Penentuan 271 Pj Akibat Tak Ada Pilkada 2022-2023 Dinilai Sangat Mungkin Politis

11 Februari 2021 14:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Denny Indrayana (tengah), Titi Annggraini (kiri), dan Hadar Nafis Gumay (kanan) memberikan keteringan kepada wartawan usai mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Denny Indrayana (tengah), Titi Annggraini (kiri), dan Hadar Nafis Gumay (kanan) memberikan keteringan kepada wartawan usai mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Eks Komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay memberikan pandangannya soal potensi 271 daerah akan dijabat oleh penjabat atau (Pj) jika Pilkada digelar serentak November 2024.
ADVERTISEMENT
271 Pj itu secara rinci 101 untuk daerah yang tidak ada Pilkada di 2022, salah satunya DKI Jakarta. Lalu 171 untuk daerah yang tidak ada Pilkada 2023, di antaranya yakni Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hadar menilai penunjukan Pj dalam jumlah masif dan mereka akan menjabat dalam waktu cukup lama, sangat berpotensi menimbulkan abuse of power dan menciderai nilai demokrasi.
"Apa ini berpotensi abuse of power? Ya, sekarang apakah ini juga bisa mengurangi kadar demokrasi di mana sebetulnya secara berkala pemilihan itu harus dilangsungkan secara berkala, secara berkala hak-hak politik baik dari calon dan pemilih itu juga harus diperhatikan," kata Hadar saat dihubungi, Kamis (11/2).
"Nah, ini kan menjadi hilang ya, warga yang seharusnya punya hak bisa memilih pemimpin yang definitif jangan ditunda terlalu lama karena akan menjadi hilang. Jadi saya kira mengurangi kadar demokrasi kita gitu," jelas Hadar.
Mendagri Tito Karnavian mengikuti Rapat Koordinasi Kesiapan Vaksinasi Covid-19 dan Kesiapan Penegakan Protokol Kesehatan Tahun 2021 di Gedung Sasana Bhakti Praja Kemendagri, Selasa (5/1/21). Foto: Dok. Kemendagri
Meski begitu, Hadar mengatakan dalam kondisi tertentu, sah-sah saja Menteri Dalam Negeri menunjuk penjabat. Hal itu juga sudah diatur dalam Undang-undang Pilkada.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dalam potensi ini, Hadar mengaku heran. Ia mempertanyakan apa urgensi penunjukan 271 penjabat. Karena opsi 2022 dan 2023 tetap digelar Pilkada juga terbuka.
"Tetapi apa sih yang mendesak betul sehingga harus ditunda terlalu lama? Apakah dalam rangka Pilkada 2024 seperti yang sudah direncanakan (UU)? Oke ya betul, tetapi kita juga punya catatan yang tidak terlalu sulit untuk kita lihat kembali masih di halaman depan ini catatannya, bukan di lembaran buku jauh di belakang," ucap Hadar.
Catatan yang dimaksud Hadar yakni pelaksanaan Pilkada berdekatan dengan Pemilu hanya akan menimbulkan banyak masalah baik terhadap penyelenggara maupun partai politik. Sehingga ia meminta jadwal pelaksaan Pilkada Serentak 2024 diubah.
"Bahwa penyelenggaraan yang berdekatan dan bertumpuk ini punya banyak masalah gitu. Jadi ditata kembali jadwal ini dengan demikian, maka baiknya tetap dilaksanakan (2022 dan 2023) dan itu akhirnya akan memenuhi kebutuhan hak demokrasi para warga misalnya juga kebutuhan hak demokrasi, sebetulnya kekuatan-kekuatan parpol juga yang tidak harus tertunda," ucap Hadar.
ADVERTISEMENT
Sementara mengenai usulan agar Mendagri Tito Karnavian membuat tim khusus untuk menyeleksi 271 calon penjabat 2022-2023, Hadar menilai hal itu bisa saja dilakukan.
"Mungkin saja ya, tapi gini kita jangan menambah-nambah juga karena itu nanti perlu dicari landasan hukum dan sebagainya. Aturannya kan tidak demikian itu juga bisa jadi persoalan," kata Hadar.
Sebab para penjabat ini akan berkuasa dalam rentan waktu cukup lama. Belum lagi pemerintah saat memiliki koalisi besar.
Oleh sebab itu, peneliti senior Netgrit itu kemudian meminta Mendagri agar bersikap transparan dalam menunjuk 271 penjabat ini nantinya.
"Jadi kalau harus mengubah proses dalam artian ada tim sendiri dan sebagainya sepanjang landasan hukumnya kuat engga masalah tapi minimal yang sudah ada dijalani betul prinsip kerja good governance yaitu transparansi dan akuntabilitas dan partisipasi. Jadi tiga hal ini harus ditunjukan sehingga publik luar bisa memberikan catatan ke calon sebelum diputuskan," tutup dia.
ADVERTISEMENT