuma itu enggak ada yang lain. Memang menarik kalau bicara ormas tapi perjalanan ini perubahannya udah luar biasa sekarang.
Apakah gesekan dengan ormas lain masih terus berlangsung?
Pasti ada gejolak lah, yang diurus kan manusia, bukan barang yang dipindahin diem aja. Ini kan orang yang punya otak, punya pikiran, punya perasaan. Sebenarnya kan begini, kalau teman-teman mau jujur, adakan survei. Dari sekian ribuan tempat parkir, paling yang berkasus di bawah 3 persen. Jadi jangan digeneralisir, wah ini rame (ribut tukang parkir), ini kan cuma isu saja, karena udah jadi isu seakan-akan rame padahal banyak kok yang tenang-kadang aja, yang damai-damai aja.
Yang di satu lokasi ada PP, FBR, Forkabi, gabung kelola banyak (lahan parkir) juga. Ini gesekan di bawah itu kecil lah. Karena ini dijadikan isu aja, makanya jadi besar. Saya yakin itu di bawah 3 persen. Kemang ini rata-rata PP adem-adem aja, paling letupan satu, dua kali, itupun jarang paling tiga bulan, enam bulan sekali. Ya wajar lah namanya orang enggak mungkin landai-landai aja apalagi di bawah.
Tapi ini udah jauh lebih tenang dan aman kalau dulu kan sering banget. Artinya itu salah satu upaya. Cuma kalau PP itukan solidaritasnya tinggi, satu dicubit semua berasa, ketika dipanggil datang semua beneran dateng ya karena solidaritasnya tinggi.
Apa yang dilakukan pengurus ketika terjadi gesekan perebutan lahan parkir di akar rumput?
Kami kan sebenarnya terima laporan. Kan ini organisasi terstruktur, masing-masing punya tanggung jawab. Biasanya kami hanya dilaporkan. Kalau di bawah itu kan, kalau di provinsi biasanya ada majelis pimpinan wilayah, di cabang ada juga. Masing-masing dari mereka sudah berkoordinasi. Kalau sudah ada permintaan kami harus hadir dan lain sebagainya, ya kami lakukan juga termasuk advokasi hukum.
Kita juga berharap ini nanti semuanya bisa jadi meningkat dari yang parsial di kampung-kampung akhirnya dia bisa punya perusahaan kecil, dia bisa mengelola parkir secara profesional. Bisa bayar pajak dan sebagainya. Inikan harus diedukasi dan berproses, dan ini sudah mulai ada dan jalan. Artinya tentu dengan jumlah yang luar biasa seluruh Indonesia tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten