Peneliti Petir dan Atmosfer STMKG Analisis Dentuman di Jakarta

21 September 2020 9:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi dentuman. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dentuman. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Suara dentuman pada Minggu (20/9) malam ramai diperbincangkan sebagian warga Jakarta. Suara dentuman itu terdengar dua kali dan cukup keras di wilayah Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Sejumlah warga yang tinggal di kawasan Kalibata dan Pancoran mengabarkan adanya dentuman itu.
Suara dentuman itu dianalisis Dosen Meteorologi STMKG, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Deni Septiadi.
Deni, yang juga peneliti peneliti Petir dan Atmosfer ini memberi penjelasan. Kata dia kalau dirunut kebelakang sudah sepanjang tahun 2020 sudah 3 kali dentuman terjadi di antaranya yang pertama terjadi tanggal 11 April 2020 (02.00 WIB dini hari) mengejutkan warga di sekitar Jakarta, Depok, Bogor, hingga Bekasi.
Peristiwa kedua tanggal 11 Mei 2020 (00.45 dini hari) didengar oleh warga di sekitar Jawa Tengah. Dentuman ketiga terjadi tanggal 21 Mei 2020 pagi hari (09.00 WIB) menghebohkan warga Bandung dan sekitarnya.
"Dari ke 4 kejadian dentuman yang terjadi sampai saat ini tidak ada sumber suara yang koheren dapat menjawab asal fenomena dentuman ini," jelas Deni, Senin (21/9).
ADVERTISEMENT
Deni melanjutkan, pada kejadian dentuman tadi malam (20 September 2020), Jakarta dan sekitarnya memang sedang tertutup banyak awan-awan konvektif akibat fenomena Mesoscale Convective Systems (MCS) yang terbentuk di Selat Karimata sebelah Timur Laut Belitung.
Sistem konvektif ini membawa sejumlah awan-awan Cumulonimbus (Cb) ke arah Jakarta. Sehingga dapat dipastikan potensi petir juga meningkat.
Kilatan petir menyertai dentuman Gunung Anak Krakatau, 24 Desember 2018. Foto: Antara/Muhammad Adimaja
"Suara gemuruh petir memang dapat membangkitkan getaran bahkan dapat terukur di Sesimograf sebagai getaran gempa dengan magnitud hingga 3.0 SR," jelas dia.
Deni menerangkan, sumber-sumber suara alami seperti ledakan meteor, aktivitas seismik, vulkanik, petir, longsor dapat kita abaikan.
"Skyquake di angkasa? ini juga tidak, karena sebenarnya fenomena tersebut membutuhkan sumber suara alami ataupun non alami baik di permukaan maupun di angkasa. Stratifikasi atmosfer di Benua Maritim Indonesia (BMI) yang lembap dan basah akibat guyuran hujan sebelumnya sangat tidak mendukung fenomena ini," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Dari semua catatan dentuman sepanjang tahun 2020, lanjut Deni, baik alami non alami secara pribadi dia tetap meyakini sumber suara dentuman adalah sumber suara non alami.
"Pihak yang berwenang dapat segera melakukan penyisiran terhadap lokasi sumber suara yang dilaporkan oleh warga. Bahkan perlu mengecek ada tidaknya aktivitas pesawat yang dapat mengakibatkan efek sonic (sonic boom) di angkasa. Semoga dapat menjawab fenomena yang mungkin akan terjadi lagi," tutupnya.