Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Koalisi Pemantau Persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan riset mini mengenai fakta-fakta sidang sengketa hasil Pilpres 2019 yang digugat Prabowo-Sandi. Salah satu yang dianalisis yakni mengenai status pencalonan Ma'ruf Amin dalam Pilpres yang dianggap kubu 02 cacat hukum.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi menurut salah satu perwakilan koalisi yakni Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, pencalonan Ma'ruf tetap sah dan tidak cacat hukum.
Sebab menurut Pasal 1 angka 15 UU tentang Perbankan Syariah, DPS hanya sebagai pihak pemberi jasa kepada bank syariah, sama seperti konsultan hukum dan akuntan publik. Sehingga DPS bukanlah pejabat BUMN.
Terlebih, posisi Ma'ruf di DPS merupakan representasi keberadaan MUI sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UU Perbankan Syariah.
ADVERTISEMENT
"Sulit jika mempermasalahkan status pencalonan Ma’ruf Amin dalam Pilpres. Meskipun termohon (KPU) dan pihak terkait (Jokowi-Ma'ruf) tidak secara tegas melakukan pembelaan mengenai status pencalonan ini dengan menggunakan peraturan perundang-undangan, maka semestinya status pencalonan Ma’ruf Amin tetap sah di mata hukum," jelas Feri di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (23/6).
Selain itu, Feri mengemukakan permasalahan status pencalonan Ma'ruf bukan menjadi kewenangan MK. Sebab MK tidak mengurusi terpenuhinya syarat pencalonan, melainkan perselisihan hasil Pilpres. Hal itu menurutnya diatur dalam Pasal 475 UU Pemilu.
"Mahkamah hanya menyidangkan perkara yang berkaitan dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilih atau tidaknya pasangan calon presiden dan cawapres. Artinya, Mahkamah tidak lagi menyidangkan hal-hal di luar perselisihan hasil pemilu," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, apabila tim Prabowo-Sandi keberatan terkait pasal tersebut, maka seharusnya dilakukan pengujian undang-undang terlebih dahulu.
"Tanpa adanya perubahan Pasal 475 UU Pemilu, maka mahkamah tidak dapat melakukan penyimpangan dari ketentuan mengenai batas-batas kewenangannya," tutupnya.